***
Saat ini Fania masih tertidur pulas, sampai akhirnya kicauan burung membangunkannya.
Ia mendengar seperti ada suara pukulan kencang dari luar, ia segera beranjak dari tempat tidurnya sembari masih terkantuk-kantuk.
"OMG...! Kenapa dia pamerin roti sobeknya pagi-pagi", gumamnya dalam hati seraya langsung membalikkan badannya saat sampai di depan pintu rumah itu.
Ternyata suara itu berasal dari Darma yang sedang memotong kayu bakar menggunakan Kampak, sedangkan Fania masih menepuk-nepuk wajah yang masih terkantuk, dan berusaha menoleh kembali ke luar.
Duarrr...!!
Diwaktu yang bersamaan ternyata darma sudah ada di belakang fania, sontak Fania yang refleks menabrak tubuh kekar itupun kaget dan hampir terjatuh, untung saja dia menemukan kembali keseimbangan tubuhnya.
"Ada apa?" Tanya darma sambil memengang tangan Fania yang terlihat seperti orang demam.
Jantung Fania malah semakin berdegup kencang, "pake megang tangan segala lagi, aduh.." gumamnya dalam hati.
"Tidak apa-apa kan?" Tegas darma sekali lagi, yang belum mendapat respon dari Fania.
"Gapapa cuma sedikit pusing, iya pusing" Fania langsung mencari alasan dan kini memegangi kepalanya.
"Eh tunggu buat apa kayu-kayu itu?" Tanya Fania sambil menunjuk tumpukan kayu.
"Itu bisa digunakan untuk memasak" jawab darma.
"Ouh.." angguknya, "kalo gitu Gue istirahat sebentar ya" sambungnya sambil berjalan memasuki kamar.
***
Sedangkan di tempat lain, Sukma sudah bangun sejak dini hari seperti yang biasa ia lakukan, ia sudah berbenah diri dan duduk angun sambil menyelesaikan batik tulisnya.
"Diah, lihatlah apa yang sedang dia lakukan" ucap karwiti sambil menunjuk ke arah sukma, kebetulan sekali ia sedang bejalan bersama Diah.
Merekapun menghampiri Sukma, Diah yang jahil sengaja menyenggol Sukma hingga lilinnya tumpah berceceran.
"Ouhh.. i'm sorry, sengaja hehe" ucap Diah yang langsung di sambung oleh karwiti, "memangnya sejak kapan kamu bisa membatik" karwiti sambil tertawa kecil.
Sedangkan Sukma yang sedang membereskan tumpahan lilin itupun geram, "opo kalian iki tak punya tata kromo??" Ucap Sukma tegas sambil meninggalkan mereka dengan tatapan tajam.
Sedangkan karwiti dan Mardiah masih tertunduk diam sambil keheranan, "kenapa dia marah?" Tanya karwiti, mereka berdua kini saling bertatapan dengan mata melotot dan berkata "jangan-jangan....." Dengan kaget mereka langsung pergi menghampiri sukma, sepertinya mereka baru menyadari orang yang tadi mereka temui adalah kakaknya Sukma.
"Mbak yu, Maaf kami tidak ada niatan untuk berbuat seperti tadi" ucap karwiti, "kami pikir yang tadi bukan Mbak yu" sambung Diah, sambil terus menunduk.
Namun Sukma hanya menatap tajam adik-adiknya dan melangkah pergi, namun baru saja beberapa langkah, sukma merasa mual dan ingin muntah, adiknya yang melihat itupun membantunya.
Sesampainya di kamar Mereka khawatir dengan kondisi Sukma, "Mbak yu tidak apa-apa??" Tanya Diah.
"Ah tidak apa-apa, ini sudah biasa" ucap Sukma.
"Sudah biasa?? Mbak sedang sakit?" Tanya karwiti.
Sukma hanya terdiam menatap mereka, Sukma bingung harus menjelaskan dari mana pada adiknya, apakah mereka akan mengerti kondisi Sukma. Perlahan sukama menggelengkan kepalanya dan berkata "Mbak sedang hamil" Witi dan Diah sangat terkejut mendengar ucapan kakaknya itu.
"Bagaimana bisa Mbak yu hamil sebelum menikah" ujar Diah
"Mbak sudah menikah tanpa sepengetahuan kalian dan mbak kembali untuk menyelesaikan ini semua" ucap Sukma.
"Tapi Kanjeng ratu akan sangat Marah mendengar ini" sahut karwiti.
Sukma menunduk dan mulai meneteskan air matanya, "saya tahu ini tidak benar, tapi Mbak akan selesaikan ini" ucap Sukma yang mendapat pelukan hangat dari adik-adiknya.
***
Kini Fania mulai keluar dari kamarnya, dan melihat sekeliling dan sepertinya sudah tidak ada tanda-tanda keberadaan Darma.
"Kayanya dia udah pergi, syukur deh" ucap Fania lega.
Namun sepertinya cacing-caring di perut Fania mulai bersuara, ia melihat sekeliling rumah dan mencari makan, namun tak ada satu pun yang dapat dimakan.
Ia berinisiatif untuk mencari makanan keluar, langkah demi langkah menyusuri tanah berbatu itu tanpa alas kaki. Ia melewati kerumunan orang-orang dan meja-meja dengan bahan pangan tertata rapi diatasnya, namun Fania tak memiliki uang sedikitpun untuk bisa membelinya.
Fania berfikir keras bagaimana ia bisa mendapatkan makanan itu. Ia mengamati sekitarnya dengan seksama.
"Oh, ya.. gue punya ide" Fania mengangkat telunjuknya dengan sumringah dan berlari kembali ke rumah.
Ia masuk ke kamarnya mengobrak-abrik tas yang ia bawa mendaki dan mengambil sebuah jam tangan, lalu ia kembali berlari menuju kerumunan tadi, ia menghampiri salah satu penjual.
"Apakah saya bisa membeli makanan menggunakan ini?" Tanya Fania sambil menyodorkan jam tangan yang ada di genggamannya.
"Iki opo to?" Tanya pedagang itu sembari membolak balik jam tangan itu.
"Ini adalah arloji yang sangat mahal, tidak akan pernah bisa ditemukan di manapun, bakhan para belanda juga belum tentu bisa memiliki ini" ujar Fania memanipulasi pedagang itu, padahal itu adalah jam tangan grosiran biasa yang bisa didapatkan di manapun dengan harga yang terjangkau di era ini.
Mereka saling berdiskusi satu sama lain, karena keindahan jam tangan itu mereka pun sepertinya percaya dengan apa yang Fania katakan.
"Yo wis, apa yang kau mau?" Jawab pedagang lelaki itu setelah pertimbangan panjang.
"Ah gitu dong.. saya mau beras, ayam, rempah-rempah, dan beberapa sayuran" ucap Fania sumringah bahagia.
"Ora iso, itu terlalu banyak" ucap pedagang itu sambil mengemas bukusan yang Fania minta.
Fania melihat isi keranjang nya, hanya ada beberapa sayuran seperti, kentang, selada, wortel, dan bayam serta rempah-rempah.
Fania tidak bisa mendapatkan beras dan ayam, lalu ia melihat sebuah gelang yang melintang di tangannya.
"Bagaimana jika ditambah gelang ini untuk satu ekor ayam??" Ujarnya sambil menyodorkan gelang perak itu.
***
Ongoing next part..!
And don't forget to follow me
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Ajeng
Historical FictionGara-gara mengalami perpindahan waktu ke awal abad 20 atau masa dimana Indonesia masih dalam naungan Belanda, Fania seorang gadis yang tidak sengaja mengalami perpindahan waktu ke awal abad 20 merasa kebingungan karena semua orang di sana memangilny...