Saat ini Naren sedang berada di gazebo halaman belakang rumahnya, tempat dimana Alfian bermain bersama Jenandra dan Naresh. Tangannya sibuk mencoret-coret buku sketsa yang ada di pangkuannya. Menggambar sketsa wajah yang bisa dipastikan itu wajah Alfian.
Tiba-tiba ia teringat dengan ucapan kembarannya tadi pagi.
Apa mungkin itu hanya mimpi Naren?
Tapi kalau itu mimpi, kenapa rasanya sangat nyata? Terlebih di mimpi itu ia sudah menjalin hubungan selama 3 tahun lebih.
Naren menggelengkan kepalanya. Ia meraih ponselnya yang sudah retak karena terbentur lantai pagi tadi. Membuka semua media sosial yang ia punya, mencari nama Alfian untuk kesekian kalinya. Namun hasilnya tetap sama, tak ada yang bernama Alfian di list followers dan following akun sosial media nya.
"Naren!"
Seseorang memanggilnya dengan suara berat. Ia mendongakan kepalanya untuk melihat siapa yang memanggilnya. Ah Jenandra ternyata.
"Ngapain?" Tanya Naren.
"Ayo jalan-jalan, bertiga sama gue sama Naresh." Ajak Jenandra dengan semangat.
"Kalian aja, gue males keluar."
"Ayo Ren. Kita cari udara segar, kasian gue liat lo murung dari tadi."
Tanpa menunggu jawaban dari Naren, Jenandra menarik tangan Naren agar Naren mau mengikuti dirinya. Sedangkan Naren, ia pasrah ditarik seperti itu oleh Jenandra. Ia tak punya tenaga untuk melawan.
Sesampainya di ruang keluarga mereka mendapati Naresh yang sudah siap dengan pakaian seadanya sedang menunggu mereka. Naresh menoleh saat merasa ada yang berjalan mendekatinya.
"Kok bisa?" Tanya Naresh heran. Karena setelah Naren menangis tadi, Naresh berinisiatif untuk mengajak kembarannya pergi berjalan-jalan, tapi yang ia dapatkan hanya penolakan.
"Bisa dong. Apasih yang gak Jenan bisa?"
"Banyak, masak salah satunya."
"Ya kalau itu pengecualian."
"Pasti kamu seret kan Narennya?"
"Iya, kalau gak di gituin bakal bengong terus anaknya." Sahut Jenandra dengan cengiran khasnya.
Naresh memalingkan wajahnya untuk menatap Naren yang berada di sebelah Jenandra.
"Ren, lo ganti baju sana." Perintah Naresh.
Naren hanya mengikuti perintah adik kembarnya tanpa menjawab selatah kata pun. Di pikirannya sekarang hanya ada Alfian, Alfian, dan Alfian. Ia merindukan sosok itu.
Biasanya setiap hari minggu, ia dan Alfian akan menghabiskan waktu berdua untuk berjalan-jalan di sekitar taman yang berada tak jauh dari rumah Naren. Alfian lagi.
Malas berganti baju, Naren hanya mengambil hoodie serta dompet miliknya. Lalu ia kembali ke bawah untuk menemui Naresh dan Jenandra.
Begitu sampai di bawah ia melihat keduanya tengah asik bermain game di ponsel masing-masing.
"Jadi?" Tanya Naren saat ia sudah berada di sebelah kembarannya.
"Eh? Ayo! Jen ayo Jen!" Sahut Naresh. Ia segera mematikan ponselnya lalu menarik tangan Jenandra yang masih fokus dengan game nya.
Jenandra menatap kekasihnya dengan tatapan kesalnya. Padahal sedikit lagi ia akan memenangkan game itu. Dengan wajah cemberutnya ia mengikuti langkah si kembar menuju mobil hitam miliknya.
"Mulut lo dah kayak bebek, Jen." Celetuk Naren.
Jenandra membalikan badannya untuk menatap Naren yang berada di kursi belakang bersama kekasihnya. Berasa jadi supir Jenandra.
"Lo noh bebek!" Balas Jenandra tidak terima.
Naresh langsung membuka suaranya sebelum terjadi perdebatan antara saudara dan kekasihnya.
"Diem kalian! Jen cepet keburu macet nanti."
"Nggih ndoro."
— DREAM —
Mereka bertiga sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan yang ada disana. Mereka memutuskan untuk menonton film sebelum ke tempat tujuan utama mereka, yaitu pasar malam.
Di perjalanan tadi, Naresh dan Jenandra berdebat mengenai tempat yang akan mereka tuju. Naren yang mendengarnya sampai menutup telinga, menghalau suara mereka agar tidak merusak gendang telinganya. Karena demi apapun mereka saling berteriak satu sama lain! Padahal posisi mereka tidak lebih dari satu meter.
"Jen, sana pesen tiket. Aku sama Naren beli popcornnya." Perintah Naresh, lalu ia menarik tangan kembarannya untuk mengantre membeli popcorn.
Jenandra pun segera memasuki antrean untuk membeli tiket.
Setelah mendapat tiket dan popcorn, mereka bertiga memasuki teater karena sebentar lagi film yang mereka tonton akan segera di mulai. Mereka memilih untuk menonton film horor yang sedang banyak di perbincangkan saat ini.
Ah Naren jadi ingat dengan Alfian yang tidak berani menonton film horor.
Naren menghembuskan nafas, menggelengkan kepalanya pelan agar tidak teringat oleh Alfian. Karena apapun yang ia lakukan pasti akan teringat akan Alfian yang entah ia nyata atau tidak.
"Na, gue di pojok." Ucap Naren saat mereka mencari tempat duduk yang sudah mereka pesan.
"Iya."
"Ren, pake ini. Gue tau lo gak tahan dingin." Ucap Jenandra sambil menyerahkan jaket miliknya.
"Thanks."
Naren menerima jaket milik Jenandra dan segera memakainya.
Tak lama film pun diputar. Tapi entah kenapa teater tempat mereka menonton hanya terisi sekitar sepuluh hingga lima belas orang. Padahal tadi saat memesan tiket semua hampir kursi sudah ada yang memesan. Kalau begini suasana di dalam teater menjadi mencekam, karena film yang di tayangkan adalah kisah nyata yang diangkat menjadi film ditambah banyak kursi yang pemiliknya entah akan datang atau tidak.
Naren mengeratkan jaket milik Jenandra ke tubuhnya. Karena suhu ruangan di dalam teater terlalu dingin.
"HUAAA AYAHHHHH" Naresh berteriak secara tiba-tiba. Ia langsung memeluk lengan kekasihnya yang berada di sebelah kirinya.
Bagaimana tidak, saat hendak menoleh kesamping yang notabennya tidak ada orang, tiba-tiba seseorang dengan wajah yang di poles sedemikian rupa sehingga menyerupai sosok yang ada di dalam film tersebut.
Semua yang ada di dalam teater menoleh ke arah mereka, ingin melihat apa yang terjadi. Semua sontak terkejut melihat kehadiran sosok itu. Mereka mencoba untuk menahan teriakan mereka yang hendak keluar.
"Sssttt.. udah pergi mbaknya." Ucap Jenandra menenangkan kekasihnya.
Naresh mengangkat kepalanya, mengintip ke samping untuk memastikan apa orang itu benar-benar sudah pergi. Ia dapat melihat orang tersebut berjalan ke arah kursi penonton lain.
Naren yang melihat itu menggigit bibirnya menahan tawa. Karena demi apapun, ini pertama kali setelah sekian lama ia melihat Naresh ketakutan seperti itu.
"Ketawa lo, Ren!"
Ia semakin menggigit bibirnya saat mendengar ucapan kembarannya tersebut. Lalu Naren kembali fokus ke layar besar yang ada di hadapannya.
Naresh menatap kesal kearah seseorang yang sedang cosplay itu, "Awas aja lo mbak. Gue bakal buat perhitungan sama lo!"