Elena mengikuti Dipta dari belakang, mereka menuju apartement Dipta saat ini. Tadi, saat sepulangnya dari hotel, Dipta sempat bertanya padanya mau tinggal di apartement atau rumah? Jika Elena menginginkan tinggal di rumah, dia bisa memilih rumah yang menurutnya bagus atau rumah impian mereka.
Karna selama ini Dipta tinggal di apartement jadi dia sama sekali belum menyiapkan rumah untuk istrinya kelak. Dia ingin istrinya yang memilih rumah yang akan mereka ditinggali kelak.
Duh, manisnya. Jadi pengen peluk.
Tapi ajaibnya, Elena tidak mempermasalahkan akan tinggal di mana. Mau apartement atau rumah toh sama saja. Lagi pula mereka hanya tinggal berdua, akan lebih baik untuk saat ini mereka tinggal di apartement Dipta saja. Agar lebih mengirit waktu untuk membersihkanya. Bilang saja Elena malas. Ck,
Sebelum pulang ke apartement, tadinya Elena ingin pulang ke rumahnya lebih dulu. Untuk mengambil barang-barangnya dan semua keperluannya. Tapi saat diperjalanan pulang, sekertaris Dipta menelpon dan menanyakan berkas penting padanya. Alhasil, sekarang mereka akan mampir ke apartement Dipta untuk mengambil berkas itu. Setelah itu baru pulang ke rumah Elena.
Dari lobi gedung apartemant sampai masuk ke dalam apartement, Elena tidak berhenti menggerutu kesal. Karna suaminya itu selalu meninggalkannya di belakang. Bagaimana tidak, Dipta yang tinggi jangkung membuat Elena sulit menyamai langkahnya. Alhasil, sia selalu tertinggal di belakang.
Sekarang Elena menyesal kenapa dulu dia menjadi gadis yang pendek, atau setidaknya kenapa dulu dia tidak meminum vitamin peninggi badan agar tubuhnya tidak pendek-pendek banget seperti sekarang.
Sumpah ni orang jalannya cepet banget sih. Gue dari tadi ditinggalin mulu. Gerutu Elena dalam hati.
"Elena. Ayo?" Panggil Dipta yang sudah berjarak dua meter dari Elena. Tanpa menunggu jawaban Elena, Dipta langsung berbalik dan meneruskan langkahnya.
Efek gak pernah olah raga kayaknya gue, masa jalan segini doang gue udah ngos-ngosan sih.
Elena memangdang punggung Dipta tajam, seakan pandangan tajamnya bisa mencabik-cabik punggung Dipta hingha hancur lebur. Saat melihat Dipta dengan santainya memasuki sebuah pintu, semakin menambah kekesalan Elena. Dengan berjalan pelan sambil menghentak-hentakkan kakinya kesal, akhirnya dia bisa menyusul Dipta sampai di dalam apartemant.
"WAH." Kata itu lah yang pertama kali keluar dari bibir Elena saat memasuki apartemen suaminya.
Apartement mewah yang berkali-kali membuat mata Elena memandangnya takjub. Maklum, ini adalah pertama kalinya dia memasuki apartemen mewah. Melangkah lebih dalam, mata cantik Elena semakin melotot takjub melihat indahnya interior apartement ini.
Pertama masuk dia sudah di manjakan dengan enterior menggunakan furnitur besar dan mewah bergaya eropa. Cat dinding yang berwarna putih, krem dan coklat memberi kesan elegantdan simple di sini.
Bahkan ornamen-ornamen yang digunakan juga terlihat pas dengan warna cat dinding. Di sudut dinding terdapat tirai motif polos berwarna gray yang menggantung dari plafon hingga lantai. Apartement ini juga sangat bersih dan rapi, terlihat sekali jika suaminya itu mewaratnya dengan baik.
Kalau apartementnya model begini mah, gue mau-mau aja tinggal di sini, mana keren banget lagi. Sumpah gue betah kayaknya tinggal di sini. Gak sia-sia gue nikah dadakan begini, kalau ujung-ujungnya hidup gue makmur. Ckk
Sampai di dapur, Elena hanya bisa geleng-geleng kepala karna tak habis fikir. Dapur di apartement Dipta ini, bahkan dua kali lipat lebih besar dari dapur di rumahnya. Belum lagi barang-barang yang memenuhi dapur, semua nampak mahal dan berkelas.
Bener-bener tajir laki gue kayaknya.
Dapur yang berwarna hitam gabungan putih membuat suasana terlihat misterius dan elegant. Belum lagi perabot yang berwarna putih, dan juga peralatan dan alat dapur yang terbuat dari staenless steel jadi terlihat sangat stunning. Benar-benar apartement mahal tentunya.
Membuka kulkas, lagi-lagi kata WAH yang keluar dari bibir Elena.
Isi kulkas aja selengkap ini, apa lagi isi dompet. Ck,
Mengambil air mineral, Elena langsung menandaskan setengah isi dari botol mineral itu, untuk menghilangakan haus di dahaganya. Dia benar-benar haus sepertinya.
Terlalu larut memperhatikan apartement Dipta, sepertinya membuat dia lupa dengan tenggorokanya yang sudah sangat kering ini. Menutup kulkas, Elena pun langsung berbalik, kedua matanya melotot, dia terlonjak kaget karna pria yang duduk santai di kursi depan mini bar.
"ASTAGFIRULLAH." Teriak Elena kaget. Saat melihat Dipta, suaminya dengan santai duduk di meja mini bar di belakangnya. Memperhatikannya dalam diam.
Kapan nongolnya coba, kok suara langkahnya sama sekali gak ke dengeran? Jangan-jangan pas gue bersikap kampungan, dia udah ada di sini lagi.
"Ngagetin aja sih." Ketus Elena. Mengelus dadanya yang hampir kena spot jantung.
Berjalan mendekat, Elena melihat Dipta yang sudah berganti baju dengan pakaian santai. Tadi pas pulang dari hotel, Dipta memang memakai kemeja navy panjang yang digulung setengah siku dan celana bahan berwarna hitam.
Laki gue pakai baju kaos celana pendek aja masih ganteng, gimana kalau dia gak pakek apa-apa.
Elena tertawa cekikikan membayangkan apa yang ada di pikiranya.
Tuhan, gue mulai gila kayaknya. Efek punya kaki ganteng ini. Ckk,
Dipta memandang heran Istrinya ya tertawa-tawa sendiri. " Kenapa?" Tanyanya heran.
Elena mengangkat bahu cuek mengabaikan pertanyaan Dipta. "Lo udah lama duduk di situ?" Balik tanya Elena.
"Dari kamu membuka kulkas." Ucap Dipta terlampau santai.
Mata Elena langsung melotot begitu mendengar jawaban santai suaminya.
Jadi tadi dia denger pas gue berkali- kali bilang Wah. Najis, malu-maluin banget sih lo Len, gimana kalau dia mikir lo katrok dan kampungan banget. Tapi kan, emang gue gak pernah liat apartement segede ini.
"Gak usah melotot." Tegur Dipta.. "Masih mau meliat-liat apartementnya lagi?" Sambungnya beranjak bangkit dari duduknya.
Elena langsung menggeleng mendengar pertanyaan suaminya.
Udah cukup hari ini, gue mempermalukan diri gue sendiri di depan ini orang. Jangan sampe, gue tambah bikin diri gue sendiri berlipat-lipat tambah bikin malu. Mau ditaro di mana coba muka gue entar? Ember?
Dipta mengangguk sekilas. "Ya udah ayo!" Ajaknya sambil berjalan lebih dulu.
Elena memandang telapak tangannya dan punggung Dipta secara bergantian.
Apes banget, nasib pengantin baru dadakan ini, tanganya gak pernah digandeng. Boro-boro digandeng, ditungguin aja kagak. Sabar ya Elena, tangan lo puasa dulu sekarang.
Elena buru-buru menyusul Dipta ketika mendengar suaminya itu berterteriak memanggil namanya. Menyuruhnya cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Nikah! (SELESAI)
RomansaElena tidak punya rencana apa pun dengan masa depannya. Termasuk menikah dalam waktu dekat. Tapi apa jadinya jika dia harus menikah dadakan lantaran keadaan. Terpaksa? Jelas dia terpaksa. Senang? Sedikit. No, no, no. Jangan hujat Elena lantaran dia...