"Tolong ajari istri kamu, Wan. Kamu lihat sendiri Rea udah bikin wajah Malaka babak belur kayak gitu?"
"Kamu lebih bela Malaka daripada aku, Mar? Kita—"
"Aku bela Malaka karena udah sewajarnya. Dan kamu sebagai suaminya Rea, harusnya kamu bisa memberitahu Rea supaya nggak sembarangan menuduh orang lain!"
Awan kehilangan kata-kata. Ia telah terbiasa menjadi kedua setelah teman-teman Dimar—sedari dulu. Kini, semua perhatian dan kasih sayang Dimar hanya tertuju kepada Malaka. Perempuan yang katanya dinikahi cuma untuk menolongnya saja. Tapi ini apa? Dimar bertindak seolah selayaknya suami yang tidak terima istrinya dianiaya seseorang.
Awan teringat sehari setelah Rea menganiaya Malaka, Awan datang ke rumah Dimar berniat membawakan obat-obatan untuk Malaka sebagai permintaan maaf. Setelah Awan pikir semalaman, bukankah kata-kata terakhirnya kepada Malaka sudah keterlaluan? Namun niat baiknya justru dibalas dengan teguran Dimar.
Awan tahu, Rea adalah tanggungjawabnya. Terlepas Awan tidak pernah mengharapkan perempuan itu dalam hidupnya, Awan pikir kata-kata Dimar tidak sepenuhnya salah. Ia tanpa sengaja membuat Malaka berada di posisi yang sulit.
"Pasti dari rumah selingkuhan kamu, kan? Gimana? Udah ngapain aja?" Rea menegur Awan di ruang tengah sembari meneguk wine-nya.
Dari ekor mata Awan, ia bisa melihat Rea sedang menyeringai. Kemudian bergumam, "Orang zaman sekarang selingkuh terang-terangan. Urat malunya udah putus?" sindirnya.
Rea muak diperlakukan kurang baik oleh suaminya sendiri. Mereka menikah lebih dari dua tahun, tapi sampai hari ini hubungan mereka tidak lebih seperti orang asing.
Rea kurang apa di mata Awan? Semua lelaki memujanya. Semua lelaki ingin menjadikan Rea miliknya. Tapi Awan, malah menyiakan kesempatan di depan mata. Mungkin, di mata Awan, Rea sama sekali tidak menarik. Awan lebih suka perempuan muda seperti istrinya Dimar.
Baiklah, Rea mengakui kecantikan perempuan itu. Tapi, Rea juga tidak kalah menarik, kan? Walau usianya telah menyentuh kepala tiga, ia tidak kalah dari perempuan muda di luaran sana karena ia sangat memerhatikan penampilan, serta merawat kecantikannya.
"Berhenti bilang aku selingkuh sama Malaka, Re." Di titik ini, Awan merasa tidak memiliki siapa-siapa. Dimar sudah tidak bisa ia harapkan. Ia bisa saja kekeuh mempertahankan Dimar agar tetap berada di sisinya. Tapi, Awan tahu konsekuensi apa yang akan diterimanya nanti. Semakin ia mempertahankan hubungan itu, yang Awan dapatkan hanya rasa sakit.
"Aku nggak asal nuduh kalau nggak lihat sendiri, Wan." Rea menggoyangkan gelas di tangannya. Pandangannya menerawang, membayangkan apa saja yang dilakukan Awan dan Malaka di belakangnya selama ini diam-diam.
Hebat sekali kalau Awan dan Malaka selingkuh sungguhan. Apa Dimar tidak menaruh curiga sama sekali dengan temannya sendiri? Apa wajar kalau Awan rutin datang ke sana?
Rea tersenyum sinis. Mengangkat kedua bahu lantas meneguk wine-nya kembali. "Coba kasih alasan paling masuk akal kenapa kamu sering ke sana kalau bukan mau ketemu sama Malaka? Nggak mungkin karena mau ketemu Dimar setiap hari, kan?"
Awan mengepalkan kelima jarinya. Andai saja Rea tahu yang sebenarnya, perempuan itu tidak akan menuduh ia dan Malaka berselingkuh. Tapi, kalau Awan memberitahu alasan yang sebenarnya, Awan khawatir Rea malah berbuat hal yang lebih nekat. Tidak. Itu bukan tujuan Awan. Demi Tuhan, ia tidak ingin menyakiti satu orang pun. Tidak Rea, tidak juga Malaka.
"Hari ini aku nggak pergi ke rumah Dimar. Kamu tenang aja, aku nggak akan pergi ke sana lagi."
"Untuk sementara waktu?" sahut Rea lalu tertawa sinis.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!]
Ficción GeneralMalaka adalah korban pelecehan oleh tiga orang teman sekolahnya. Salah satu pelaku berniat bertanggungjawab dengan menikahinya. Namun Malaka menolak. Ia mengalami trauma berat pasca kejadian itu. Bagaimana bisa ia hidup bersama orang yang telah men...