22. Inginnya Bertahan...

2.6K 244 8
                                    

Happy Reading ☺️






Plak

Langkah Juna mendadak berhenti, jantungnya berpacu lebih cepat. Namun, sesaat kemudian ia kembali melangkahkan kakinya lebih cepat.

"Juan!"

Yang dipanggil sama sekali tak menoleh membuat Juna langsung menarik tangannya. Menyembunyikan remaja itu di balik tubuhnya. Tatapannya nyalang memandang seseorang yang menampar sang adik, ayahnya. Juna marah tentu saja.

Susah payah ia mengembalikannya mood Juan, tapi dengan mudah sang ayah kembali memperburuknya. Tak mudah ia membujuk Juan untuk kembali mengumpulkan semangatnya.

Di belakang punggung tegap sang kakak, Juan hanya mampu menunduk. Bohong jika ia katakan ia baik-baik saja, nyatanya saat ini ia kembali dipatahkan—untuk kesekian kalinya.

Hari ini Tuhan seakan ingin mengujinya, apakah ia masih sanggup ataukah sudah lelah. Apakah dirinya masih bisa bertahan atau menyerah?

Luka yang ia dapat hari ini memang cukup untuk mematahkan semua semangat dan harapannya, namun untuk menyerah, terlalu awal untuknya. Juan ingin egois untuk sekarang, ia masih ingin berjuang. Berharap esok hari bahagia menyambutnya. Berharap hari ini hanyalah mimpi buruk semata.

"Lo nggak pa-pa, kan?" Juna berbalik, menatap sang adik.

Hanya anggukan samar yang Juna dapat.

Juna kembali berbalik, menatap sang ayah. "Ayah kenapa, sih? Adik aku salah apa?"

Rajendra terkekeh geli. 'Adik' katanya. "Salahnya banyak, salah satunya karena dia kamu jadi jarang pulang," katanya.

Juna menghela napas pelan, sungguh ia lelah berhadapan dengan sang ayah yang keras kepala nan egois. Sudah berulang kali ia katakan bahwa ia akan pulang ketika Juan sudah baik-baik saja, namun tetap saja ayahnya tidak mau mengerti.

"Ayah! Aku pulang, tapi nggak sekarang. Nanti."

"Tidak bisa, kamu harus pulang sekarang!" tekan Rajendra.

"Aku akan pulang, tapi nggak sekarang, Yah. Ngertiin dong."

Kedua orang itu terus berdebat, seolah lupa masih ada seseorang yang diam-diam berusaha menguatkan hatinya. Juan lagi-lagi terluka.

Jujur, Juan iri dengan Juna, sangat iri. Juna begitu disayangi oleh orang tuanya. Juna tak pulang, mereka mencarinya—memaksanya untuk pulang. Sedangkan dirinya, dibiarkan begitu saja.

Ah, Juan... Kenapa jadi membandingkan hidupmu dengan Juna?

Kita jelas beda, batinya.

"Ayah tunggu di rumah nanti malam. Kamu akan terima akibatnya jika tidak pulang," ujar Rajendra dan setelahnya melenggangkan pergi.

Juna menghela napas panjang. Ia bimbang, antara menemani Juan ataukah pulang. Disatu sisi ia tidak ingin meninggalkan sang adik, tapi disisi lain ia takut jika tak menuruti sang ayah, maka Juan yang akan mendapat akibatnya. Sang ayah tak pernah main-main dengan ucapannya.

"Lo pulang aja, Bang. Gue nggak pa-pa."

Ditengah hening, Juan bersuara seolah tahu isi pikiran sang kakak. Juan cukup sadar diri bahwa hadirnya kembali menjadi penghalang kebahagiaan. Harusnya dari awal Juan tahu usah berurusan dengan sang kakak jika tahu hadirnya meretakkan hubungan keluarga sang kakak.

"Tapi, Ju—"

"Pulang, Bang."

Juna menggeleng tegas, ia tidak ingin meninggalkan Juan disaat remaja itu sedang butuh penopang.

Juan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang