"Sialan kamu, Juan!" pekik Aruna.
Juan hanya bisa memejamkan matanya pasrah. Menerima setiap pukulan dan makian sang ibu. Juan tahu ia salah karena diam-diam menemui sang ayah tanpa sepengetahuan sang ibu dan berakhir mendapat hinaan. Jika ia tahu dampaknya akan sebesar ini pada sang ibu, ia tidak akan pernah mau bertemu sosok ayahnya.
"Puas kamu bikin Ibu dihina-hina lagi, iya?" Aruna kalap, ia sampai memukul Juan dengan buku tebal tanpa ampun. Seolah setiap pukulannya bukanlah apa-apa, padahal Juan sudah tidak berdaya dibuatnya. Aruna bahkan seolah tak sadar jika buku itu telah berlumuran darah.
Juan masih diam, meringkuk di lantai yang dingin. Ia sudah pasrah jika memang akan berakhir di tangan ibunya hari ini. Bohong jika ia mengatakan tidak kesakitan, karena nyatanya perih begitu mendominasi terutama di bagian kepalanya.
"Kamu kenapa begitu menyebalkan, sih, Ju? Kenapa kamu harus bertemu dengan bajingan itu?"
"Jawab, Juan!"
"J-juan cuma mau ketemu Ayah, Bu," jawab Juan dengan suara pelan.
Mendengar itu, Aruna tambah murka. Ia marah karena Juan ingin bertemu dengan ayah kandungnya. Aruna marah karena takut Rajendra akan merebut Juan darinya. Ya, begitu. Namun, meski begitu, Aruna enggan mengakuinya dan justru kembali melukai anak tak bersalah itu.
"Untuk apa kamu menemui pria itu? Asal kamu tau, Ju, dia nggak akan mau menerima kamu karena kamu hanya benalu!"
Iya, Juan tahu hadirnya hanyalah benalu, tapi apa salah jika ia berharap hadirnya dianggap meski sesaat? Juan hanya butuh kasih sayang orang tua, hanya itu. Juan hanya ingin seperti anak-anak di luar sama yang dapat merasakan kasih sayang dari orangtuanya. Juan hanya ingin itu.
"Kamu itu benalu, Juan. Kamu hanya kesalahan. Harusnya dulu Ibu memang tidak usah mempertahan kamu. Kamu menghancurkan kebahagiaan Ibu. Kamu merusak segalanya, Ju..."
Aruna meluruh, menatap Juan yang sudah tak berdaya dengan darah yang bersimbah. Aruna keterlaluan, dan ia tahu itu.
Dengan gerakan pelan, ia mengelus surai tebal sang anak. Memangku kepalanya dan mengelus wajah itu penuh sayang. Namun, sangat disayangkan, sosok itu kini tak sadarkan diri. Ia tak tahu bahwa kini sang ibu sedang menangisinya.
.
.
.Juna murka setelah tahu bahwa pertemuan sang ayah dan Juan gagal karena hadirnya sang bunda dan neneknya. Ia tambah marah saat tahu Juan mendapatkan perlakuan buruk dari kedua wanita itu.
Ia tahu semua itu karena mendapat kabar dari Dito bahwa Juan masuk rumah sakit dengan keadaan yang lumayan parah setelah mendapat kekerasan dari sang ibu. Dari sanalah Juna tahu ada yang tidak beres dengan pertemuan ayahnya dan Juan.
Ia bertanya dan mendapat jawaban yang tidak disangka. Ia tidak menyangka bundanya akan bertindak sejauh itu, bahkan sang nenek pun ikut. Padahal Juan juga cucunya. Terlebih, Jay justru mendukung sang ibu.
"Kalian keterlaluan," ujar Juna tak habis pikir. Jika saja tak ada mereka di sini, ia pasti sudah menangis.
"Keterlaluan bagaimana, sih, Jun? Anak itu pantas mendapatkan semua itu. Dia merusak kebahagiaan ayah dan Bunda, Nak."
Juna menggeleng, membantah semua itu. "Bukan Juan yang merusak kebahagiaan kalian! Memang Juan pernah minta untuk dilahirkan? Nggak, Bun! Kalau Bunda lupa, Juan juga anak Ayah, dia berhak dapat kasih sayang Ayah."
"Ayah bahkan nggak pernah mengharapkan dia, Jun," ujar Jay yang kelewat resah dengan perdebatan ini. Ia tambah tak menyukai anak haram sang ayah yang ternyata adalah seseorang yang sudah beberapa kali ia temui. Jay tak menyangka bahwa bocah menyebalkan itu adalah anak haram sang ayah. Ia memilih melenggang pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juan [END]
General FictionIni bukan kisah romansa dimana si pangeran sekolah jatuh cinta dengan primadona sekolah, bukan pula kisah si badboy yang jatuh cinta dengan seorang gadis polos, apalagi kisah si tukang bully yang jatuh cinta dengan korbannya. Sekali lagi ku ingatkan...