Naren beserta sepasang kekasih bucin itu tiba di sekolah pukul delapan kurang lima menit, yang artinya bel sekolah akan berbunyi 5 menit lagi. Sebenarnya jarak rumah mereka ke sekolah tidak begitu jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Tapi karena hujan, semua orang memutuskan untuk menggunakan mobil dan menyebabkan jalanan macet.
Cepat-cepat mereka berlari menuju kelas masing-masing. Tak peduli jika hujan turun membasahi bumi, yah walau hanya gerimis tetap saja itu bisa membasahi tubuh mereka. Jarak tempat parkir menuju gedung kelas hanya perlu menyebrangi lapangan basket.
BRAK!!!
Pintu kelas di buka dengan tidak santai oleh Naresh membuat semua orang yang berada di dalam kelas tersebut terkejut.
"Santai Na!" Celetuk Haekal saat melihat upin ipin di kelas itu datang dengan nafas yang terengah.
"Anjir basah semua baju gue." Gerutu Naresh sambil mencoba mengeringkan seragamnya dengan tangan.
Naren melirik Haekal yang duduk di dekat tembok sebelah kanan lalu melemparnya dengan tiba-tiba, "Kal tangkep!"
Haekal yang tidak ada persiapan memilih untuk menghindar dari lemparan tas Naren. Karena kalau tidak bisa-bisa jidat Haekal yang jadi sasarannya. Ia mendelik tajam kearah Naren yang masih berdiri di depan pintu.
"Bajingan Naren! Kalau muka gue kena gimana hah? Mana tas lo berat banget!" Protes Haekal.
Naren hanya mengedikan bahunya acuh, lalu ia menarik tangan kembarannya untuk diajak berganti pakaian. Untung saja mereka selalu membawa baju cadangan yang di simpan di dalam loker.
"Na, ayo ganti." Ajak Naren.
Naresh mengangguk menyetujui ajakan saudaranya, "Woi Yang, nitip. Nanti kalau Pak Agus dateng bilang kita masih ganti baju." Pesan Naresh.
"Siap!"
Setelah itu mereka berdua menuju ruang ganti yang biasa dipakai oleh murid cowok berganti pakaian saat jam olahraga. Kebetulan ruang ganti IPA dan IPS menjadi satu, kemungkinan Jenandra juga akan mengganti pakaiannya.
Mereka berjalan di sepanjang koridor yang mulai sepi karena bel masuk sudah berbunyi saat mereka tiba di kelas. Mata Naresh tak sengaja melihat kekasihnya berjalan menuju ruang ganti, dengan cepat ia menyusul kekasihnya itu meninggalkan Naren sendirian di belakang sana.
Naren menghembuskan nafasnya pelan, ia jadi teringat oleh Alfian yang kemana-mana selalu bersama Jenandra. Jujur, walaupun ia tak tau apakah Alfian ada di dunia ini atau hanya di dalam mimpinya, ia merindukan sosok tersebut.
Belakangan ini Naren tidak pernah memimpikan Alfian. Padahal ia ingin bertemu dengan kekasihnya itu. Ei apa Naren dan Alfian masih bisa disebut dengan sepasang kekasih?
Kan itu hanya mimpi Naren.
"Woi Ren! Ngelamun mulu, awas kerasukan!" Teriak Jenandra saat melihat Naren berjalan menuju ke arah mereka dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
"Temen lo beneran gak ada yang namanya Alfian, Jen?"
Lagi? Naren menanyakan itu lagi. Kemarin di perjalanan pulang setelah menonton film, Naren sudah menanyakan hal itu beberapa kali hingga Jenandra malas untuk menjawabnya.
"Enggak Naren. Lo udah nanya itu beberapa kali kemarin."
"Lupain."
Naren melangkahkan kakinya menuju loker miliknya, membukanya lalu mengeluarkan baju putih serta celana abu-abu miliknya.
"Kalian gak mau ganti?" Tanya Naren.
"Ini sekarang. Tadi nungguin lo biar bareng gantinya."
"Oalah, yaudah cepetan ayo, nanti di marah Pak Agus."