Jadi, gimana? Ketagihan enggak? Lanjut up date jangan?
Kalau gitu spam ☘️☘️☘️ yang banyak biar aku cepet up.
__________________“EMANG enggak apa-apa, Lam?” tanya Aruna, berharap Akalam tidak memberi ijin. Ia tak ingin berduaan dengan Abian untuk sementara ini. “Nanti lo pulang sendiri loh.”
“Santai aja Na.” Akalam mengusap tiga kali rambut Aruna, sebelum menunduk, agar wajah mereka sejajar. “Gih, sana, hati-hati. Kalau ada sesuatu bisa langsung telepon gue.”
“Hm.” Aruna tak punya pilihan lain, ia hanya memberikan Akalam anggukan lemah.
“Kalau gitu, bisa kita pergi sekarang, Aruna?” kata Abian, sembari melirik Akalam. “Enggak apa-apa kan?”
“Oh, enggak apa-apa Bang, silahkan aja.”
Tersenyum tipis sembari menepuk bahu Akalam, Abian pun melangkahkan tungkainya. Diikuti Aruna yang nampak menunduk resah, malas.
☘️☘️☘️
Mobil diisi dengan keheningan, Abian fokus menyetir, sedang Aruna menatap malas jalanan.
“Kamu enggak lapar? Saya perhatikan, tadi, kamu makan cuma sedikit.” Buka Abian, memecah rasa canggung yang menguar.
“Enggak kok Mas.”
Padahal sejak di rumah, Aruna sengaja mengosongkan perut agar bisa menampung banyak makanan. Tak menyangka jika undangan yang dihadiri akan membuat moodnya semakin memburuk.
“Tapi saya lapar.” Abian celangak-celinguk. “Pecel ayam enak deh. Mau temenin saya?”
“Kalau Aruna enggak maupun percuma kan? Jadi ayo aja.” Aruna tak membantah.
Maka karena itu, Abian pun membelokkan kemudi ke satu warung tenda pecel ayam yang ada di pinggiran jalan. Mereka turun dan menempati salah satu bangku yang kosong dan memesan.
Jujur, Abian ingin meminta maaf tentang ucapannya di telepon malam tadi. Ia terlalu kacau, sehingga meluapkan kemarahan pada Aruna tanpa berpikir panjang. Pun alkohol sialan yang ia teguk membuat semua hal semakin tak terkendali.
Setelah duduk lesehan dan berhadapan langsung dengan Aruna, Abian pun berdehem, kedua tangannya tertaut di atas meja sebetis.
“Kamu enggak apa-apa makan di tempat begini?”
“Aruna biasa makan di warung tenda. No problem.” Aruna mengedarkan pandangan, kedua sudut bibirnya tertarik lurus.
“Soal malam itu, saya minta maaf.”
Aruna mematung tiga detik, sebelum menghadap pada Abian. “Eh, ya, enggak apa-apa kok, Mas. Jangan dipikirin.”
Terdiam sesaat, Abian pun menyugar rambutnya yang kini diberi warna kecoklatan. “Omongan saya pasti nyinggung kamu. Sekali lagi, saya bener-bener minta maaf.”
“Kalau begitu ….”
Yah, mumpung topiknya sedang diangkat, Aruna juga akan mengungkapkan apa yang kini tengah ia rasa. Apa yang kini tengah ia benci dari sosok Abian. Agar hatinya lebih lega.
“Sejujurnya, Aruna bener-bener sakit hati sama omongan Mas Abian. Nyampe semalaman enggak bisa tidur mikirin bahwa ternyata, aku seburuk itu. Aku semerepotkan itu buat Mas. Marah dan malu. Campur aduk banget. Meski begitu, Mas enggak tahu seberapa keras Aruna berjuang untuk bisa balik nulis. Setiap hari, ngadepin laptop, nyoba nyari inspirasi sana-sini, agar bisa memberikan hasil paling maksimal.”
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE DEADLINE (END)
Chick-LitABIAN adalah lelaki paling nelangsa di dunia. Setidaknya untuk sekarang. Di mana, ia harus menjadi editor si pemalas Aruna. Tak cukup di situ. Seolah semesta sangat membencinya. Abian juga harus menelan pil terpahit di muka bumi saat ia memergoki tu...