BCP_16

39 11 30
                                        

Naywena sadar bahwa hidup tidak melulu sejalan dengan harapan. Dia yakin Tuhan sedang menyiapkan sebuah kebahagiaan untuknya kelak meskipun harus bersedih hati saat ini. Di balik kegalauannya, dia bersyukur masih ada sosok teman yang tidak sedikit pun meninggalkannya, baik dalam keadaan suka maupun duka. Hanya Santi juga yang tahu penyebab hatinya terluka.

Sebenarnya, Naywena tidak ingin masuk kerja hari ini. Kejadian kemarin pagi masih membekas di benaknya. Namun, dia tidak bisa absen selama satu minggu ini karena harus mengerjakan laporan akhir bulanan.

Santi memperhatikan gestur dan ekspresi Naywena. Dia tahu, apa yang dirasakan Naywena saat ini. Pastinya, sulit untuk menerima kenyataan bahwa hubungan asmara yang sudah terjalin selama enam tahun, harus berakhir demi kebahagiaan masing-masing. Terlintas sebuah ide, dia menggerakkan kursinya yang beroda, mendekati Naywena.

“Nay, waktu makan siang nanti, kita ke warung makan dekat sini, yuk! Ada menu baru katanya. Kamu mau, kan?”

Naywena sama sekali tidak bersemangat. Sejak semalam, dia kehilangan nafsu makan, bahkan tidur pun tidak begitu nyenyak. Sesekali, dia menguap.

“Maaf, ya, San. Kayaknya, aku di sini aja. Aku lagi males ke mana-mana,” tolak Naywena.

“Apa kamu bawa bekal hari ini?”

Naywena menggeleng lesu. “Nggak selera makan, San.”

Santi memelototi Naywena. “Kamu nggak boleh begini terus, Nay! Kamu harus makan. Kalau kamu sakit, gimana kamu bisa melewati masa-masa sulit ini?” ucapnya dengan suara lantang, hingga menyebar ke seluruh ruangan.

Ocehan Santi sudah seperti seorang ibu yang memarahi anaknya. Naywena paham maksud Santi yang begitu mengkhawatirkan dirinya. Namun, dia masih terbelenggu oleh kisah masa lalunya yang baru saja berakhir.

Santi tidak menyadari, ucapannya tadi sudah menarik perhatian ketiga rekan kerjanya yang lain.

“Kalian lagi ngomongin apaan, sih?” tanya Jody, yang tidak mengerti maksud ucapan Santi.

“Galau banget. Lagi putus cinta, ya?” terka Nella sambil tersenyum sinis. “Baru aja jadian, udah putus? Makanya, sadar diri, dong! Kerja jadi pegawai biasa, tapi ngebet sama bos sendiri. Sok cantik, sih!”

Kedua mata Santi mencelang ke arah Nella. “Mulut kamu udah pernah diikat sama karet ban, belum? Mau nyobain, nggak?”

Nella malah tergelak, seolah-olah kalimat Santi yang bernada ancaman itu hanya sebuah lelucon.

“Santi, volume suara kamu bisa dikecilkan, nggak? Di sini tempat kerja, bukan tongkrongan!” tegur Prama, kemudian tatapannya beralih ke Nella yang masih tergelak. “Kamu juga sama, Nella. Suara kamu cempreng, bikin telinga saya sakit!”

Nella mengerutkan bibirnya. “Biar suara cempreng, yang penting muka saya lebih cantik dari mereka berdua, Pak,” balasnya, membanggakan diri, sekaligus menyindir Santi dan Naywena secara langsung.

“Kamu ini! Ditegur, bukannya menurut, malah menyahut! Satu lagi, nggak usah ikut campur urusan orang lain! Urusan kamu sendiri aja masih berantakan.” Prama paling geram dengan mulut-mulut kepo seperti Nella yang hobi mencampuri kehidupan orang lain.

“Iya, Pak.” Nella memilih diam dan kembali menyelesaikan pekerjaannya daripada diomeli Prama lagi.

Yang dipikirkan Naywena sekarang, bagaimana respons keluarganya setelah tahu dia sudah putus dengan Junianto. Dahulu, dia bingung memulai cerita tentang sosok pacarnya. Sekarang, dia tambah bingung memberi tahu kabar tidak mengenakkan ini.

***

Waktu istirahat tiba. Karena Santi terus memaksa, Naywena ikut ke warung makan.

Sesampai di sana, Santi buru-buru memesan menu baru sebelum kehabisan. Tak lama kemudian, dua piring nasi uduk ayam katsu serta dua gelas teh dingin sudah tersaji di atas meja mereka.

Belenggu Cinta PalsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang