Mereka telah menyelesaikan acara menonton film dan sekarang mereka sedang berada di perjalanan pulang. Rencana untuk ke pasar malam mereka batalkan karena hujan tiba-tiba turun dengan sangat deras. Diganti esok hari, kalau tidak hujan.
Di dalam mobil hanya terdengar alunan musik dari radio yang disambungkan dengan bluetooth ponsel Naresh.
Jenandra menjalankan mobil mereka dengan pelan sebab jalanan licin karena hujan tadi.
Jalanan yang mereka lewati terlihat lumayan sepi. Hanya ada beberapa mobil dan sepeda motor yang lewat. Tak ada pejalan kaki yang biasa melintas di trotoar.
Mungkin karena hujan, orang-orang jadi malas untuk beraktifitas di luar ruangan. Walaupun hanya sekedar mencari makan malam. Lebih baik mereka berdiam diri di rumah sembari menikmati mi instan kuah yang di taburi cabai di atas nya. Ah jangan lupa untuk menambahkan telur setengah matang.
"Ren, ngomong-ngomong, gue boleh tau muka Alfian yang lo cari itu gak? Siapa tau gue liat orang yang lo maksud." Ucap Jenandra memecah keheningan di dalam mobil.
Naren yang sedari tadi melamun tersentak mendengar suara berat Jenandra. Ia mengalihkan pandangannya dari jalanan lalu menatap Jenandra.
"Hah? Apa Jen?"
"Mau liat muka si Alfian yang lo maksud itu."
Naren mengerjap pelan. Tangannya membuka tas miliknya untuk mengambil buku sketsa yang ia bawa. Lalu menyerahkan buku itu kepada Jenandra.
Jenandra menghentika mobilnya, lampu merah. Ia meraih buku yang di ulurkan oleh Naren. Memperhatikan dengan seksama sketsa wajah yang ada di atas kertas itu. Terlihat asing. Jenandra belum pernah melihat wajah ini selama ia tinggal disini.
TIN!! TIN!!
Klakson mobil di belakang membuyarkan fokus Jenandra. Cepat-cepat ia serahkan buku itu ke Naresh, lalu menjalankan mobilnya.
"Gue gak pernah liat muka itu orang sebelumnya di sekitaran sini." Kata Alfian membuka pembicaraan.
"Ren, mungkin Alfian itu sebenarnya ada, cuma dia lagi ada di negara yang beda sama kita. Hah entahlah." Naren berucap sambil mengangkat sedikit bahunya pertanda tidak yakin dengan ucapannya.
Jenandra mengangguk, menyetujui ucapan kekasihnya, "Bisa jadi."
Naren tak menanggapi ucapan sepasang kekasih itu. Ia malah fokus memandangi sketsa wajah yang diketahui itu adalah wajah Alfian.
"Eh tapi gimana kalau Alfian itu cuma tokoh di mimpinya Naren?"
— DREAM —
Sekitar jam 9 malam mereka sampai di kediaman Adhitama. Naren kembali melamun di dalam kamarnya, tangannya tak berhenti membuat garis di atas kertas sketsa. Merasa bosan, ia tutup buku sketsa itu dengan kasar, lalu diletakannya sembarang tempat.
Naren beranjak dari tempat duduknya menuju balkon kamarnya untuk mencari udara segar. Dinginnya udara karena hujan sore tadi masih terasa. Naren mendudukan dirinya di kursi kecil yang sengaja ia letakan disana. Menatap ke arah bawah, melihat satu persatu orang yang melintas.
Saat tengah asik dengan lamunannya, suara teriakan terdengar dari bawah sana. Naren menoleh kearah suara, mendapati Haekal sedang melambaikan tangan memanggilnya.
"NAREN!!! AYO KELUAR AJAK NARESH JUGA!" Ajak Haekal sambil berteriak.
Disebelahnya terdapat Hyangga yang sedang menutup telinganya, menghalau suara nyaring Haekal agar tidak merusak gendang telinganya.
"HUJAN ANJIR!"
"GERIMIS DOANG! BISA PAKE PAYUNG!"
"MAU KEMANA EMANG?"