Perlakuan Lembut Dimar

2K 247 18
                                    

"Harusnya Kak Dimar menghindar aja." Tangan kanan Malaka refleks mengelus punggung Dimar. Tatapan gadis itu tampak sedih karena Dimar dipukuli ibunya di depan keluarga. 

Semua karena menolong Malaka. Andai saja Dimar berkata jujur kalau bukan dirinya yang harusnya bertanggungjawab atas bayi di dalam perut Malaka, mungkin kejadiannya tidak seperti barusan. Malaka tidak tega melihat Dimar harus banyak berkorban untuk dirinya.

Pertama, Dimar bersedia menikahinya walau bayi itu bukan darah dagingnya. Dan barusan, Dimar juga ditampar, dipukuli sampai Malaka berlari dan menghalangi pukulan itu hingga akhirnya malah ia yang terkena pukulan selanjutnya.

Sebenarnya tidak bisa dibilang sakit juga, sih. Lebih tepatnya malu. Masalahnya Dimar dipukul di depan keluarganya. Ada Om dan Tante, juga Rassi, adik Dimar.

"Kamu nggak apa-apa? Tadi kamu nolongin aku waktu dipukul sama Ibu. Perut kamu nggak kerasa sakit atau apa?" Dimar berbalik, memastikan Malaka baik-baik saja.

Malaka mengulurkan tangan ke belakang, menyentuh punggungnya sendiri. "Aku cuma kaget tadi. Yang kena pukul cuma punggung, kok. Tapi aku beneran nggak apa-apa."

"Maaf, ya?" bisik Dimar.

Malaka menggeleng. Ia tersenyum tipis. "Kak Dimar jangan minta maaf terus. Harusnya aku yang—"

"Kak Dimar dipanggil sama Ibu." Rassi tiba-tiba masuk dan menghampiri kakaknya. Tatapannya berpindah kepada Malaka. "Sekalian sama dia juga. Ibu mau ngomong sama kalian berdua di kamarnya."

"Iya, kita ke kamar Ibu sekarang." Dimar menggandeng tangan kanan Malaka, membantu perempuan itu berdiri dari tempat duduknya dengan hati-hati.

Perhatian Dimar kepada Malaka tidak lepas dari sorotan kedua mata Rassi. Melihat kakaknya seperhatian itu kepada perempuan, apa lagi Malaka adalah perempuan pertama yang diajak kakaknya kemari, jelas membuktikan bahwa Dimar sungguhan menyayangi perempuan itu. Dimar seolah memastikan bahwa Malaka harus dalam keadaan baik-baik saja, tidak boleh ada yang melukainya. Dan tindakan Malaka tadi saat Dimar dihajar sang Ibu, Malaka lantas berlari, melindungi Dimar sampai punggungnya terkena pukulan hingga dua kali. Sontak, kejadian itu membuat semua orang menjadi terkejut. Ibunya Dimar sampai menjatuhkan bantalan yang dipegangnya. Dimar yang sadar calon istrinya kesakitan segera mengurai pelukan Malaka, menghujani banyak pertanyaan seperti, "Kamu nggak apa-apa? Kamu nggak luka?" Dengan mendekap kedua bahu Malaka.

Rassi bingung harus memberi reaksi seperti apa. Jujur saja ia senang akhirnya Dimar akan menikah. Tapi, kenapa perempuannya dalam keadaan hamil? Rassi tentu menjadi kecewa. Ia pikir kakaknya dapat menjaga perempuan yang ia cintai. Namun malahan... ah, sudahlah. Rassi tidak dapat berkata-kata lagi.

***

"Kamu juru bicaranya Malaka? Bisa diam tidak? Ibu mau dengar penjelasan dari Malaka langsung."

Meriam, Ibu kandung Dimar menegur anak lelakinya karena sedari tadi berusaha menyela pertanyaannya. Meriam belum selesai bertanya, tapi dengan tidak sopannya Dimar menyela, menjawab pertanyaan ibunya padahal yang ditanya calon istrinya.

Sebagai seorang Ibu, Meriam hanya ingin memastikan bahwa pernikahan anak lelakinya dengan Malaka bukan karena terpaksa, apa lagi dipaksa. Meriam takut kalau yang ditunjukkan anak lelakinya selama ini cuma topeng belaka. Bagaimana kalau sebenarnya Malaka hamil bukan karena melakukan atas dasar suka? Bagaimana kalau sebenarnya Dimar yang memaksa Malaka melakukannya sampai akhirnya hamil? Mungkin Dimar memang putranya, tapi Meriam tidak bisa menutup mata jika putranya berada di posisi salah. Meriam tidak mungki memberi restu kalau pernikahan keduanya tidak dilandasi cinta. Cuma sekadar tanggungjawab.

"Kamu kenal sama Dimar di mana? Kapan? Kamu tahu nggak, dia jauh lebih tua dari kamu?" tanya Meriam menunjuk Malaka.

Malaka melirik Dimar sebelum menjawab. Ia dengan tenang menjelaskan. "Saya kenal sama Kak Dimar karena dia teman Kakak saya, Bu."

You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang