18. Malu setengah hidup

14.4K 1.3K 6
                                    

Tersenyumlah sebagai mana semestinya. Dan menangislah sewajarnya. Jangan terlalu memaksakan sesuatu yang bisa saja menyulitkan mu.

***

Elena duduk santai dengan berkas-berkas di depannya. Menjadi manager tidak selalu membuat dia bisa berleha-leha dan bersantai. Contohnya hari ini, karna sudah hampir satu minggu mengambil cuti. Akhirnya tugas dia menumpuk dan butuh perhatian penuh. Bahkan waktu sudah menunjukan jam pulang pun, dia tidak ada tanda-tanda akan beranjak pulang.

Karna Elena menikah tidak memberi tahu satupun anak-anak caffe. Banyak yang penasaran dengan cuti yang diambil Elena. Termaksud salah satunya Yuli.

Dari pertama Elena menginjakan kaki di caffe Yuli sudah seperti wartawan yang banyak pertanyaan, tingkat keponya bahkan sudah meraja lela. Beruntung dia diselamat kan dengan kehadiran Hanum.

Karna tidak lama Hanum masuk menyusulnya, dan membuat Yuli langsung melarikan diri karna takut kena omelan Hanum, bosnya. Bosnya itu kalau lagi marah kayak singa betina yang kehilangan anaknya, nyeremin ples nakutin.

Di jam istirahat juga Yuli selalu mencuri-curi kesempatan untuk mengorek informasi padanya. Benar-benar tingkat penasaran anak itu sudah kronis sepertinya. Bahkan Yuli tidak gentar dengan tatapan kesal Elena, yang ada bocah itu malah terus bertanya ini, itu yang tambah membuat kepala Elena serasa mau pecah mendengarnya.

Dengan perasaan dongkol setengah hidup, dia langsung mengomeli Yuli dengan kata-kata pedasnya. Dan Elena bersyukur karna semua itu berhasil, Yuli langsung ngacir lari dari ruangan Elena dan tidak kembali lagi.

"Woy. Sok sibuk banget sih lo." Teriak Hanum yang mengintip lewat selah pintu yang dibuka sedikit, hanya kepalanya yang masuk sedang badanya ada di luar.

Mendongak sebentar, Elena kembali menunduk memeriksa berkas-berkas begitu tau Hanum yang bertanya. Sama sekali tidak ada niatan untuk meladeni.

Gak bawahan, gak bos sama aja. Seneng banget gangguin hidup orang.

"Najisss. Gue dicakangin." Ucap Hanum sambil masuk lebih dalam keruangan Elena.

"Berisil lo, mbak."

"Ck. Kalau bukan karna ancaman adek gue, ogah gue masuk keruangan lo. Mana suruh nganter lo pulang." Dumel Hanum yang masih didengar Elena.

"Lo ngomong apa mbak?" Tanya Elena.

"Gak usah pura-pura gak denger deh lo, Len!"

"Ck, ya udah terserah."

"Buruan deh Len, lo siap-siap. Gue anter balik!" Ucap Hanum sambil berjalan ke arah sofa, duduk dengan santai.

"Gue bisa balik naik taksi, lo balik duluan deh mbak. Masih banyak solanya kerjaan gue." Tolak Elena tanpa mengalihkan perhatianya dari berkas-berkas. Kerjaannya benar-benar banyak sekarang. Walau dia tingkahnya ajaib dan kadang nyeleneh tapi dia adalah sosok yang bertanggung jawab kalau masalah kerjaan. Hanum selalu puas dengan hasil kerjanya. Bukan karna mereka akrab ya. Tapi karna bawaan Elena yang selalu bisa diandalkan oleh Hanum.

"Emang lo udah tau alamat apartemant Dipta?" Tanya Hanum sanksi. Karna adiknya tadi berpesan untuk mengantar Elena pulang, karna wanita itu belum tau jalan arah apartemant. Bisa saja Hanum memberi alamat apartemant Dipta tapi saat mendengar Dipta tidak setuju dan menyuruh Hanum yang mengantarnya membuat ide jail Hanum langsung keluar.

Eh iya ya gue sampe lupa. Mana gue gak punya nomor hpnya Dipta lagi, mau pulang ke mana coba gue? Kalau ke rumah mama Laras udah jelas bakal dapat sidang panjang lebar gue. Belum omelan yang bikin pengeng kuping. Kalau ke mama Isa lebih gak mungkin bisa mikir yang aneh-aneh dia. Batin Elena sambil menepuk kening dengan sebelah tangan.

"Oh iya ya gue lupa, mbak. Ya udah deh gue beres-beres dulu."

"GAK PAKEK LA-MA." Ucap Hanum menekan setiap kata.

"Bawel lo mbak."

Membereskan semua berkas-berkas di atas meja. Elena langsung bersiap-siap untuk pulang.

***

Jam tujuh malam Elena baru sampai di depan apartemant Dipta, Hanum tidak bisa mengantar sampai dalam karna ada janji makan malam dengan suaminya.

Walau sudah diberi tau oleh Hanum apartement Dipta berada di lantai berapa dan Unit berapa. Tidak membuat Elena langsung tenang, karna ini kedua kalinya dia masuk ke gedung ini. Bagamana jika sekuriti atau penjaga apartemant bertanya aneh-aneh padanya? Maklum ini adalah apatemant kelas atas jadi bukan sembarang orang bisa keluar masuk.

Saat baru sampai di lobi, senyum Elena langsung mengembang saat matanya menangkap sosok Dipta yang berdiri di lobi.

Apa Dipta nunggu gue?

Melangkah dengan langkah lebar, senyum Elena tidak luntur sedikit pun. Saat mendapati suaminya juga sedang menatap ke arahnya.

"Hai." Sapa Elena ringan setelah sampai di depan Dipta.

Dipta langsung melengos begitu Elena berdiri di depannya. Bahkan tidak membalas sapaan Elena sama sekali.

Elena melongo melihat Dipta yang pergi tanpa membalas sapaannya.

Kampret gue dicueki. Ini orang gak ada manis-manisnya sih. Senyum dikit kek buat balas sapaan gue.

Menggelengkan kepala dramatis, Elena mengikuti Dipta dari belakang. Tidak ada obrolan sama sekali yang keluar dari bibir mereka. Bahkan sampai lift pun Dipta masih bungkam, tanpa mau repot-repot membuka mulut untuk mengajak Elena mengobrol.

Elena yangg masih sedikit dongkol karna sapaannya dicuekin memilih diam.

Malas banget gue ngajak ngobrol papan seluncur, bukan ditanggepi yang ada gue dikira radio rusak lagi ngoceh gak jelas.

Keluar lift Elena langsung jalan lebih dulu dari Dipta. Bahkan langkahnya dibuat selebar mungkin agar pria itu tidak bisa mengejarnya.

Bodo amat bakal gue bales lo. Dulu pernah ninggalin gue.

"Len." Panggil Dipta yang sama sekali tidak Elena gubris atau jawab, boro-boro jawab ngeliat aja Elena udah malas.

"Elena?" Ulang Dipta lebih kuat.

Panggil aja deh terus sampe mulut lo berbusa jangan harap gue bakal berbalik dan nunggu lo. Mimpi. Teriak Elena dalam hati sambil menahan senyum.

"Elena?" Panggil Dipta lebih lembut.

Elena hampir jatuh tersandung kakinya saat mendengar Dipta memanggilnya lebih lembut. Itu tadi yang manggil gue Dipta bukan sih? Menetralkan raut wajah sebisa mungkin Elena menahan senyum di bibirnya. Merasa menang karna berhasil balas dendam pada suaminya. Berbalik menghadap Dipta.

"Apa?" Tanya Elena terdengar galak.

"Kamu mau ke mana?" Tanya Dipta. Dengan sebelah alis terangkat tinggi.

Mengerutkan alis bingung. Jawaban Dipta lewat telunjuk langsung membuat Elena malu setengah mati.

"Apartemant kita di sini." Ucap Dipta memperjelas.

Ember, mana ember? Please gue butuh ember sekarang. Muka gue butuh ember sekarang. Mama Elena maluuuuuu. Gue butuh ember buat nutupin muka gue.

Sangking malunya rasa-rasanya Elena ingin guling-guling. Nasib punya IQ jongkok ini susah banget mengingat sesuatu.

Tidak menunggu reaksi Elena lebih lama. Dipta langsung masuk lebih dulu ke dalam apartement. Mengabaikan wajah merah istrinya dan pandangan Elena yang siap menguliti Dipta detik ini juga.

Elena yang melihat suaminya meninggalkannya untuk kesekian kalinya ditambah dengan perasaan malu setengah hidup cuman bisa kembang-kempis menahan emosi. Semua amarah yang bergejolak seakan hilang digantikan rasa malu yang luar biasa menggunung. Ditambah suaminya terlihat tidak perduli sama sekali membuat Elena cuman bisa menghentak-hentakan kakinya kesel.

Ada gak sih tempat buat tuker tambah suami, gue mau tuker kalau ada?

Gimana babnya? Ringan banget gak sih? Boleh kan tinggalkan jejaknya di sini👇

Bukan Salah Nikah! (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang