"Yang tadi siapa?"
"Malaka." Jenaka mewakili Nasti.
"Yang dulu masih SMP itu?" gumam Dimar.
"Sekarang udah SMA dia, Mar. Adik gue cantik, kan? Lihat dong kakaknya. Cakep juga." Nasti menepuk dadanya bangga.
"Iya lo cantik kalau dilihat dari sedotan," ejek Dimar.
Itu bukan pertama kalinya Dimar melihat Malaka. Beberapa tahun sebelumnya ia sudah bertatap muka dengan gadis itu. Hanya saja saat itu Malaka masih mengenakan seragam putih-birunya. Dimar menganggap Malaka cuma remaja biasa yang hobi main di sana-sini bersama temannya.
Pandangan Dimar mulai berubah ketika melihat Malaka setelah sekian lama. Saat Malaka telah menduduki bangku SMA. Adik perempuan Nasti tumbuh menjadi gadis cantik dan periang. Dimar masih ingat waktu Malaka menyapanya di ruang tamu sembari meletakkan dua gelas teh hangat di atas meja—untuknya dan Jenaka yang duduk di samping Dimar.
"Adik gue masih SMA, Mar. Lihatnya biasa aja." Nasti berpindah duduk di samping Dimar. Jadi lah ia duduk di tengah diapit oleh Nasti dan Jenaka. "Bukan masalah perbedaan usia, sih. Ibu sama Bapak gue juga jarak usianya lebih jauh. Cuma kan, Malaka masih SMA. Paling nggak, tunggu dia sampai lulus."
"Maksud lo apaan, sih?" elak Dimar.
Jenaka memilih menjadi pendengar. Nasti terlihat begitu semangat ingin menjodohkan Dimar dan adiknya. Jenaka menggelengkan kepala. Sama sekali tidak heran dengan kelakuan salah satu temannya itu.
"Lo lihatin Malaka sampai nggak kedip. Beruntung nggak ileran," cerocos Nasti. "Jen, lo lihat juga nggak ekspresi Dimar tadi? Gue nggak salah ngomong, kan?" Nasti menunjuk Jenaka meminta pendapat.
Jenaka melirik ke arah kelambu yang menggantung, menjadi sekat antara ruang tamu dengan bagian dalam rumah orang tua Nasti. Tadi di sana Jenaka melihat Malaka masuk setelah menyediakan mereka teh hangat.
"Iya, sih. Lo mencurigakan Mar." Jenaka ikut-ikutan meledek Dimar. "Lo tahan nunggu beberapa tahun lagi, nggak? Malaka umur berapa sih?"
"Tujuh belas tahun." Nasti menjawab. Ia pun menambahkan, "Mungkin lo harus nunggu dua atau tiga tahun lagi, Mar."
Dimar memilih mengabaikan celotehan Nasti atau pun godaan Jenaka. Dimar memang dibuat kagum oleh kecantikan Malaka kala itu. Namun ia belum kepikiran jika perasaannya semakin lama kian berkembang.
Bohong jika Dimar tidak pernah memikirkan Malaka setelah itu. Tapi Dimar sadar jarak usia mereka cukup jauh. Ditambah Malaka masih SMA saat itu. Jika Dimar memaksa mendekati Malaka, ia takut dituduh yang aneh-aneh.
Pernah suatu hari Nasti mengatakan pada Dimar di saat mereka sedang berdua. Dimar sedang mengerjakan novelnya di ruang kerja. Dari kata-kata Nasti seolah meninggalkan sebuah pesan. "Dari luar Malaka kelihatan periang. Tapi dia kayak gitu cuma sama yang dekat aja, Mar."
Dimar pura-pura mengabaikan ocehan Nasti. Ia memasang kedua telinganya lebar-lebar tidak ingin ketinggalan satu fakta pun tentang gadis yang menarik perhatiannya.
"Lo mau jagain Malaka kalau gue nggak ada, Mar?"
Saat itu Dimar menganggap ocehan Nasti seperti angin lalu. Nasti memang suka begitu. Bicara ngalur-ngidul. Namun Dimar baru sadar sekarang, ucapan Nasti seolah menjadi pertanda kepergiaannya.
"Gue percaya lo bisa jagain Malaka. Jaga gue sama Jenaka aja bisa. Apa lagi pasangan lo di masa depan?" Nasti mengangkat kedua bahu.
Waktu berlalu dengan sangat cepat. Satu per satu mereka pergi. Termasuk Nasti. Tanpa terasa perempuan itu meninggalkan ia dan keluarganya delapan tahun yang lalu. Di awal kepergian Nasti menjadi hari-hari yang berat untuk Dimar dan Jenaka. Ia masih ingat mereka menangisi jenazah Nasti di rumah sakit. Dimar dan Jenaka berpelukan untuk saling menguatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!]
Fiksi UmumMalaka adalah korban pelecehan oleh tiga orang teman sekolahnya. Salah satu pelaku berniat bertanggungjawab dengan menikahinya. Namun Malaka menolak. Ia mengalami trauma berat pasca kejadian itu. Bagaimana bisa ia hidup bersama orang yang telah men...