07. Semesta tidak Pernah Adil

2K 222 1
                                    

Semesta selalu punya cara untuk menguji seseorang. Menguji mental dan kesabaran. Semesta tidak pernah salah dalam menyampaikan takdir. Semesta selalu tahu siapa yang mampu dan tidak mampu.

Dan Juan adalah seseorang yang mampu untuk menghadapi jerat takdir dari semesta. Juan mampu untuk tetap kembali berdiri tegak meski telah dijatuhkan berkali-kali. Juan mampu walaupun sering kali dipatahkan oleh takdir semesta yang mempermainkannya.

Tuhan tahu bahwa Juan anak yang kuatnya, makanya Juan diuji berkali-kali.

Tapi, Dito merasa semesta tak pernah adil terhadap sahabatnya. Juan sudah terlalu banyak menanggung derita, mengapa semesta harus menambah deritanya lagi?

Dan bodohnya Juan, ia bahkan tak mengeluh atau sekadar marah pada semesta. Ya, karena Juan sadar dan Juan masih tahu diri bahwa ia tak ada hak untuk marah, sebab semuanya adalah takdir yang harus dijalani, bukan ditentang.

Dito sudah tahu bahwa sahabatnya itu diskors selama seminggu. Remaja itu berseru tidak terima karena jelas-jelas bukan Juan yang bersalah, melainkan Juna yang lebih dulu mencari perkara. Dito geram dengan pihak sekolah yang hanya melihat dari satu sudut pandang tanpa melihat dari sudut pandang Juan.

"Udahlah, Dit. Yang diskors kan gue, kenapa lo yang marah?"

Dito mendengus. "Gimana gak marah kalau teman gue ini diperlakukan nggak adil. Harusnya lo ngelawan, Ju, bukannya diam aja."

Juan menghela nafas panjang. "Percuma lah, Dit. Mereka nggak bakal percaya," katanya pasrah.

"Makanya coba, Ju."

Juan yang semula berdiri, merebahkan tubuhnya hingga ia telentang di atas rumput. "Gue udah ngomong yang sebenarnya langsung sama pemilik sekolah, tapi beliau nggak percaya, Dit. Justru beliau malah men-judge penampilan gue yang urakan ini. Beliau bilang kalau cover-nya aja udah buruk, pasti di dalamnya juga sama buruknya," katanya curhat. Jujur ia sedikit sakit hati mengingat ucapan Rajendra.

Memangnya ia terlihat seburuk itu, ya?

"Serius?"

Dito berseru tidak percaya.

Juan hanya mengangguk sekilas, netranya tak lepas memandangi indahnya angkasa. Andai hidupnya secerah angkasa.

"Ibu lo udah tahu?" tanya Dito.

"Belumlah. Gue aja belum pulang ke rumah," jawab Juan. Ia memang belum sempat pulang ke rumahnya. Ia saja masih mengenakan seragam putih abu-abunya.

Dito ikut merebahkan tubuhnya di samping Juan. "Kira-kira gimana respon Ibu lo nanti pas tau lo diskors selama seminggu, ya?"

"Hmm.. Ibu pasti marah besar." Juan terkekeh sumbang membayangkan seberapa marah ibunya nanti.

"Kalau lo takut pulang ke rumah lo, ikut gue aja, yuk."

"Dih, ogah. Apalagi ada abang lo."

"Kenapa sama Abang gue? Kayaknya lo anti banget sama dia." Dito penasaran. Juan memang jarang ke rumahnya jika kakaknya ada di rumah, entah karena alasan apa.

Untuk sesaat Juan terdiam, mana mungkin ia mengatakan yang sebenarnya. Juan tak ingin hubungan Dito dengan kakaknya malah renggang karena dirinya. "Abang lo galak, Dit. Mukanya sangar, lebih sangar dari Pak Adit," ujarnya.

Dito tertawa kecil, ikut membenarkan ucapan Juan. Kakaknya memang galak, mukanya juga agak sangar. Tapi, sejujurnya kakaknya itu sangatlah baik dan juga penyayang. Buktinya ia sangat menyayangi kakaknya itu.

"Lo kan diskors selama seminggu, Ju. Lo ada rencana apa gitu selama tujuh hari itu?" Dito kembali bertanya.

Juan tampak berfikir. Benar juga, ia diskors selama seminggu, jadi selama tujuh hari itu apa yang harus ia lakukan, ya? Tidak mungkin juga hanya berdiam diri di rumah, tapi ia mau melakukan apa di luar?

Juan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang