BCP_22

42 9 14
                                        

Ini pertama kali, Merlin merasakan kehilangan separuh jiwanya. Kepergian Junianto telah membuka mata hatinya, betapa berharganya sosok Junianto. Dia juga baru sadar dengan keegoisannya selama ini. Begitu posesif dan mengatur kehidupan Junianto agar menjadi seperti yang dia inginkan, tanpa memikirkan keinginan dan kebahagiaan anaknya.

Bagas menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Sudah berulang kali, dia membujuk Merlin untuk makan. Alhasil, istrinya tetap kukuh tidak mau makan dengan alasan tidak lapar.

Masih sama seperti kemarin, Merlin menolak untuk makan. Wajahnya sudah terlihat pucat, apalagi tubuhnya tidak berdaya di atas kasur. Hanya duduk bersandar dengan pandangan kosong, menyesali semuanya yang sudah terjadi.

“Ayolah, Ma! Sesuap aja, ya. Dari kemarin, nggak ada satu suap pun makanan yang masuk ke tubuh kamu,” ujar Bagas yang kembali menyodorkan sendok yang berisi bubur ke mulut Merlin. Namun, istrinya justru memalingkan wajah.

“Kalau aku makan, apa Jun akan pulang?” tanya Merlin sembari menitikkan air mata.

Bagas mendesah pelan. “Dia nggak bawa apa-apa. Pasti dia akan balik ke rumah ini lagi. Kamu nggak usah khawatir. Sekarang kamu makan dulu.”

Meski yang dilakukan Junianto itu salah, Merlin tetap tidak bisa menerima keputusan Bagas yang telah mengusir anaknya. Dia menepis sendok yang disodorkan Bagas. “Gimana aku bisa makan, sementara anak kita luntang-lantung di luar sana?” ujarnya sembari menatap Bagas. Sorotan matanya menyiratkan kepedihan.

“Andai dia nggak membela cewek itu dan menuruti semua keinginan kita, aku juga nggak mungkin sampai ngusir dia, Ma.” Emosi Bagas mulai bangkit. “Sekarang kita tunggu aja sampai kapan dia bisa bertahan hidup tanpa uang kita.”

“Aku nggak mau tahu gimana caranya. Kalau dalam waktu 2x24 jam Jun nggak balik juga, kamu harus pergi cari dia. Bawa dia pulang lagi ke rumah ini!”

Bagas terpaksa menuruti keinginan istrinya. “Oke, aku akan cari dia, tapi kamu harus makan dulu. Setelah itu, aku mau ke kantor untuk mantau kerjaan selama Jun nggak ada.”

Akhirnya, Merlin membuka mulut dan memakan bubur yang disuapi Bagas. Sehabis dia makan dan meminum vitamin, Bagas pamit pergi ke kantor.

Setengah jam kemudian, Sharin datang ke rumah Bagas. Tanpa sapaan apa pun kepada Bik Mia yang telah membuka pintu, dia langsung masuk begitu saja, seolah-olah rumahnya sendiri.

“Mana Jun, Bik? Panggilin dia sekarang! Aku mau bicara sama dia,” ujar Sharin, berjalan tergesa-gesa mencari sosok Junianto, lalu berhenti di ruang tamu.

Bik Mia tergesa-gesa menyusul langkah Sharin, kemudian berdiri di depan gadis itu. “Mas Jun nggak ada di rumah ini lagi, Non. Udah diusir sama Pak Bagas kemarin.”

Sharin mengerutkan dahi. “Apa maksud Bik Mia? Kenapa Om Bagas bisa ngusir Jun?”

Bik Mia menunduk. “Maaf, Non. Saya nggak tahu alasannya.”

Sharin menghela napas pelan. “Om dan Tante ada di kantor atau di toko? Biar aku tanyain langsung sama mereka.”

“Bapak baru aja pergi ke kantor, sedangkan ibu ada di kamarnya. Lagi istirahat.”

“Yang mana kamar Tante? Aku mau ngomong bentar.”

Baru saja Bik Mia mau menunjukkan kamar majikannya, Merlin sudah berjalan keluar dari kamarnya usai mendengar suara Sharin yang begitu nyaring. Bik Mia langsung pamit ke dapur.

“Ada apa kamu datang pagi-pagi begini, Rin?” tanya Merlin dengan langkah pelan.

“Tante, Jun ada di mana sekarang? Aku telepon dia berulang kali kemarin, tapi nggak dijawab sekali pun sama dia. Kata Bik Mia, dia diusir sama Om. Emangnya, gara-gara apa?”

Belenggu Cinta PalsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang