10. Kata yang tak Sampai

1.8K 229 3
                                    

Selamat membaca lembar kehidupan Juan. I hope you like and keep support this story




"Mas ketemu lagi, kan sama dia?" tanya Jina penuh selidik.

Rajendra yang baru saja pulang menghela napas lelah. Niatnya pulang untuk beristirahat, tapi justru mendapat pertanyaan seperti itu.

"Hm. Tapi, hanya sebentar," jawabnya.

"Apa yang kalian bicarakan?"

Jina kembali bertanya, ia hanya tidak ingin kejadian tujuh belas tahun lalu terjadi lagi. Cukup sekali ia dihancurkan.

"Tidak ada hal yang penting, Jina. Tidak usah berlebihan."

Rajendra bersandar di sandaran sofa, mencoba merilekskan tubuhnya yang sangat lelah. Jina ikut duduk di samping sang suami, masih banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan. Ia tidak ingin kecolongan lagi.

"Aku nggak nanyanya penting atau nggak, Mas. Aku cuma nanya kalian ngobrolin apa?"

Rajendra menghela napas, tidak akan ada hentinya jika ia tidak jujur. "Aku hanya memastikan sesuatu, tidak ada yang lain. Kami pun hanya mengobrol sebentar," jawabnya.

Kening Jina mengkerut, memastikan sesuatu? Jangan bilang tentang hal itu? "Apa?"

Lagi dan lagi Rajendra menghela napas, kenapa istrinya ini sangat banyak bertanya? Padahal niatnya tidak akan pernah membahas hal itu lagi, tapi kenapa sang istri terus saja memancingnya untuk bercerita?

"Tidak penting, Jina."

Jina terkekeh sumbang. "Tidak penting? Dulu Mas juga mengatakan hal yang sama, tapi nyatanya bohong. Hal 'tidak penting' itu bahkan hampir merusak rumah tangga kita," katanya mengungkit masa lalu.

Rajendra yang semula terpejam, membuka matanya menatap sang istri yang terlihat marah. Ia kemudian memegang kedua bahu istrinya itu. "Dengar, Jina, jangan pernah bahas itu lagi. Kita sudah sepakat sebelumnya untuk tidak mengungkit hal itu lagi, kan. Dan aku juga sudah tidak pernah berurusan dengan dia lagi sesuai dengan keinginanmu," tekannya.

"Tapi, Mas baru saja menemui wanita menjijikan itu! Dan aku yakin kalian pasti membicarakan anak hara—"

"Jina!" sentak Rajendra. Mendadak ia tidak suka saat sang istri menghina seseorang yang bahkan tak tahu apa-apa.

"Apa? Benar, kan? Wanita itu pasti meminta Mas untuk merawat anak kalian, kan?"

Air mata Jina sudah meluruh.

"Tidak, tidak seperti itu."

Rajendra mencoba memberi pengertian kepada sang istri. Ia tidak ingin istrinya itu salah paham, karena jujur ia sama sekali tidak ada niatan mengambil Juan, pun Aruna juga tidak akan mau menyerahkan Juan padanya.

"Lalu apa?"

"Dengar, aku menemuinya hanya untuk memastikan apakah anak itu benar-benar anaknya, hanya itu, Sayang," tutur Rajendra.

"Dan anak itu benar anaknya, kan? Yang otomatis juga anak kamu, Mas!" pekik Jina.

Rajendra mengusap wajahnya kasar. "Hm.. kamu benar, dia memang darah dagingku, tapi sampai kapanpun anakku hanya Jay dan Juna, hanya mereka! Anakku hanya mereka, tidak ada yang lain," katanya.

Andai Juan tahu bahwa Rajendra adalah sosok yang ingin ia peluk raganya dan andai Juan mendengar kalimat Rajendra, mungkin anak itu benar-benar akan hancur. Sebab dalam diamnya yang penuh luka, diam-diam ia selalu berdoa pada Tuhan semoga hadirnya dapat diterima sang ayah. Namun nyatanya, hadirnya benar-benar tak ada yang mengharapkan.

Juan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang