16. Pasrah

14.4K 1.3K 4
                                    

Elena makan dengan lahap kali ini. Di rumah mertuanya benar- benar mewah, menunya saja ala-ala restoran berkelas. Tidak mempedulikan tatapan mengejek Hanum kakak iparnya, Elena tetap makan dengan tenang meski sedikit merasa aneh dengan perlakuan mertuanya yang benar-benar memperlakukannya dengan baik. Dia bahkan dilayani seperti seorang putri.

Sedang Dipta sedari dia sampai di rumah ini pagi menjelang siang tadi, tidak pernah mengeluar suaranya. Dia bahkan sampai heran kok betah sih ni cowok diam aja, gak gatel gitu mulutnya diam aja gak ngomong? Apa jangan-jangan lagi puasa ngomong. Bukan cuman diam bahkan Dipta juga melewatkan jam makan siangnya.

Saat Elena masuk ke dalam kamarnya dan mengajak makan siang bersama. Elena malah dicuekin dan dianggap radio rusak yang ngoceh tanpa mendapat tanggapan. Akhirnya karna kesal, dia pun keluar kamar dan kembali bergabung dengan Hanum dan Isa yang makan tanpa Dipta.

Baru di situ mama Isa cerita kalau Dipta memang agak susah makan. Apa lagi kalau sudah bekerja dia bisa betah, kadang sampai dua hari tidak makan.

Gila tu cowok betah amat dua hari gak makan, apa diperutnya ada stok makanan? Lah kayak unta dong. Gue aja pagi gak sarapan siangnya udah kayak cacing kepanasan karna kelaperan, lah ini dua hari bisa mati kelaparan gue.

Bahkan dulu Hanum pernah menemukan Dipta di apartement tidak sadarkan diri karna dehidrasi dan gastritis kronis, atau sering disebut juga mag kronis. Untung dokter mengatakan Dipta cepat dilarikan ke rumah sakit, jadi tidak berakibat fatal.

Selesai makan Elena berencana masuk ke kamar badanya berasa capek dan pegal-pegal. Entah karna sudah lama tidak bekerja, jadi badanya tidak dibuat gerak atau memang lelah karna seharian di dapur membantu mama mertuanya.

Elena masuk ke kamar. Dipandanginya lekat-lekat kamar suaminya ini. Dia baru sadar di kamar ini suasananya begitu dingin dan menyeramkan.

Cat dinding yang berwarna hitam dipadupadankan dengan warna abu-abu dan coklat. Ada kamar tidur di tengah-tengah kamar dengan ukuran king size dengan hiasan cahaya diatas kepala ranjang membuat kamar ini elegant tapi modern. Bahkan di bawah ranjang ada karpet bulu berwarna senada dengan sperai yaitu abu-abu. Belum lagi terai putih yang menjulang tinggi di sisi kanan ruangan tempat tidur benar-benar membuat aura kaku ruangan ini menguar. Cahaya tamaran redup membuat kamar Dipta ini terlihat horor untuk Elena.

Gue sebenernya nikah sama cowok yang gimana sih, masa kamar aja udah kayak kuburan baru. Udah serem lampunya remang-remang lagi mana bisa tidur gue kalau begini. Isss kalau tau model begini kamarnya mending gue tidur di kamar tamu. Atau sama mama Isa.

Elena memang sempat masuk tadi, tapi tidak sempat memperhatikan kamar Dipta lebih detail.

Elena memutar tumit kaki dan hendak keluar kamar. Tapi sebelum keluar kamar dia dikejutkan dengan Dipta yang baru keluar dari kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk sebatas pinggang. Dada bidang dan roti sobek sudah terpampang jelas di depan mata. Bahkan rambut basahnya membuat pria itu nampak berkali-kali lipat terlihat seksi. Membuat Elena tanpa sadar menelan ludah gugup.

Menelan ludah gugup, kaki Elena terasa kaku hanya untuk sekedar melangkah. Matanya terus melotot menikmati pemandangan menggiurkan di depan mata. Dengan santainya Dipta terus berjalan masuk lebih dalam ke dalam kamar. Semakin membuat Elena dengan jelas lihat bentuk tubuh Dipta

Sumpah itu badan kenapa ngalahin oppa-oppa korea sih. Jadi pengenn pegang gue, boleh gak? Peluk deh kalau gak boleh pegang..

"Menikmati pemandangan eh?" Ucap Dipta dingin.

Ucapan dingin Dipta membuat Elena tersadar dan segera mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Asal bukan tubuh suaminya.

"Siapa juga yang liatin badan lo. PD banget sih." Jawab Elena kelewat ketus.

Berdiri jarak dua meter dari istrinya, Dipta mengangkat sebelah alisnya. "Saya tidak bilang kalau kamu liat badan saya." Jawabnya cuek.

"Yang barusan lo bilang itu apa kalau gak nuduh gue gitu, intinya sama aja, kan?"

"Jadi kamu tersinggung dengan kata-kata saya? Dan merasa dituduh?" Tanya Dipta dengan melangkah mendekat ke arah Elena.

Tau jika Dipta berjalan mendekat ke arahnya, Elena langsung kelabakan dan berjalan mundur.

"Kenapa? Kamu takut?" Tanya Dipta dengan nada mengejek.

"Siapa yang takut?" Tantang Elena sambil mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Menantang laki-laki yang terus mendekat dengan senyuman tipis tapi mematikan bagi kinerja jantung Elena.

Jantung sialan. Bisa gak sih lo diam? Jangan buat gue tambah nerves.

Elena jelas mencium aroma sabun Dipta yang memabukan setelah pria itu ada pas di depan matanya.

Tersenyum tipis. Sangat tipis sampai Elena tidak bisa melihat itu. "Jadi kamu tidak takut?" Tanyanya berbisik sambil mengangkat sebelah tanganya untuk mengelus sebelah kanan pipi Elena.

Elena yang merasakan sentuhan tangan Dipta untuk pertama kalinya hanya bisa diam kaku sambil pelan-pelan memejamkan matanya. Tangannya bahkan sudah terkepal kuat di sisi kiri kanan tubuhnya. Bukan cuman itu jantungnya bahkan sudah hampir keluar karna berdetak dengan cepat dan gila.

Gue gak boleh lemah. Cuman gara-gara begini.. inget dia cuman mempermainkan lo, Len. Bisikan hati yang meyakinkan diri Elena.

"Buka mata kamu!" Ucap Dipta dengan suara serak.

Elena membuka matanya, berkedip-kedip pelan, hingga matanya bertemu dengan mata pekat Dipta. Dia bisa melihat bayangan dirinya di dalam mata pria itu. Begitu pekat, begitu memabukkan. Ini pertama kalinya dia berdekatan dengan pria sedekat ini. Tapi Elena juga tidak berbohong jika dia juga suka dengan jarak mereka sedekat ini.

Mengabaikan suara hatinya Elena hanya diam kaku tanpa melawan. Bukankah dia sudah melupakan kejadian semalam yang membuatnya malu karna menutup mata dan mengulanginya tadi.

Pelan-pelan Dipta memiringkan wajahnya dan mendekat ke arah wajah Elena.

Elena yang merasakan nafas Dipta yang menerpa wajahnya semakin dekat. Tanpa sadar menahan nafas. Bibir lembut Dipta menempel di bibir tipis Elena, hanya menempel dengan tangan Dipta yang masih di pipi kanan Elena.

Tubuh Elena semakin kaku dengan bibir Dipta yang menempel semakin dalam di bibirnya. Bahkan otaknya sampai blank karna tidak bisa berfikir lagi. Jantungnya juga mungkin sudah keluar karna Elena tidak merasakan detaknya lagi.

Dia hampir terjatuh ke lantai kalau Dipta tidak menariknya mendekat. Memeluknya erat, tangan kanan Dipta bahkan sudah berpindah ke belakang kepala Elena, menekannya semakin dekat dan dalampadanya.

Tubuh Elena yang berada dipelukan Dipta terasa tak bertulang lagi karna sensasi yang baru pertama kali dia rasakan. Tangan Elena bahkan sudah melingkar indah dipinggang Dipta.

Semua jam, waktu seakan berhenti berdetak. Begitu pun jantung mereka yang seakan lupa untuk berdetak.

Bukan Salah Nikah! (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang