Ajakan kencan pertama

15 2 0
                                    

Marunouchi Building Terrace. Lokasi yang ternyata lebih apik dari kedengarannya. Di hias pohon setinggi manusia di pinggir set meja taman, di hias lampu yang di taruh di setiap meja. Lampu lampu tersebut tidak hanya menghasilkan nuansa hangat namun meningkatkan suasana disana apalagi kini matahari mulai kembali ke persemayamannya tanda sebentar lagi akan digantikan oleh si kerabat dekat penguasa malam.

"Tidak buruk untuk ajakan pertama."

Rona pada pipi Sang In kian menjelas dikala Cleo asik menikmati pemandangan Stasiun Tokyo.

Di perhatikanlah sosok di hadapannya saksama. Lihatlah tatapan tenang tersebut, lihatlah bibir mengembang disana. Sejak kapan Cleo terlihat menawan seperti ini? Mengembangkan rongga dada Sang In yang tak kuasa menahan debaran berlebih di dalam sana.

Di panggilah pelayan yang kebetulan sedang lewat usai mengantarkan pesanan meja lain, Sang In meminta dibawakan menu dan kini Cleo tersenyum lembut kepadanya. Tak bersuara sama sekali. Namun dari tatapannya jelas lega terpancar.

Haruskah ia membawa topik misi wanita itu? Atau topik lain yang bahkan ia tidak tahu topik apa yang harus diangkat. Sang In memulai dengan menanyakan ajang pertarungan dengan Peter Damon. Membuat air wajah wanita di hadapannya berubah menjadi muram lantaran kecewa berat akan musuh yang lemah. Kini giliran Sang In yang memancarkan lega.

"Ku pikir, pertarungannya akan menyenangkan." dengan nada naik turun lalu menyentak di akhiran mengikuti trend Tiktok. "Nyatanya, tidak."

Spontan Sang In menutup mulut menahan tawa. Ia tak menyangka ada sisi Cleo yang kekanakan seperti ini. Dan sejak kapan pula wanita itu pantengin platform video pendek tersebut? Yang jelas tidak di saat dirinya ada. "Lihat sisi baiknya, kau kembali dengan selamat."

"Hmmmm? Aku tak tahu kau sepeduli itu pada ku."

Godaan? "Ya, aku peduli padamu." Cleo malah terkekeh tak sesuai harapan Sang in yang lebih ingin melihat wanita itu merona.

"Aku senang kau menyukai ku."

"D-diam! Ayo p-pesan makanan!" Meski sudah berdengus tetap Sang In tak bisa mengontrol hangat di pipinya. Kontras dengan Cleo yang masih tenang tenang saja seakan urat malunya sudah putus. Sibuk mencari topping pizza sambil bersenandung riang. Menaruh hati pada topping daging asap bercampur keju leleh.

"Jadi, bagaimana kabar mu setelah kembali makan makanan manusia?" Kali ini lagi asik memilih beer.

"Tidak banyak berubah, lebih report masak saja." Yang di jawab cuma mengangguk acuh. Memanggil pelayan memesan dua gelas beer dan pizza. Lalu menatap lawan bicara lekat.

"Tidak ada efek samping semacamnya?"

"Tidak." terjadi jeda di antara mereka. Sang In yang bimbang mengutarakan rasa penasarannya dan Cleo yang masih berusaha mempercayai. "Etto..." Sang In mengetuk jemarinya ke permukaan meja. "Apa yang akan terjadi kalau aku berubah lagi jadi vampir?"

Menaikkan sebelah alis Cleo. "Hmm? Kenapa kau ingin jadi vampir lagi? Hidup selamanya tidak enak tahu."

"Namanya juga penasaran." hmmm... sepertinya bukan cara yang baik untuk mengungkapkan kalau dirinya ingin bersama dengan wanita itu.

Yang padahal Cleo paham makna dari ucapan tersebut. Akan tetapi dirinya tidak berani menerima konsekuensi akan usul tersebut lantaran terlalu banyak yang harus dipersiapkan. Di mulai dari mengasingkan diri kelak nanti ketika keluarga Yoon mulai menua, menyiapkan segudang alasan dimana Sang In berada. Terlebih lagi, Sang Ki sepertinya cukup protektif. Pasti akan menjadi batu jalan di kemudian hari. Rute teraman adalah tetap seperti sekarang ini. Menikmati setiap sisa waktu yang ada hingga kejamnya waktu memisahkan mereka. Paling tidak, kali ini lebih natural ketimbang hukum pancung.

.

.

.

Pesanan mereka tiba. Dan tak ada satupun dari mereka yang menyentuh pizza. Yang mereka lakukan cuma sibuk dengan pikiran masing masing, menenggak beer sampai habis lalu memesan gelas berikutnya. Hingga Cleo tak tahan akhirnya mengutarakan isi pikirannya. Bahwa ia ingin sementara waktu tetap seperti ini.

Yang terdengar egois menurut Sang in lantaran dirinya merasa sudah memilih mengorbankan kemanusiaannya namun tetap berusaha terkendali mencoba memaklumi keputusan Cleo. Mencoba memahami kalau wanita itu pasti sudah memikirkan jauh kedepan ketimbang dirinya, tapi tetap rasa mengganjal tak kunjung hilang. Dirinya ingin ikut terlibat, dirinya ingin kejelasan. Bukan terima beres. Dan raut wajahnya tanpa sadar terpampang dengan gamblang.

"Bersemangatlah, jangan terburu buru mengambil keputusan."

"Aku tak yakin kalau ini keputusan yang buru buru, tapi aku akan memaklumi."

Ditengah pahitnya percakapan kedua wanita itu, seorang pria datang sedang mensurvei tempat. Mencari tempat duduk mana yang pas untuk dijadikan lokasi kencan, mencari makanan apa saja yang bisa dijadikan bumbu bumbu pemanis. Siapa sangka matanya malah tertuju pada dua sosok yang ia kenal. Satunya mengenakan pakaian feminim, satunya lagi memakai pakaian lebih maskulin. Keduanya tampak muram dan sebelah tangan mereka saling menautkan jari. Terlalu dekat untuk dikatakan sebagai teman. Yang juga mengundang rasa penasaran akan hubungan seperti apa sebenarnya yang kedua wanita itu jalani. Dengan perlahan pria itu duduk membelakangi kedua wanita itu. Menguping percakapan yang kini tengah membahas hubungan keluarga yang pelik dan pernikahan. Ia menutup mulut mencoba mengikuti.

"Kau pikir apa alasan kakek menikahkan ku? Aku hanyalah alat untuk mereka. Yang ujung ujungnya Sang Ki lah yang akan meneruskan perusahaan. Sedangkan aku, ketika kontrak ini habis, pasti akan dijodohkan kembali dengan yang lain."

"Tapi kabur dari mereka selamanya bukan jalan keluar. Akan menimbulkan curiga kalau kau tiba tiba menghilang dan beralasan setiap kali ditanya untuk kembali. Ingat bagaimana kakakmu mengirim kita ke pesta?"

"Katakan pada ku apa yang harus ku lakukan untuk keluar dari masalah keluarga ku. Katakan padaku kalau kau punya rencana yang lebih baik selain kabur." Tidak ada jawaban. "Kalau begitu kau tidak punya hak untuk mengatakan kalau pilihan ku salah."

Telepon pintar kini berdering. Sang In mengangkat panggilan tersebut berbicara dengan bahasa ibunya. Satu satunya kata yang bisa dipahami adalah 'pesta', diucapkan dalam bahasa Inggris. Begitu sambungan di putus, mereka kembali pada percakapan pahit mereka.

"Sang Ki meminta ku mewakilkannya pergi ke pesta kerabat dan aku akan pergi sendiri kali ini."

"Tidak, aku akan ikut."

"Kau cukup keras kepala ternyata."

"Jangan memandangku sinis, aku punya rencana lain disana... aku akan tanya kepada ayah apa ada jalan lain untuk masalah ini."

Suara jentikan jari terdengar. Cleo meminta tagihan kepada pelayan. Begitu selesai membayar kedua wanita itu pergi masih dengan pizza yang tidak tersentuh.

Dari balik semak semak, pria yang sedari tadi menguping memperhatikan dua orang yang kini sudah menjauh. Dan Cleo menggandeng tangan Sang in yang sama sekali tidak ada penolakan. Ia teringat akan percakapannya tempo hari, kalau pasangan wanita itu ada di sekitarnya. Tidak tidak, wanita memang memiliki tingkatan skinship yang lebih tinggi, pasti bukan yang seperti itu. Tapi menikah?... Tidak tidak, hanya ia saja yang berpikir kejauhan.

Blooming PleasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang