Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
39 - Endure ☠︎
Seusai pemakaman Albar, tubuh Alga terasa begitu lemas bahkan untuk melangkah pun tak sanggup. Ia menatap kosong batu nisan berbentuk salib yang mana tertulis nama Papanya di sana. Albar Pradipta.Seluruh pelayat telah meninggalkan jejak, menghilang dari netra milik Alga yang kini telah menatap kosong. Hanya ada dirinya dan Sania yang tersisa. Setelah mendengar kabar duka, anggota-anggota Panthera mengirimkan pesan ke ponsel milik panglima itu, pesan berupa ucapan duka cita.
Makam Albar tepat berada di sebelah makam Jefina. Kedua insan yang saling jatuh cinta itu kini bertemu kembali di kehidupan yang kekal. Saling mendekap dalam keadaan tubuh yang sudah tidak diisi oleh jiwa, karena jiwa mereka hidup di sana.
Alga melemparkan tatapan kosongnya pada nama lengkap Albar yang tertulis di sana. Ada rasa yang amat asing di hati Alga. Tak biasanya ia merasa putus asa seperti ini. Alga menyesal. Tapi apa boleh buat? Albar telah undur menjadi penduduk bumi, meski Alga sudah memaafkan dan sudah menghabiskan waktu bersama pria itu, semuanya terasa sia-sia.
"Ayo pulang." Alga beranjak, berdiri tanpa mengalihkan pandangannya dari nisan.
Sania mendongak, menatap Alga yang masih memandangi nisan. Tatapan Alga kosong, seolah jantungnya masih berdetak, raganya masih mampu berpijak, namun jiwanya telah mati.
"Kamu yakin mau pulang?" tanya Sania memastikan.
Alga mengangguk, menjadikan anggukan itu final. Setelah naik ke atas motor dan menyalakan mesinnya, Alga langsung melajukan motornya. Sedangkan Sania mengekori di belakang laki-laki itu menggunakan motornya sendiri.
Alga tak sanggup berlama-lama berdiam di makam kedua orang tuanya yang pernah saling cinta. Tidak ada alasan lain selain kecewa. Mungkin, Alga tidak bisa berontak dari takdir. Tapi Alga bisa berteriak di dalam hatinya, bahwa ia kecewa dengan takdir yang telah menikamnya berkali-kali.
***
Sesampainya di rumah, Alga hanya terduduk di sofa. Tatapannya kosong menyusuri arah yang terpancar di matanya. Rumah ini sudah tidak ada artinya lagi. Namun, Alga harus tetap bertahan apapun yang terjadi. Bagaimanapun, rumah ini adalah bentuk lain dari memori. Ada tentang Jefina, Albar, dan Mbak Rini.
Sania datang, membuat laki-laki itu mengalihkan tatapannya. Alga hanya melayangkan tatapan tanpa arti, namun sangat tampak adanya rasa sakit di matanya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Sania duduk di sebelahnya, memperhatikan matanya yang menjelaskan semuanya. Kehilangan.
Alga membiarkan tubuhnya berbaring dengan posisi menyamping di pangkuan Sania. Perempuan itu meloloskan senyuman tipis, memberi usapan lembut pada puncak kepala Alga, memberikan sedikit rasa nyaman.
Air mata meluruh dari pelupuk mata Alga, hatinya seolah diremukan oleh tangan tak kasat mata. Alga meraih tangan Sania yang menganggur, memainkan jari-jari perempuan itu.