.
.
.Dia—sorang wanita itu sedang menimba air di sumur dengan tenang tanpa menaruh curiga pada apapun hari ini. Dia biarkan putra tunggalnya yang berumur enam tahun bermain sambil membawa ranting kayu kecil di tangannya. Namun, tak berapa lama, dia tak lagi bisa mendengar cekikikan tawa dari anaknya. Dia menoleh dan mendapati jika putranya tak lagi ada di dekatnya.
Wanita ini berdecak kesal, cepat cepat dia memasukkan air hasil usahanya menimba tadi ke dalam jerigen besar yang dia bawa. Sambil berjalan di area sumur, dia terus berteriak memanggil nama anaknya. Tapi setelah berulang kali memanggil, dia mulai panik karena anaknya tidak menyahut, padahal biasanya kalo dipanggil, anaknya itu akan langsung datang.
Apalagi pas dia bertemu pandang dengan seorang pemuda tampan yang tersenyum padanya dari sebuah gubuk reyot yang berada tak jauh dari sana, dia semakin panik. Dia mundur dan meraih sebuah parang yang memang dia bawa untuk mencari kayu bakar nanti.
"Kalem, Buk.. Yeonjun cuma mau ngajak gibah, kok." Kata Yeonjun sambil menunjukkan wajah takut yang jelas dibuat buat.
"Kamu kemanain anakku, hah?! Emang udah aku duga! Kalian ini pasti ada apa apanya disini!" Teriak wanita itu.
Yeonjun mengubah ekspresi takutnya menjadi datar, "instingnya emak emak emang nggak pernah bisa dibohongin, yaa..."
Anak itu turun dari gubuk sedikit melompat, lalu dia berjalan mendekat ke arah si wanita, lawan bicaranya jelas mundur, hingga tubuhnya mepet ke pinggiran sumur. Yeonjun berhenti mendekat, menatap si wanita dari jarak sekitar 3 meter.
"Lihat saja! Orang orang desa akan segera tau—"
"Ya kalo Ibu rela anaknya saya lelepin sumur gpp, bilang aja, pake toa kalo bisa." Yeonjun menyela.
Ibu itu diam seketika, wajahnya terlihat makin panik ketika Yeonjun mengatakan hal tadi. Ibu itu kemudian berlutut.
"Jangan lakukan apapun, kumohon, jangan lakukan apapun pada anakku." Katanya.
"Pokok Ibu nggak comber, nggak ada yang bakal terjadi." Balas Yeonjun.
"Aku nggak akan ngomong siapa siapa, aku berjanji—"
"Oh, sama ada satu lagi.. saya mau tanya tanya sesuatu." Yeonjun lalu berjongkok, menyamakan posisi dengan si wanita.
"Apa yang ingin kau tanyakan?" Tanya si wanita.
"Ibu kenal Bu Sowon?" Tanya Yeonjun.
Wanita itu terdiam sesaat sebelum mengangguk, Yeonjun yakin wanita itu hampir memilih untuk mengatakan "tidak tau" jika saja nggak keingat anaknya yang nasibnya ada di tangan mereka berlima—padahal mah, mereka nggak bakal berani ngapa ngapain anak itu juga, orang tadi San ama Wooyoung keliatan seneng banget ngajakin anaknya Ibu ini main.
"Dia orang penting di Tunggangalas?" Tanya Yeonjun.
"Dia putri Kepala Desa Tunggangalas." Jawabnya. "Dia seorang penari ronggeng yang dikatakan punya aura paling kuat diantara penari ronggeng lainnya. Dia bakalan kesini H-1 upacara."
—pantesan banyak yang naksir." Batin Yeonjun.
"Ibu tau soal kidung Ila-Ila?" Yeonjun melanjutkan pertanyaannya sambil memasang wajah serius, mengharapkan jawaban memuaskan di si wanita."Aku nggak tau kalo judulnya Ila-Ila, tapi aku tau setiap upacara bakalan ada lagu yang disenandungkan dari habis Maghrib sampai tengah malam. Lagu itu juga menjadi iringan upacara, baik untuk si penari ronggeng dan lainnya." Jawab si wanita.
Yeonjun menekuk alis, "berarti Ibu tau dimana para seniman itu ditahan, kan?"
Si wanita tak langsung menjawab, bibirnya bergetar luar biasa. Seakan ada seseorang yang memaksa mulutnya untuk tertutup. Yeonjun yang ngerasa kalo kebenaran itu beneran tinggal terucap dari si wanita jelas emosi ketika wanita itu tak segera menjawabnya. Yeonjun berdiri, mengambil sebuah pisau kecil dari sakunya, melepas penutup pisau itu dan mengangkatnya ke arah si wanita.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Klub 513 | vol.2 | Ep.3 : Kidung Rajah
FanfictionWooyoung : "Kode terbaik yang nggak akan lekang oleh zaman adalah nge share lagu yang mewakili perasaan lewat SW." Yohan : "Lingsir Wengi gitu misalnya?" San : "Ayang mu beda alam?" Yeonjun : "Gapapa beda alam daripada nggak punya ayang." Changbin :...