DS 35 : Happiness or Sadness? (2)

4.7K 123 5
                                    

Tinggalkan vote/komen bila sudi.
Happy reading.

●●●●●

Sean berdiri di samping Lea dengan badan lemas. Matanya menatap nyalang ke wajah Lea yang pucat pasi. Detak jantungnya terasa lemah melihat tubuh kaku istrinya. Sebuah benda terasa menusuk hatinya hingga menimbulkan sakit dan membuat hatinya hancur berkeping-keping.

"Lea," ucap Sean lirih sembari menggenggam tangan mungil istrinya. Tangis Sean pecah ketika tangan itu begitu dingin.

"Kenapa kau pergi, Lea? Kau sudah tak sayang aku juga anak kita?" Tanya Sean membelai wajah Lea. Semua orang yang menyaksikan itu ikut merasa sedih. Apalagi orang tua Sean. Mereka tak pernah melihat Sean menangis seperti itu.

"Bangunlah, Lea. Jangan pergi tinggalkan aku dan anak kita. Aku masih membutuhkanmu. Bangunlah." Sean menepuk pipi Lea berharap wanita itu bangun. Namun, hasilnya nihil. Lea tetap tak membuka matanya.

"Ya Tuhan, kenapa harus Lea yang pergi? Kenapa bukan aku saja?" Sean memeluk istrinya dengan tangis yang semakin menderu. Dia menggoncangkan tubuh Lea berharap Tuhan tak jadi mengambil istrinya.

"Sudahlah, Sean. Ikhlaskan kepergian Lea. Semua ini takdir yang harus kau terima," ucap Sovia yang juga menangis.

"Aku tidak bisa ikhlas, Mom. Aku sangat mencintai Lea. Aku ingin bersama dia. Aku ingin kita mengurus anak secara bersama-sama."

"Tuan, kami harus segera mengurus jenazah istri anda," ucap seorang perawat.

"Tidak! Lea belum mati. Aku yakin sebentar lagi pasti jantungnya berdetak lagi." Sean berkata histeris.

"Sean, sudahlah. Lea sudah tiada. Biarkan dia segera dimakamkan," ucap Sovia.

"Tidak, Mom! Lea pasti akan hidup lagi. Jangan kubur dia!"

"Sean! Berhentilah bersikap seperti itu! Ikhlaskan kematian istrimu dan uruslah anakmu. Dia juga butuh pelukan dari ayahnya," ucap Andrew. Dia sedikit menggunakan nada tinggi.

Sean menjauhkan diri dan tubuhnya seketika ambruk ke lantai. Dia menangis histeris dan menjambak rambutnya sendiri. Hatinya benar-benar hancur melihat Lea yang tak bernyawa lagi.

"Kalau kau mau pergi, setidaknya kita bersama-sama dulu dengan anak kita. Kau sungguh tega karena meninggalkan anak kita yang sama sekali belum kau sentuh," racau Sean.

Sean mengacak rambutnya sembari berteriak histeris. Dia lantas pergi dari ruangan Lea dan menemui anaknya yang ada di ruang bayi. Dia menggendong anaknya yang sudah sangat sehat setelah beberapa hari kritis.

Sean memandang wajah putrinya. Air matanya terus mengalir. Dia merasa sedih mengingat nasib anaknya yang langsung ditinggal pergi oleh ibunya setelah lahir. Namun, timbul sedikit kebencian. Jika saja anak itu tak lahir, Lea tak akan pergi meninggalkannya.

"Ya Tuhan, aku tidak sanggup mengurus anakku sendirian. Aku takut kebencian ini semakin besar seiring berjalannya waktu dan putriku akan hidup dalam kesedihan," ucap Sean. Dia lantas mencium kening putrinya cukup lama sebelum kembali menidurkannya.

Sean kembali ke ruang rawat Lea. Dia berdiri di luar dan memandang Lea yang tengah di urus oleh pihak rumah sakit. Dia memejamkan mata sekilas dan menunduk. Dia belum siap sama sekali ditinggal pergi oleh Lea. Dia sangat mencintai wanita itu.

"Aku sudah memohon ampun, tapi kenapa Kau tetap memanggil Lea, Tuhan?" Gumam Sean. Dia merada dipermainkan oleh takdir.

"Lebih baik kita sama-sama pergi, Lea. Aku tak mau membenci anakku sendiri jika tetap hidup untuk mengurusnya. Dia akan lebih baik jika di urus oleh orang tuaku," ucap Sean.

Daddy Sean ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang