13. Bukan Orang Asing

1.8K 238 4
                                    

Happy Reading
Jangan lupa vote dan komen



Juan rasanya ingin tertawa kencang, bukan karena bahagia. Tapi, karena menertawakan takdir yang selalu mempermainkannya. Semesta seolah tak pernah ingin ia bahagia, padahal ia sudah berjuang sangat keras.

Baru saja malam tadi ia merasa bahagia karena akhirnya ibu mau memeluknya. Baru saja ia serasa diterbangkan tinggi-tinggi, namun pagi ini ia kembali dijatuhkan. Ia kembali dihancurkan oleh semesta.

Pagi tadi sang ibu masuk ke dalam kamarnya. Ia pikir sang ibu ingin membangunkannya, tapi dugaannya salah. Justru sang ibu memandangnya penuh amarah dan detik selanjutnya tangan ibu kembali melayang ke wajahnya disertai dengan kalimat menohok.

Juan tak tahu apalagi salahnya, tapi setelah sang ibu memberikan sebuah foto. Ia langsung tahu dimana salahnya. Foto itu adalah fotonya saat berkerja di kafe. Ia tak tahu di mana sang ibu mendapatkannya. Yang pasti saat itu, ibu terlihat begitu kecewa.

"Argh!"

Juan berteriak frustasi, ia mengacak-acak rambutnya kesal.

"Sudah saya katakan bahwa kamu tidak akan pernah bahagia, anak sialan."

Kalimat penuh ejekan itu berasal dari Kamila yang berdiri di ambang pintu kamar Juan. Wanita tua itu menatap Juan dengan tatapan penuh ejekan. Raut wajahnya terlihat begitu bahagia melihat Juan yang tampak kacau.

Juan mengepalkan tangannya, dari sini ia sudah tahu darimana sang ibu mendapatkan foto itu. Ia menghela napas panjang menatap sang nenek.

Juan tahu hadirnya memang merusak banyak hal, tapi apa sang nenek tidak bisa membiarkannya bahagia sejenak? Juan tidak meminta macam-macam, ia hanya ingin bahagia bersama sang ibu. Jika memang sang nenek enggan menerimanya, Juan tak apa, asalkan sang ibu mau menerimanya.

Tapi mau diapa? Bahagianya lagi-lagi sirna.

"Sampai kapanpun saya tidak akan membiarkan Aruna menerima kamu."

Setelah mengatakan itu, Kamila berlalu pergi. Meninggalkan Juan yang sudah meluruh.

Kali ini Juan kembali kalah, ia tak menangis. Ia hanya termenung memikirkan takdirnya. Juan tak ingin menangis, ia hanya akan terlihat begitu menyedihkan nantinya.

Juan mendongak menatap langit-langit kamarnya. Pikirnya lagi-lagi berkelana jauh. Juan bertanya mengapa semesta kembali menyiksanya, mengapa semesta kembali merenggut bahagianya. Apa ia memang tidak pantas untuk bahagia? Apa karena hadirnya yang membawa luka sehingga semesta enggan memberinya bahagia?

.
.
.

"Malam ini jangan pulang ke rumah, calon suami anak saya akan datang. Saya tidak ingin dia melihat anak sialan seperti kamu!"

"Maksud Nenek?" tanya Juan.

Kamila berdecih. "Calon suami Aruna malam ini akan datang, jadi saya minta kamu jangan pulang. Saya tidak ingin calon menantu saya melihat kamu."

"Ibu mau nikah?" tanya Juan lagi.

"Hm."

Tidak, tidak mungkin. Bukannya Juan tidak ingin sang ibu bahagia dengan menikah. Juan hanya takut jika persepsinya benar-benar tidak akan dianggap jika seseorang hadir di antara mereka.

Juan takut jika ayah sambungnya nanti tidak akan menerimanya seperti keluarga sang ibu.

"Jadi, saya ingatkan sekali lagi, jangan pulang. Kamu hanya orang asing yang tidak perlu dikenalkan." Kamila berujar sinis.

Juan memilih mengabaikannya sang nenek dengan berlari menuju kamar sang ibu. Ia harus pastikan apakah semua ini benar.

"Yang kamu dengar barusan itu benar, Ju."

Juan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang