21. Rasa Takut

2.2K 229 6
                                    

Happy Reading










Juan tahu lari dari kenyataan adalah sikap pengecut. Menghindar bukanlah solusi yang tepat, namun bukan begitu maksudnya. Ia hanya butuh waktu untuk istirahat, memulihkan jiwa dan raganya. Memantapkan hati untuk kembali berjuang.

Bagaimanapun Juan tetaplah manusia, ia punya rasa lelah. Namun, lelahnya bukan untuk menyerah, melainkan beristirahat sejenak.

Badai kedepannya akan lebih kencang, Juan tak ingin tiba-tiba roboh nantinya.

Sudah dua hari ini Juan menetap di rumah Chiko. Chiko sendiri tak masalah, pun dengan Aldi. Bocah itu justru senang karena tak kesepian lagi jika Chiko tak ada di rumah.

"Gue salah karena kabur, ya, Bang?"

Suara Juan memecah keheningan di antara ia dan Chiko.

Chiko menatap intens remaja itu. Jujur ia membenarkan pertanyaannya, namun Juan tak sepenuhnya salah. Di sini Juan juga terluka, jadi wajar jika ia butuh waktu untuk beristirahat. Chiko sangat tahu bagaimana rasanya berada di posisi Juan, ia pernah merasakannya.

"Menurut lo sendiri gimana?"

Juan menunduk. Entahlah, ia tak tahu. Ia rasa keputusannya tak salah, namun hatinya selalu resah.

"Gue nggak tau, tapi gue ngerasa ini nggak benar. Perasaan gue nggak bisa tenang."

Chiko tersenyum maklum. Ia mengusak surai remaja itu. "Sekarang gue tanya, menurut lo apa ada yang nyariin lo sekarang? Apa ada yang khawatirin lo?"

Juan tak langsung menjawab, ia bingung. Memangnya siapa yang akan mengkhawatirkannya? Ibunya tak mungkin. Wanita itu sudah tak memperdulikannya. Lalu sang ayah mana mungkin juga, bahkan saat ia ditampar dan dihina-hina tempo hari, ayahnya tak menampakkan kekhawatirannya.

Tapi, bukankah masih ada Dito dan Juna.

Ya, masih ada kedua orang itu yang peduli padanya. Dan ia yakin Juna dan Dito saat ini pasti sedang mengkhawatirkannya.

"Mungkin ada. Teman dan Abang gue."

"Jadi, lo taukan harus gimana?"

Juan mendongak menatap Chiko. Tatapannya sarat akan ketakutan dan itu membuat Chiko tak tega.

"G-gimana kalau gue ketemu mereka lagi? Gue takut, gue takut mereka..."

Suara bergetar itu membuat Chiko terhenyak. Tak pernah menyangka bahwa luka remaja itu menimbulkan rasa takut kepada orang yang Chiko yakini adalah orang tuanya.

Chiko merengkuh tubuh bergetar itu, tak tega kembali melihat sisi rapuhnya.

"Kenapa harus takut, Ju? Mereka orang tua lo. Jangan mikir yang aneh-aneh." Chiko seperti merasakan Dejavu.

Juan tak menjawab. Ia juga bingung mengapa rasa takut itu tiba-tiba menghantuinya.

Mungkin memang ia butuh istirahat. Jiwanya butuh istirahat.

"Kalau lo emang belum mau ketemu mereka, gimana kalau temuin teman dan abang lo aja? Lo pasti kangen juga kan sama mereka?" ujar Chiko. Akhir-akhir ini ia jadi banyak bicara.

.
.
.

Juna tak mengira Juan akan benar-benar menghilang dari jangkauannya. Sudah dua hari ini ia mencari dan terus mencari, namun tetap ia tak menemukan sang adik. Rasanya ia akan gila memikirkan Juan, apakah adiknya itu baik-baik saja? Apakah Juan sudah makan? Dan sebagainya.

Dua hari ini pun ia tak pulang ke rumah, lebih memilih menginap di apartemennya. Ia masih marah dengan orang tuanya, terutama sang ayah. Ia tak menyangka ayahnya benar-benar akan acuh terhadap Juan, bahkan ketika tahu jika Juan menghilang.

Juan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang