“Pak Prama, kenapa bisa ada di sini? Bapak sakit?” tanya Naywena setelah berdiri di depan Prama.
Prama justru menunjukkan ekspresi menyebalkan seperti biasanya. “Kalau saya yang sakit, saya nggak mungkin duduk di sini.”
Naywena tersenyum canggung. Dia bertanya dengan suara lembut, tetapi Prama malah menjawabnya dengan suara kasar. Baik ada di kantor maupun di rumah sakit, Prama memang tidak ada bedanya. Masih saja tetap ketus jika berucap.
“Maaf, Pak. Saya nggak tahu. Permisi.” Naywena berbalik, hendak kembali ke tempat tunggu sebelumnya. Baru beberapa langkah, terdengar suara suster berbicara dengan Prama.
“Apa Bapak ini keluarga pasien?”
“Benar, Sus. Saya anaknya. Gimana keadaan mama saya?”
“Keadaan pasien sangat kritis. Kami sangat membutuhkan empat kantong darah O rhesus positif sekarang, sedangkan stok yang ada di rumah sakit cuma ada tiga kantong. Kurang satu kantong lagi. Apa golongan darah Bapak sama dengan pasien?”
“Nggak sama, Sus. Golongan darah saya A.”
“Sayang sekali, padahal tinggal satu kantong lagi.”
Sebenarnya, Naywena tidak mau menguping percakapan mereka. Namun, ucapan si suster sudah menggugah hatinya. Dia balik lagi menghampiri mereka, lebih tepatnya menghadap ke depan suster.
“Golongan darah saya O rhesus positif, Sus. Saya mau jadi pendonor untuk pasien,” ungkap Naywena, tulus.
“Kamu yakin mau jadi pendonor untuk mama saya?” tanya Prama untuk memastikan niat Naywena itu.
“Iya, saya yakin, Pak. Yang penting, mamanya Pak Prama bisa sembuh.” Naywena ingin sekali menanyakan penyakit yang diderita ibunya Prama. Namun, dia urungkan karena tidak mau disebut Prama sebagai cewek kepo. Dia memutuskan untuk menanyakan langsung kepada suster nanti.
“Kalau begitu, Ibu ikut saya untuk pemeriksaan sebentar sebelum mendonorkan darah.”
“Baik, Sus.” Naywena berjalan di belakang suster, kemudian memasuki sebuah ruangan.
Sementara itu, Prama duduk sendirian lagi. Hatinya seketika tersentuh dengan kebaikan hati Naywena. Dia akui sering bicara ketus agar terkesan tegas sebagai manajer. Di sisi lain, dia begitu lembut kepada ibunya.
Hampir setengah jam berlalu, Naywena keluar didampingi suster menuju tempat tunggu Prama tadi.
Prama segera berdiri, lalu bertanya dengan ekspresi cemas, “Gimana, Sus? Apa darah cewek ini cocok untuk mama saya? Apa bisa dilakukan transfusi darah sekarang?”
Suster itu menjawab dengan senyum, “Bapak tenang dulu. Percayakan semuanya kepada kami. Dokter Rizki akan menangani pasien dengan baik. Silakan Bapak menunggu di sini!” Setelah suster itu masuk, dua orang suster lainnya menyusul sambil membawa nampan yang berisi empat kantong darah.
Naywena mencoba duduk di samping Prama. Alih-alih bakal diusir, gadis itu malah diajak mengobrol.
“Mama saya mengalami kecelakaan tadi sore. Pas saya baru sampai di rumah, tetangga ngasih tahu soal keberadaan mama saya. Maaf, kata-kata saya tadi agak ketus ke kamu karena pikiran saya lagi kacau.”
Naywena mengangguk. “Iya, nggak apa-apa, Pak.” Dalam hati, dia bergumam, Baru sekarang, dia minta maaf, padahal hampir tiap hari dia selalu ketus ke semua pegawai.
“Sejujurnya, saya nggak suka utang budi sama orang lain. Berhubung keadaan sedang darurat dan cuma kamu yang bisa bantu nyelamatin nyawa mama saya, maka saya mau ucapin makasih udah bersedia donorin darah kamu.”
Lagi-lagi, Prama mengeluarkan kata-kata yang menyebalkan! Pemuda itu seakan-akan tidak berkenan dibantu siapa pun, sehingga terpaksa berterima kasih kepada Naywena.
Naywena menyunggingkan senyum meski hatinya kesal. “Nggak perlu merasa utang budi, Pak. Saya tulus donorin darah. Saya doakan semoga keadaan mamanya Pak Prama segera membaik.” Setelah pamit, gadis itu meninggalkan Prama dan kembali ke tempat sebelumnya.
***
Suasana kantor hari ini cukup lengang karena Junianto tidak datang dan Prama minta cuti. Berhubung tidak ada yang mengawasi, para pegawai pun bekerja semaunya. Ada yang cuma menyalakan komputer, tetapi matanya fokus ke layar ponsel. Ada pula yang sengaja memberantakkan kertas-kertas di meja agar terlihat banyak pekerjaan, padahal sibuk mengobrol, main game online di komputer, dan joget di Tiktok. Namun, masih ada pegawai yang benar-benar teladan dan bertanggung jawab atas pekerjaan, misalnya Jody dan Naywena. Beda jauh dengan Santi dan Nella. Kedua wanita itu berharap bisa santai seperti ini setiap hari. Sedikit kerja, tetapi gaji lancar setiap bulan.
“Jod, Pak Prama ngambil cuti lama, nggak?” tanya Nella usai merapikan polesan make up di wajahnya.
Jody memasukkan beberapa lembar kertas yang baru di-print ke dalam amplop, lalu menuliskan nama Bagas di depan amplop. “Aku nggak tahu, San. Dia minta izin sama bos besar, bukan sama aku,” balasnya sambil berdiri. Dia keluar dari ruangan itu dengan menenteng amplop untuk dikirimkan melalui kurir yang biasa bertugas mengantarkan laporan ke toko Bunga Tekstil.
Santi selalu merasa gatal mulut setiap mendengar ucapan Nella. “Pak Prama mau cuti sebulan, bukan urusan kamu!”
Nella mendengkus kesal. “Heran, deh, sama kamu! Aku nanya sama Jody, kenapa kamu yang merespons? Nggak punya temen ngobrol, ya? Kasihan banget!” Ekspresinya berubah tersenyum sinis sembari melirik Naywena.
Tatapan Santi menyoroti Nella tajam. “Aku tahu, kamu sengaja ngomong gitu cuma pengin mojokin Nay, kan?”
“Aku nggak maksud gitu, tapi semua pegawai udah tahu kalau Pak Jun sama Naywena udah putus. Bahkan, Pak Jun mau tunangan sama Sharin. Kalian udah dapet undangannya, belum?” Nella mengacungkan sebuah undangan berwarna merah marun ke hadapan Naywena dan Santi.
Naywena yang awalnya malas menanggapi, seketika merasa terintimidasi oleh ucapan Nella. Kepalanya mendongak. Nama Junianto dan Sharin terpampang jelas di bagian depan undangan tersebut. Baru beberapa hari mereka putus, Junianto justru mempercepat pertunangannya.
Nella menyeringai samar, melihat wajah Naywena. Dia sengaja menyinggung masalah pertunangan itu agar hati Naywena makin terluka dan cemburu. “Kenapa kalian kelihatan kaget gitu? Nggak diundang, ya? Pantes aja, sih. Mana ada yang mau ngundang mantan datang ke pertunangannya?”
Santi makin geram. “Mulut kamu bisa diam, nggak, Nel?”
“Ini mulut aku, terserah mau ngomong apa! Kenapa kamu yang sewot?” sergah Nella dengan dagu agak terangkat dan berdekap tangan.
Santi menepuk pundak Naywena. “Omongan dia nggak usah dimasukin ke hati, Nay. Dia emang nggak ada akhlak!”
Nella sama sekali tidak terpengaruh dengan kata-kata Santi. Dia justru tambah semangat memanasi Naywena. “Setelah dipikir-pikir, kisah cinta Naywena dengan Pak Junianto itu kayak drama, ya. Penuh cobaan. Eh, ujung-ujungnya putus, padahal udah berjuang selama enam tahun.”
Santi mengepalkan kedua tangannya, lantas berjalan cepat menghampiri Nella. Emosinya sudah naik ke ubun-ubun, hingga tidak terkendali lagi dan langsung menjambak rambut panjang Nella.
Naywena terkejut dengan aksi nekat Santi. Baru kali ini, dia melihat Santi bisa marah besar seperti itu. Dia beranjak mendekati mereka, lalu menarik tangan Santi agar menjauh dari Nella. “Cukup, San! Kamu jangan berantem kayak gini!”
Santi menepis tangan Naywena. Cengkeraman di rambut Nella makin erat. “Aku belum puas, Nay! Aku pengin cabutin satu per satu rambut si Mulut Cabe ini biar sekalian botak!”
Nella berusaha melepaskan tangan Santi, tetapi tenaganya kalah kuat. “Hei, Tangan Besi! Singkirin tangan kamu dari rambut aku!”
Naywena tidak menyerah. Dia memeluk pinggan Santi dari belakang seraya menariknya. “Jangan diterusin, San. Kamu bisa melukai dia. Biarin aja dia mau ngomong apa tentang aku. Emang kenyataannya, kan?”
Santi yang sudah dikendalikan emosi, tidak bisa berhenti. Begitu juga dengan Nella yang kian naik pitam. Keduanya saling menjambak rambut, bahkan kini beralih ke lantai seperti orang yang sedang bergulat.
Naywena jadi bingung, menyaksikan keduanya yang beringas. Saat dia hendak keluar meminta pertolongan, Jody masuk dengan ekspresi kaget. Pemuda itu terbelalak.
“Nay, kenapa mereka berantem?” tanyanya, bingung bercampur syok.
“Kayak biasanya, Jod, gara-gara adu mulut. Aku mau minta bantuan dulu.” Naywena buru-buru keluar.
Jody jadi panik. Dia mencoba melerai kedua wanita itu. Tidak terduga, hidungnya malah dihantam siku Santi. Dia terduduk di lantai sembari memegang hidungnya yang terasa pedih dan basah. Matanya terbelalak saat melihat darah pada telapak tangannya. Belum lagi, kacamatanya sedikit retak di bagian ujung bawah.
Bala bantuan pun datang. Beberapa pegawai pria memegang kedua tangan Nella dan Santi. Meski perkelahian berhenti, sorotan mata kedua wanita itu masih nyalang.
“Kalian berdua ini kayak anak kecil aja. Udah gede, tapi masih berantem. Gara-gara apa, sih? Rebutan cowok?” tanya salah seorang pegawai pria.
Nella merapikan rambutnya yang acak-acakan. Napasnya terengah-engah. “Dia, tuh, yang mulai duluan. Efek jomlo kelamaan kali. Makanya, brutal gitu.”
Kedua tangan Santi masih ditahan oleh kedua pegawai pria lainnya. “Masih belum cukup, ya? Sini, lawan aku! Jangankan rambut, mulut kamu bakal ikutan rontok juga! Percuma punya mulut, tapi nggak bisa dijaga.”
Naywena mengusap punggung Santi. “Tenang, San. Mending kita keluar, deh, biar emosi kamu reda.”
Kedua tangan Santi tidak dipegang lagi. Dadanya naik turun, menetralkan degup jantungnya dan deru napasnya. Sadar akan emosinya, dia menuruti Naywena pergi ke luar. Bersamaan dengan itu, Jody dibawa ke klinik terdekat. Pegawai pria yang lain ikut keluar. Tinggal Nella sendiri di dalam ruangan itu.
Nella mengambil cermin kecil dari dalam tas, kemudian mengamati wajah dan rambutnya. “Emang gila, tuh, cewek! Rambut aku jadi jelek gini. Muka aku juga lecet-lecet, nggak bisa ditutup pakai bedak lagi. Pokoknya, dia harus biayain perawatan muka aku!” dumelnya sambil merengut masam.
***
Katanya, minum kopi bisa meredakan emosi ataupun stress. Kopitiam yang terletak di dekat kantor menjadi pilihan Naywena. Karena bukan pencinta kopi, dia tidak tahu-menahu soal jenis minuman kopi."Apa menu kopi andalan yang ada di sini?" tanya Naywena kepada seorang pelayan wanita.
"Banyak yang memesan coffee caramel macchiato, Mbak. Bisa panas dan dingin. Sesuai selera Mbak."
"Aku pesen dua, ya, yang dingin."
"Baik, Mbak." Setelah mencatatnya, pelayan itu pergi.
Tak lama kemudian, dua gelas ice coffee caramel macchiato sudah tersaji di atas meja. Tampilannya begitu cantik dengan perpaduan warna putih, hitam, dan cokelat. Krim putih yang bercampur dengan saus karamel di atasnya membuat siapa pun tergoda untuk meminumnya.
"Minum dulu kopinya, San. Kayaknya, enak, nih." Naywena menyeruputnya perlahan, menikmati sensasi krim susu yang lembut dan saus karamel yang sangat manis.Sensasi dingin yang melewati tenggorokan, seketika menenangkan hati Santi. Dia tidak menyangka bisa marah-marah seperti tadi, mungkin karena rasa kesal yang sudah dia pendam selama bertahun-tahun.
“Nay, gimana keadaan papa kamu? Udah baikan?”
“Syukurlah, San. Keadaan papa aku udah mendingan dari semalam. Ada mama aku yang jagain papa di sana.”
“Nanti sore, aku mau jenguk papa kamu. Boleh, kan?”
Naywena senyum-senyum. “Tentu aja boleh, San.”
Junianto baru saja berdiri, hendak balik ke kantor bersama Sharin. Secara kebetulan, dia melihat Naywena dan Santi juga ada di kopitiam yang sama dengannya. Saat akan melewati meja dua wanita itu, dia sempat mendengar percakapan kedua wanita itu. Tak ingin Sharin mengetahui keberadaan Naywena dan Santi, dia bilang ingin ke toilet dahulu.Setelah Sharin masuk ke mobil, Junianto menghampiri meja mereka. “Papa kamu kenapa, Nay?”
Naywena dan Santi tersentak dengan kemunculan Junianto di dekat mereka.
Naywena menatap Junianto lekat-lekat. Dia, sosok pria yang sudah menoreh luka di hatinya, membuatnya menangis sepanjang malam, susah tidur, dan tidak berselera makan. Semenjak putus, dia baru sekali bertemu dengan Junianto di area parkir kantor. Itu pun Junianto malah pura-pura tidak mengenalinya. Sekarang menjadi pertemuan kedua mereka. Namun, pemuda itu bertingkah seakan-akan lupa dengan status mereka.
Naywena bangkit berdiri. Teringat dengan hubungan mereka yang sudah kandas tiga per empat jalan dan undangan yang ditunjukkan oleh Nella, dia tidak lagi merasa sedih ataupun kesal. Bukannya sudah melupakan Junianto sepenuhnya, melainkan hatinya hambar seperti sudah mati rasa.
“Kamu nggak perlu sok peduli ataupun perhatian sama papa aku. Mungkin kamu mendadak lupa, kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi, selain bos dengan pegawai. Jadi, kamu nggak berhak ikut campur urusan keluargaku. Mending urus aja pertunangan kamu dengan cewek baru kamu itu!” sahut Naywena, ketus.
“Kamu tahu dari mana soal pertunangan aku?” tanya Junianto dengan dahi yang berkerut.
Naywena tersenyum sinis. “Kamu nggak perlu tahu! Yang jelas, aku udah lihat undangan kamu.”Sharin gelisah di dalam mobil, menunggu Junianto. Tak kunjung muncul, Sharin keluar dari mobil dan masuk ke kopitiam itu untuk mencari Junianto. Ternyata, calon tunangannya malah asyik mengobrol dengan Naywena. Rasa cemburu langsung menguasai hatinya. Dia langsung berjalan mendekati mereka dan mendorong bahu Naywena.
"Hei, kamu jadi cewek kegatelan banget! Udah putus, masih aja godain calon tunangan aku!"
"Sharin, kamu apa-apaan, sih? Naywena sama sekali nggak godain aku, malahan aku yang---"
Sharin buru-buru menyela, "Kamu nggak usah belain dia di depan aku, Jun. Bentar lagi, kita tunangan!"
Junianto terdiam setelah ditatap tajam oleh Sharin. Dia tahu maksud tatapan Sharin, kemudian meninggalkan tempat itu tanpa berkata-kata lagi, diikuti Sharin.
***
Abis ini, Nella sama Santi masuk arena tinju. Kayaknya lebih seru ya ges ya 🤣🤣🤣 gelut deh gelut.Jun, kalau masih ada cinta sama Nay, mending pertahanin deh daripada Nay diambil orang. 😌😌
Makin gemes ya kalau ada yang cemburuan kayak Sharin. 😏😏 ngatain Nay kegatelan, dia sendiri nggak nyadar udah ngerusak hubungan Nay dengan Jun.
Gimana perasaan kalian setelah baca part ini? 🤭🤭Share di kolom komentar ya.
Jangan lupa juga vote dan follow akun aku ya 💚💚💚
![](https://img.wattpad.com/cover/314043641-288-k570802.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu Cinta Palsu
Romance[JUARA 5 EDITOR CHOICE: AUTHOR GOT TALENT 2022] Junianto terpaksa mengakhiri hubungan rahasianya dengan Naywena-yang sudah terjalin selama enam tahun-demi menerima perjodohan dari orang tuanya. Ketika Naywena mulai dekat dengan pria lain, Junianto b...