BCP_18

42 10 17
                                    

Lima hari.

Yuli sudah tidak tahan lagi tinggal di rumah sakit. Berulang kali, dia memohon kepada Prama untuk bicara dengan Dokter Rizki agar dia bisa diizinkan pulang.

Setelah menjalani pemeriksaan dan hasilnya menunjukkan perkembangan yang baik, sang dokter pun mengizinkan Yuli pulang asal bersedia kontrol dua hari lagi ke rumah sakit karena luka di tangan dan kakinya masih belum pulih.

Yuli senang bukan main bisa balik lagi ke rumahnya meski harus duduk di kursi roda. Rasa stres yang terpendam selama berhari-hari di rumah sakit, akhirnya lenyap dan berganti ekspresi ceria.

Prama ikut senang melihat ibunya bisa tersenyum lagi setelah kecelakaan pada lima hari yang lalu. Setelah masuk ke rumah, dia menghentikan kursi roda ibunya di ruang tamu. "Mama tunggu di sini sebentar, ya. Aku mau bersihin kamar Mama dulu biar nanti Mama bisa istirahat dengan nyaman."

Yuli cepat-cepat menyentuh punggung tangan Prama yang masih memegang ujung kursi rodanya, sejenak menghentikan langkah Prama yang hendak berbalik. "Bawa Mama ke teras belakang, Pram. Mama mau santai di sana."

"Iya, Ma." Prama kembali mendorong kursi roda ibunya. Setelah sampai di teras belakang, Prama terpaksa meninggalkan ibunya sendiri dan bergegas ke kamar ibunya.

Teras belakang rumah itu tidak terlalu luas. Hanya sepetak tanah kosong yang Yuli sulap menjadi taman kecil penuh bunga. Ada Mawar merah muda, Bugenvil oranye, Kamboja merah, Lantana, Aster ungu, Asoka merah, Lidah Mertua, dan Kuping Gajah. Selain gemar mengoleksi tanaman hias, ibu satu anak itu juga bisa duduk santai sambil melihat bunga-bunga untuk menghilangkan penat dan stres.

Karena sudah beberapa hari tidak disiram, dia menggerakkan roda kursinya maju perlahan ke keran air yang ada di ujung tembok, lalu mengarahkan selang ke pot-pot bunga yang ada di sana.

Ketika balik ke teras belakang, Prama terbelalak melihat ibunya sedang memegang selang. Dia cepat-cepat menghampiri ibunya. "Mama lagi apa? Dokter Rizki, kan, bilang tangan Mama nggak boleh banyak gerak dulu."

Yuli menyunggingkan seulas senyum agar putranya tidak terlalu mengkhawatirkannya. "Mama baik-baik aja, kok. Cuma nyiram bunga. Bukan pekerjaan yang berat. Kalau Mama nggak boleh gerak sama sekali, yang ada nanti otot lengan Mama jadi kaku."

Prama meletakkan selang yang ada di tangan ibunya ke tempat semula, kemudian dia berlutut di hadapan ibunya. "Kalau udah sembuh, Mama bebas melakukan apa pun kayak biasanya. Untuk sekarang, Mama harus banyak istirahat biar cepat pulih."

"Kata-kata kamu udah kayak Dokter Rizki aja, Pram," balas Yuli saat Prama sudah mendorong kursi rodanya.

Sesampai di kamar, Prama membantu ibunya berbaring. "Mama istirahat dulu. Aku mau siapin makan malam untuk kita."

"Makasih, ya, kamu nggak pernah lelah ngurusin Mama selama di rumah sakit, bahkan sekarang kamu juga harus masak dan beres-beres rumah."

Prama duduk di tepi ranjang, tepatnya di sebelah ibunya. "Waktu aku sakit, Mama juga nggak pernah lelah merawat aku. Sekarang, giliran aku yang merawat Mama. Selamat istirahat, Ma." Sebelum keluar, dia mengecup kening ibunya.

"Pram," panggil Yuli ketika Prama hendak melangkah.

"Iya, Ma? Mama butuh sesuatu?"

Yuli menggeleng. "Kamu masih ingat, nggak, sama orang yang udah donorin darah untuk Mama?"

Prama mengangguk. "Iya, aku ingat. Namanya Naywena. Dia satu tempat kerja dengan aku. Kenapa emangnya, Ma?"

"Jadi, kalian udah saling kenal?" Tatapan Yuli berbinar-binar. "Kalau gitu, ajak dia ke sini, Pram. Mama mau ucapin terima kasih."

Belenggu Cinta PalsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang