"Kak, khawatirnya udahan, ya. Dokter tadi bilang nggak ada luka yang serius, kan?"
Berkali-kali Malaka meyakinkan Dimar jika lukanya tidak separah yang dipikirkan lelaki itu. Semalaman Dimar sampai memeriksa kening Malaka, siapa tahu setelah mengalami kekerasan dari Rea, Malaka menjadi demam, atau bahkan tidurnya tidak nyenyak.
Paginya, sehabis mengantar Yayya ke sekolahnya, Dimar pergi mengantar Malaka untuk periksa ke Dokter. Tapi lucunya, sepanjang Malaka diperiksa, justru Dimar yang cerewet. Lelaki itu sampai mengatakan lebih dari dua kali kepada sang Dokter untuk memastikan sekali lagi jika tidak ada luka yang serius pada istrinya.
"Kalau ngerasain sakit atau apa, jangan dipendam sendiri, La. Kamu wajib bilang ke aku." Malaka mengiyakan lewat anggukkan kepala. "Jangan bilangnya nggak sakit, di belakang malah nangis. Nanti aku nggak bisa bedain yang nangis ibunya Yayya, apa Yayya-nya malahan."
Malaka mencubit pinggang Dimar, ia pun melayangkan protes, "Aku nggak suka nangis, tahu! Enak aja," katanya.
Dimar terkekeh, "Masa?"
Mereka turun dari mobil bergantian. Dimar berjalan di depan, sementara Malaka dari belakang sembari menenteng tas selempang hitamnya yang semula berada di bahu. Di ambang pintu, mereka dikejutkan dengan kemunculan Awan, lelaki itu tengah duduk di kursi teras. Begitu melihat Dimar dan Malaka berjalan ke arahnya, Awan segera bangkit dan menghampiri Dimar.
"Aku tinggal ke dalam dulu, Kak," sapa Malaka menganggukkan kepala, menatap Awan dengan senyum tipis walau dibalas tatapan sinis oleh Awan.
Sementara Dimar dan Awan di teras, Malaka menuju ke dalam rumah. Di samping meja makan, Malaka melihat Ibu mertuanya ada di sana tengah menata sesuatu.
"Ibu kapan sampainya? Tumben nggak bilang dulu, Bu." Malaka menghampiri Meriam, mencium punggung tangan wanita itu.
Diletakkan tas hitamnya ke atas meja, pandangannya turun ke bawah memandangi makanan yang sepertinya dibawa dari rumah Ibu mertuanya.
Setiap mengunjungi keluarga putranya, Meriam tidak pernah datang dengan tangan kosong. Ia akan membawakan makanan dan camilan kesukaan Dimar beserta anak dan istrinya. Terkadang, Meriam menelpon Malaka lebih dulu sebelum datang. Kira-kira Malaka mau dibuatkan makanan apa, ingin makan apa, lalu keesokkannya datang dengan membawa makanan sesuai request menanti dan cucunya.
"Tadinya Ibu nggak niat mau ke sini, La," ujarnya. Ia menyodorkan potongan daging rendang kepada Malaka. "Kamu cicipi dulu, La. Enak, nggak? Nggak pedas kalau Yayya ikut makan, kan?" tanyanya.
Malaka menerima suapan dari Ibu mertuanya. "Enak kayak biasanya, Bu. Nggak terlalu pedas, kok."
Diam-diam Meriam mengintip ke luar pintu yang sengaja dibuka. Meriam menunduk, mengamati wajah cantik menantunya. Walau Malaka sudah melahirkan seorang putri, sibuk bekerja di rumah sakit, serta mengurus suami dan anaknya, kadang lupa mandi, ini kata Malaka sendiri. Tapi wajah ayu Malaka tidak banyak berubah. Bahkan semakin cantik di usianya yang ke dua puluh empat tahun.
Meriam seringkali mewanti-wanti Dimar agar menjaga Malaka, supaya tidak ada lelaki yang berniat mengganggu, atau menggoda Malaka. Bagaimana ya, menantunya kelewat cantik, masih sangat muda pula. Bohong kalau tidak ada lelaki yang mengharapkan Malaka walau perempuan itu telah memiliki anak dan suami. Cuma, jawaban Dimar hanya, "Iya, Bu. Iya," katanya. Meriam sampai gemas sendiri. Awas saja kalau Malaka sungguhan diambil orang, Dimar akan menangis darah!
"La," panggil Meriam, menarik kursi kosong di samping tempat duduk Malaka.
"Kenapa, Bu?" sahut Malaka sembari mengunyah sisa daging di dalam mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!]
General FictionMalaka adalah korban pelecehan oleh tiga orang teman sekolahnya. Salah satu pelaku berniat bertanggungjawab dengan menikahinya. Namun Malaka menolak. Ia mengalami trauma berat pasca kejadian itu. Bagaimana bisa ia hidup bersama orang yang telah men...