3. Drama

16K 1.4K 4
                                    

"Mbak Hanum udah mendingan?" Tanya Elena mengulurkan tisu ke arah Hanum.

Menerima uluran tisu dari Elena. Hanum mengangguk. "Hm, makasih ya Len, lo jadi repot gara-gara gue."Jawab Hanum walau dengan mata sembab tapi sudah ada senyum di bibirnya. Membuat Elena sedikit bernafas lega melihatnya.

"Apa sih mbak, kayak sama siapa aja!" omel Elena sambil mengerling jahil, berniat menggoda Hanum dan nyatanya Hanum semakin tersenyum lebar karenanya.

"Gue gak tau Len harus ngomong apa. Tapi jujur, ini pasti berat buat mamah gue. Dia itu udah pengen banget nimang cucu." Bisik Hanum lirih dengan wajah menunduk sedih.

Mendengar Hanum membahas perihal soal cucu. Elena cuman bisa diam, tidak bisa berkomentar apa-apa. Takut jika salah bicara dan malah semakin menyakiti hati bosnya.

Walau dia ceplas-ceplos tapi masih ada batasannya, tidak mungkin menambah rasa sakit orang yang sedang ada masalah seperti Hanum.

"Dan lo tau kan gimana gue sama laki gue." Sambung Hanum kian lirih.

Mengangguk hikmat. Elena tetap diam mendengar keluh kesah Hanum. Mungkin ini yang dibutuhkan Hanum saat ini, yaitu berbagi cerita dan keluh kesahnya. Mungkin dengan begini bisa sedikit mengurangi beban dipundaknya.

"Oh iya, suami mbak ke mana? Kok gak keliatan?" Tanya Elena mengalihkan pembicaraan. Agar Hanum tidak murung lagi.

"Mas Dewa lagi pergi perjalanan bisnis keluar negeri." Jawab Hanum sekenanya.

Elena mengangguk mengerti. Memandang Hanum yang tampak diam di depannya. Jarang-jarang bosnya ini bisa diam atau anteng seperti ini. Karna biasanya, selalu ada saja tingkah Hanum yang kadang membuat sakit kepala dan geleng kepala tidak percaya karna tingkah ajaibnya.

"Mbak, gue boleh nanya gak?" Tanya Elena hati-hati sambil melirik takut- takut Hanum.

"Ck, Gak cocok banget Len. Gak gaya lo banget mau nanya segala pakek ijin." Cibir Hanum.

"Is, mbak Hanum mah gitu. Ini mah serius tau mbak."

Hanum mengangkat sebelah alis heran. "Apa?" Tanya Hanum penasaran.

"Kenapa mbak gak setuju sama calon Dipta? Bukannya orangnya cantik ya mbak?" Tanyanya sambil mengingat-ingat wajah ayu calon istri Dipta, yang beberapa kali sempat dibawanya ke cafe.

"Cantik sih, cuman ya gitu. Feeling gue gak sreg aja sama dia."

"Sejak kapan mbak nilai orang pakek feeling?" Cibir Elena sambil melirik Hanum geli.

Merasa konyol akan ucapan Hanum tentang menilai orang.

"Ye. Gue mah kalau nilai orang selalu pakek feeling kali. Emang lo? Pakek toak." Seru Hanum kesal tak urung membuatnya tersenyum juga. Sedikit lega karna bisa menghilangkan sedikit rasa stresnya.

"Santai mbak. Santai. Jangan pakek urat dong ngomongnya."

"Tau ah, makin sepet otak gue ngomong sama lo." Ketus Hanum.

"Ck, Terserah lah."

"Tapi beneran deh. Sekarang ini, gue sama sekali gak ada ide buat cari solusi masalah Dipta. Lo ada ide gak Len? Buat masalah ini? Kasih saran deh gue."

"Emang kalau batal nikah napa sih mbak? Dipta juga masih muda. Masih banyak gitu yang mau sama dia." Kata Elena santai sambil menyeruput jus jeruknya yang baru diantar pelayan ke meja mereka.

"Enak aja. Mau buat Emak gue kena serangan jantung lo? Acara persiapan pernikahan Dipta itu hampir 90% tau. Lo kira gampang batalin gitu aja." Omel Hanum berapi-api.

Bukan Salah Nikah! (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang