16. Hadirnya adalah Luka

2K 221 15
                                    

Happy Reading 💕






"M-maksud Om apa?" tanya Juan sesaat setelah Dimas memotong ucapan Juna.

Dimas memutar bola matanya malas. "Singkatnya, kamu anak haram Ayah dia," katanya menunjuk Juna.

Juan menatap Juna menuntut penjelasan dan anggukan Juna menjawab semuanya. Juan menggeleng mencoba menyangkal, tidak mungkin pikirnya. Ayah Juna bukan ayahnya, bukan.

"Kalian pasti bohong, kan?" ujarnya mencoba menyangkal. Ia yakin sang paman dan Juna sedang membohonginya. Pasti mereka sedang berbohong.

"Nggak, Ju. Ayah gue emang ayah lo," kata Juna mencoba meyakinkan.

Juan menggeleng. Entah mengapa ia enggan mempercayai, namun Juan tak menemukan kebohongan di mata Juna dan sang paman. Rasanya begitu sesak saat tahu bahwa seseorang yang selama ini diam-diam ia rindukan adalah ayah dari Juna, seseorang yang pernah tanpa sengaja menghinanya.

"Tidak usah men-drama di sini, lebih baik ikut saya."

Dimas menarik paksa Juan meninggalkan kafe itu. Juan mencoba memberontak, tapi tenaga Dimas bukanlah tandingannya. Juna sendiri sudah mencoba menahan, tapi sia-sia.

"Om, lepasin. Aku harus mastiin dulu," pinta Juan.

"Apa yang harus kamu pastikan? Sudah jelas kalau ayah bejat yang kamu nanti-nanti itu adalah Rajendra!" murka Dimas membuat Juan bungkam.

"Tidak usah menangis. Air mata kamu tidak ada gunanya!"

Mereka pun masuk ke dalam mobil—mobil Dimas. Dimas sengaja menjemput Juan atas keinginan sang adik. Ia sebenarnya enggan, namun karena paksaan Aruna, ia akhirnya mengiyakan.

Suasana di dalam mobil hening, keduanya enggan berbicara. Dimas memilih fokus menyetir dan Juan yang larut dalam pikirannya. Juan terus saja mencoba menyangkal bahwa Rajendra adalah ayahnya.

"Dari penampilan kamu saja sudah membuktikan bahwa kamu memang tidak bisa dipercaya."

Kalimat itu kembali teringat dan entah mengapa sekarang rasanya begitu menyakitkan. Padahal saat itu ia bahkan sama sekali tidak sakit hati. Mungkin karena sekarang ia tahu bahwa sosok itu ternyata adalah ayahnya. Sosok yang diam-diam ia rindukan. Sosok yang ia coba hapus dari hidupnya yang nyatanya tidak bisa.

"Tidak usah sok tersakiti, karena sejatinya kamu itu luka. Hadirnya kamu itu luka bagi adik saya. Coba saja dulu Aruna tak keras kepala untuk mempertahankan kamu, dia pasti sudah hidup bahagia sekarang. Impiannya pasti sudah terwujud."

Kalimat itu berhasil menohok Juan, lagi. Juan tidak pernah lupa bahwa hadirnya hanyalah sebuah luka. Hadirnya hanyalah ketidak sengajaan. Ia adalah aib yang merusak kehidupan sang ibu. Juan tahu betul itu. Tapi, salahkah Juan jika ia mengharapkan bahagia?

"Jangan berfikir bahwa saya dan keluarga saya yang jahat karena tidak memperlakukan kamu dengan baik selama ini. Justru kamu yang jahat karena masih ingin bertahan, Ju. Coba saja kamu menyerah sedari dulu, kamu tidak akan menderita seperti sekarang. Kamu jahat karena terus bertahan dan menjadi aib untuk adik saya," lanjut Dimas.

Sebelumnya Dimas selalu enggan ikut campur, tapi sekarang ia keluarkan unek-uneknya. Beberapa hari yang lalu ia dibuat tertegun melihat wajah adiknya yang nampak begitu bahagia saat dilamar calon suaminya. Malam itu Aruna benar-benar bahagia, tak seperti sebelumnya.

Dan ia tahu betul penyebab keterpurukan sang adik adalah Juan. Juan yang masih terus bertahan meski sudah dihancurkan berkali-kali.

"Salah, ya, kalau Juan berharap bahagia sebentar aja?" tanya Juan lirih.

Terdengar kekehan samar dari Dimas. "Sangat salah. Kamu anak yang lahir membawa luka, tidak pantas mendapatkan bahagia, walaupun sesaat. Kamu harus sadar diri," katanya.

"Gitu, ya." Juan tersenyum miris. Benar kata pamannya, tapi Juan tetap enggan menyerah. Menurutnya bahagia akan datang jika ia terus berjuang. Ia tidak boleh menyerah sekalipun sudah dipatahkan berkali-kali.

"Saya harap kamu mengerti."

"Tapi, nggak sekarang, Om."

.
.
.

Mungkin Juan memang harus menyerah karena tetap saja hadirnya tidak akan pernah diharapkan. Ia sudah berjuang sangat keras, namun nampaknya bahagia tak ada untuknya.

Tapi, Juan tetaplah Juan. Si remaja pucat yang sudah berteman dengan luka dari kecil. Ia tidak akan menyerah selagi Tuhan masih memberinya kesempatan untuk berpijak di dunia. Menurutnya ini adalah kesempatan yang diberikan Tuhan dan ia tidak akan menyia-nyiakannya dengan berputus asa.

"Setelah Ibu menikah nanti, Ibu akan ikut suami Ibu. Dan untuk kamu, Ibu tidak lagi tanggung. Setelah menikah, Ibu tidak akan bekerja. Jadi, kamu harus pintar-pintar mengatur keuangan kamu. Lagipula kamu sudah bekerja, kan? Jadi sudah bisa menghasilkan uang sendiri untuk hidup kamu," ujar Aruna tanpa menatap sang anak yang kini sudah tertunduk lemas.

Juan mati-matian menahan air matanya. Ternyata benar sang ibu benar-benar akan membuangnya.

"Kamu tidak bisa ikut Ibu, Ju. Mas Wira juga punya anak yang harus diurus. Ibu tidak mau membagi waktu Ibu hanya untuk kamu."

"Tapi, aku anak Ibu. Anak kandung Ibu. Sedangkan anak itu cuma anak tiri Ibu!" ujar Juan menekankan identitasnya.

Aruna terkekeh samar. Ia lalu menatap Juan. "Setidaknya dia diharapkan, Ju. Sedangkan kamu tidak. Kamu itu luka untuk Ibu, sedangkan dia anugerah untuk orangtuanya. Jangan bandingkan dirimu dengan anak Mas Wira, Ju. Kalian sangat berbeda."

Kali ini Juan benar-benar sudah tidak sanggup menahan air matanya. Juan menangis dalam diamnya. Hatinya terluka. Ibunya lebih memilih orang lain ketimbang dirinya yang jelas anak kandung sang ibu.

"Terserah kamu mau tinggal di mana nanti, Ibu tidak peduli. Rumah ini akan Ibu Jual."

Juan sontak mendongak. Rumah akan dijual? Tidak, jangan sampai. Rumah ini terlalu banyak kenangannya, meski lebih banyak kenangan buruk. Tapi, tetap saja Juan tidak rela jika rumah ini dijual. Bagaimana pun ia tumbuh dan besar di rumah ini. Rumah ini sangat berkesan untuknya.

"Ibu boleh buang Juan, Ibu juga boleh nggak peduliin Juan lagi, tapi Juan mohon jangan jual rumah ini, Bu. Rumah ini penuh makna untuk Juan," mohonnya dengan suara bergetar.

Aruna tak menghiraukan, ia tetap pada keputusannya untuk menjual rumah ini. Rumah yang sudah lama menjadi saksi kehidupannya yang tak mudah. Rumah yang penuh dengan kenangan buruk. Rumah yang penuh dengan luka. Maka dari itu, Aruna ingin menghapus semua kenangan buruk itu dengan menjual rumah ini.

"Ibu, Juan mohon jangan jual rumah ini." Juan kembali memohon. Ia benar-benar tidak rela.

"Ini rumah Ibu, jadi terserah Ibu."

"Bu.. Juan mohon... Kali ini aja Ibu turutin kemauan Juan. Atau gak biar Juan aja yang beli, tapi tunggu uang Juan cukup, ya, Bu."

Aruna terkekeh geli. "Nunggu sampai kuda bisa terbang juga kamu nggak bakal bisa ngumpulin uang, Ju."

"Bu, Juan mohon..." Juan memohon lebih keras. Ia tidak akan bisa tenang jika rumah ini benar-benar dijual.

Eh?

"Diam, Juan. Kamu tidak ada hak mengatur Ibu," kata Aruna yang sudah terlanjur kesal.

"Tapi, Juan anak Ibu."

"Anak yang tidak Ibu inginkan."

Setelah mengatakan itu, Aruna pergi ke kamarnya. Ia sudah jengah mendengar permohonan sang anak.

"Dengar, kan? Kamu itu anak yang tidak diinginkan, seperti luka yang menyakitkan," ujar Dimas yang memang sedari tadi menyimak ibu dan anak itu.

Luka yang menyakitkan, ya?



Bersambung...

Juan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang