"Tadi?" gumam Dimar di telepon. Ia sedang mengobrol dengan Meriam. "Ah... ada sedikit masalah. Harus aku yang selesain sendiri. Maaf ya, Bu." Seperdetik, Dimar melebarkan sepasang matanya. Ia menepuk keningnya pelan. "Oh, ya! Aku sampai lupa Yayya ada sama Myeesa."
Meriam mulai mencurigai putranya. "Jangan-jangan ini siasat kamu mau berduaan sama Malaka di rumah? Mau buatin adiknya Yayya, ya?"
Dimar mendesah. "Nggak, Bu. Aku tadi memang lupa. Besok pagi biar aku jemput Yayya di rumah Ibu, ya."
"Mar, Mar..." Meriam berdecak. "Kalau beneran mau bikin adiknya Yayya, kenapa sih? Nggak dosa ini. Udah lama nikah kok, tiap bahas ginian kamu kesannya kayak canggung."
"Perasaan Ibu aja itu." Dimar pura-pura biasa.
Dimar menangkap keberadaan Malaka. Perempuan itu keluar kamar dengan sepasang mata sembab akibat terlalu banyak menangis. Dimar memberi isyarat agar Malaka mendekat ke arahnya.
"Udah ya, Bu. Ibu jangan lupa makan dan minum obatnya. Besok pagi aku jemput Yayya." Terakhir, Dimar mengucapkan salam sebelum mengakhiri obrolan dengan sang Ibu.
"Ibu, ya?" tanya Malaka.
"Iya."
"Ibu tahu soal...,"
Dimar menggeleng. "Nggak." Tangan kanan lelaki itu menyentuh wajah pucat istrinya. "Aku udah hangatin makanan. Kamu belum makan apa-apa seharian ini."
"Kak..." Malaka memanggil Dimar dengan kepala menunduk ke bawah sembari meremas ujung baju tidurnya.
"Nggak apa-apa." Dimar berbisik, pelan. "Aku nggak akan tinggalin kamu ke mana-mana." Dimar menyunggingkan senyum tipis.
Malaka semakin erat meremas ujung baju tidurnya. Matanya memejam, ia berusaha melupakan kejadian hari ini namun tidak bisa. Semakin bayangan itu muncul di kepalanya, Malaka semakin jijik kepada dirinya sendiri.
Karena kejadian tadi, Malaka merasa ia tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Terlepas pernikahan di antara ia dan Dimar cuma sementara, tetap saja bagi Malaka, ia telah mengecewakan Dimar. Ia bahkan tidak bisa menghindari perlakuan tak senonoh dari lelaki lain. Dimar sebagai suaminya saja tidak pernah menyentuhnya lebih dari sekadar mencium kening. Tapi lelaki asing, yang jelas bukan siapa-siapa Malaka malah memaksa untuk menyentuhnya.
Malaka ingin melupakan saat lelaki itu mencium lengan dan rahangnya. Malaka juga tidak bisa melupakan ketika tangan lelaki itu berusaha meraba bagian atas tubuhnya. Malaka meringis, menahan sesak di dada. Untuk menarik napas saja rasanya ia menjadi kesulitan.
"Malaka."
Walau Malaka memejamkan matanya, ia bisa merasakan Dimar ada di depannya. Malaka mencium aroma tubuh lelaki itu. Terasa menenangkan, Malaka tidak merasa setakut tadi karena kehadiran Dimar.
"Kak," bisik Malaka mengangkat wajahnya. "Aku udah berusaha lupain kejadian tadi. Tapi, aku...," Malaka menggigit bawah bibirnya.
"Nggak cukup aku hapus jejaknya tadi?" tanya Dimar, memelankan suara hingga mirip seperti bisikan.
Malaka memejamkan mata sekali lagi kemudian menganggukkan kepalanya.
Dimar meraih lengan kanan Malaka, menghujaninya dengan banyak ciuman. Secara otomatis Malaka mengangkat wajah. Ia bisa merasakan kecupan bibir Dimar menyentuh rahangnya, memberi kecupan kecil sampai Malaka bisa mendengar dengan kedua telinganya sendiri.
"Buka mata kamu, La. Coba lihat aku..." Dimar menyentuh dagu Malaka, sedikit mengangkatnya sampai kedua pasang mata itu saling bertemu. "Aku perlu lakuin sesuatu supaya kamu lupa sama kejadian tadi?" Malaka mengerjapkan mata. Secara otomatis kedua kaki perempuan itu berjinjit, menyambut ciuman lembut yang mampir di bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!]
BeletrieMalaka adalah korban pelecehan oleh tiga orang teman sekolahnya. Salah satu pelaku berniat bertanggungjawab dengan menikahinya. Namun Malaka menolak. Ia mengalami trauma berat pasca kejadian itu. Bagaimana bisa ia hidup bersama orang yang telah men...