01. Manjapada Penuh Duka

2.4K 117 19
                                    

"Kau akan dipindahkan ke Housen."

Labium yang semula akan keluarkan suara mendadak terkatup setelah wanita paruh baya itu mengatakan sesuatu. Nakano Hana bergeming; tidak mampu ucapkan sepatah kata untuk merespons pernyataan gurunya. Tatapan sendu diperlihatkan, meskipun demikian, guru tersebut hanya menunggu jawaban dari puan yang termangu. Adiratna menggeleng perlahan, berusaha menolak pemindahan paksa walau pada akhirnya tidak menghasilkan apa-apa.

Ruang konseling tampak senyap dalam beberapa waktu, sebelum Hana memutuskan untuk melepaskan name tag yang tersemat indah pada seragam bagian depan. Guru tersebut kebingungan, tetapi hanya berdiam sembari menatap kegiatan sang gadis hingga selesai. Hana menyerahkan kartu nama itu kepada gurunya, kemudian ia menegakkan tubuh dan melenggang pergi dari ruang konseling yang masih terasa sunyi tanpa mengatakan sepatah kata.

Koridor sekolah di jam-jam belajar tentu saja sepi, bukan? Hana termenung selama menempuh perjalanan menuju kelasnya; ia berniat mengambil tas dan meninggalkan sekolah. Namun, suara seorang perempuan menghentikan cagak yang masih bergerak. Sehingga dengan terpaksa ia hentikan langkah dan langsung menoleh pada sumber suara. Ah, rupanya adik dari pemimpin sekolah yang akan ditinggalinya besok.

"Hana-chan!"

Ueda Yui—gadis itu—secara mendadak memegang dua pundaknya. Mungkin berniat memastikan bahwa temannya ini baik-baik saja. Hana tersenyum, kemudian melingkarkan tangan pada lengan Yui. Mereka berdua lantas berjalan menuju kelas seraya membicarakan keputusan pihak sekolah mengenai kasus Nakano Hana yang diduga menyerang beberapa gadis di sini. Yui tidak mungkin percaya bahwa Hana akan berbuat semena-mena terhadap orang lain. Justru yang terdiskriminasi adalah temannya ini.

"Sungguh? Mereka akan memindahkanmu ke Housen?" Ucapan Hana sangat membuatnya terkejut bukan main. Bungsu Ueda tidak menginginkan hal semacam ini terjadi kepada temannya. Padahal yang bersalah bukanlah Hana. Yui berani menjadi saksi jika memang kasus ini harus diserahkan ke pengadilan.

Hana mencebik bibir dengan kesal. Namun, ia sedikit merasa senang juga karena mungkin ke depannya, tidak ada lagi perundungan yang selalu merengkuhnya. Sesampainya di kelas, kebetulan bel istirahat sudah berbunyi, seluruh orang di kelas memandang rendah pada Hana. Walau begitu, gadis Nakano mengabaikan dan langsung meraih tasnya.

"Menyebalkan sekali kelas ini tercoreng karena perbuatan rendahan yang dilakukan gadis murahan sepertimu. Bukankah orang-orang akan menganggap kita sebagai kelas terburuk di Seiho? Ah, bagaimana ini bisa terjadi kepada kita semua?"

"Jalang murahan sepertimu kenapa tidak mati saja? Dibanding harus bersekolah, lebih baik kau menjadi gadis penghibur!"

Bahkan di waktu terakhir bernaung di Seiho, semua orang kelasnya masih berniat memberikan diskriminasi. Karena sudah terlalu lelah, Hana tidak mau bersusah payah membalas ucapan mereka. Terkadang ia berpikir apakah membela diri adalah tindakan kriminal yang pantas diberi konsekuensi? Ia juga bingung dengan bagaimana sekolah ini berjalan. Mulut yang berbicara lebih penting daripada mata yang melihat. Begitulah sekolah ini menurut Hana.

Hana mengucapkan salam perpisahan kepada Yui yang masih belum terima bahwa ia benar-benar akan pindah. Sekarang mereka berada di halaman sekolah dengan Hana yang mulai menjauh. Genggaman tangan pada tas dieratkan seiring perjalanan menuju keluar. Di belakang sana, orang-orang tampak mengulas senyuman; merasa bahagia karena akhirnya musuh mereka pergi meninggalkan Seiho.

Manusia terkadang meremehkan dampak perundungan. Bersembunyi di balik kata bercanda untuk melindungi diri sendiri. Di saat korban meninggal, mereka berbondong-bondong mengucapkan belasungkawa meskipun hati mereka mengucap syukur. Pada akhirnya, manusia memang makhluk Tuhan yang selalu berlagak seolah mereka adalah pemilik alam semesta.

𝗦𝗘𝗡𝗔𝗡𝗗𝗜𝗞𝗔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang