BCP_14

41 11 11
                                        

Naywena merasa degup jantungnya kini berpacu lebih cepat. Sekujur tubuhnya terasa dingin dan gemetar. Tatapan tajam Jody dan Santi makin membuat dia kelu lidah.

Jody geram melihat Naywena yang cuma diam. “Tinggal jawab benar atau nggak, susah banget, sih, Nay.”

“Jadi, gosip kamu dengan Pak Junianto itu benar, Nay?” Santi ikut merespons, masih berdiri di dekat pintu. Terlepas benar atau tidak rumor tersebut, gestur Naywena yang cuma diam cukup menjawab pertanyaan Santi. “Kenapa kamu nggak pernah cerita soal ini sama aku, Nay? Sekali udah heboh gini, aku orang terakhir yang tahu. Apa kamu nggak nganggap aku sebagai teman kamu lagi?”

Mata Naywena mulai berkaca-kaca. “Aku nggak bermaksud kayak gitu, San. Aku ... maksudnya, kami udah sepakat merahasiakan hal ini dari semua orang, bahkan orang tua kami juga nggak tahu. Aku juga udah mendesak dia untuk jujur, tapi dia takut ketahuan orang tuanya.”

Santi tidak tahu pasti, apa alasan Naywena dan Junianto menutupi hubungan asmara mereka. Namun, dia tidak bisa berdiam diri ataupun tidak bersimpati kepada Naywena. Dia yakin Naywena juga sedih menjalin hubungan diam-diam seperti ini.

“Memangnya, udah berapa lama kalian pacaran?” Nada bicaranya memelan.

Rasa gugup yang semula dirasakan Naywena, perlahan menghilang. Tidak ada lagi yang harus dia tutupi dari teman-teman kerjanya, lagi pula semuanya sudah tahu. “Enam tahun.”

Santi terbelalak. “Enam tahun?”

Jody malah tertawa sinis. “Ternyata, kamu itu cewek yang gampangan, ya, Nay.”

Naywena menyeka sudut matanya yang berair. “Apa maksud kamu ngatain aku kayak gitu?”

Jody meletakkan kacamatanya di atas meja, lalu berdekap tangan dan bersandar di punggung kursi. “Kamu itu tipe cewek yang gampang dibohongi. Coba, deh, kamu mikir realistis. Mana ada pacaran udah jalan selama enam tahun, tapi doi masih nutupin status hubungan kalian? Apa kamu nggak pernah merasa curiga dengan sikap doi?”

Naywena menatap Jody dengan raut masam. Selain tidak suka dibilang cewek gampangan, dia juga tidak suka kata-kata Jody, seolah-olah menuduh Junianto berbuat hal negatif. “Kita udah lama saling kenal. Jadi, aku nggak punya alasan untuk mencurigai dia."

“Gini, ya, aku kasih tahu kamu. Kalau dia emang benar-benar cinta dan serius pacaran sama kamu, dia pasti ngajak kamu ke rumah dia untuk dikenalin ke orang tuanya. Apa dia udah pernah ngelakuin itu ke kamu?” Jody tersenyum menyeringai. “Jangankan dikenalin, kamu pasti nggak tahu alamat rumahnya. Iya, kan?”

Naywena menggigit bibir sambil menggeleng. Kata-kata Jody itu seakan-akan sudah menamparnya. Junianto memang tidak pernah menunjukkan rumahnya, apalagi mengajaknya ke sana. Apa itu artinya Junianto tidak berniat serius padanya sejak awal berpacaran?

Santi menyentuh pundak Naywena. “Kamu harus buktiin sendiri tentang kebenaran foto itu, Nay.”

Naywena mengangguk sambil tersenyum tipis. Beban di hatinya---yang terlalu lama memendam rahasia---sekarang sudah berkurang. “Makasih, ya. Aku akan tanyain ke dia,” pungkasnya, menatap Jody dan Santi bergantian.

“Coba cek di handphone kamu, Nay. Aku barusan ngirim foto itu sebagai bukti, mana tahu nanti berguna,” ujar Jody.

Setelah mengucapkan terima kasih kepada Jody, Naywena membawa ponselnya dan melangkah keluar menuju ruangan Junianto.

Junianto, yang sedang memeriksa laporan kas bulanan, tersentak dengan kehadiran Naywena di ruangannya. “Nay, ada apa tiba-tiba kamu datang ke sini?”

Naywena duduk di kursi bagian depan meja kerja Junianto. “Emangnya, aku nggak boleh masuk ke sini?”

“Ya, bolehlah, masa nggak? Kamu udah makan siang?”

Belenggu Cinta PalsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang