Halo, ketemu di Bab 22
Semoga suka.
Makasih udah tetep baca🕊️🕊️🕊️
“Iya Mas, Aruna kan udah up beberapa video ke sosmed. Instagram, Tiktok nyampe Youtube juga. Tapi Aruna ngerasa hasilnya kurang memuaskan gitu. Masih kelihatan kaku dan aneh.”
Kini, Aruna tengah duduk di kursi teras sembari mengobrol dengan Jaevan tentang konten video promosi yang ia up load ke sosmed.
“Enggak kok, Na. Menurut saya sih, itu sudah sangat memuaskan. Ya ini buat evaluasi aja sih, kamunya emang agak kaku. Keliatan banget kalau masih malu-malu dan sering salah tingkah.”
Aruna terkekeh. “Nah itu kan, Mas. Selain suka agak bingung kalau depan kamera harus ngelakuin apa, aku juga kurang bisa ngedit.”
“Ya kan kata saya juga, kalau masalah edit gitu saya bisa bantu. Atau pas kamu rekam-rekam gitu juga saya bisa mengarahkan dikit-dikit biar kamu enggak canggung lagi depan kamera.”
“Wah, kebetulan banget dong, Mas. Hari ini juga Aruna sama temen emang mau rekam-rekam kegiatan gitu. Di kafe Alam, kalau bisa, Mas datang aja.” Aruna tersenyum senang.
“Okei kalau gitu, jam berap kamu ke sana?”
“Jam empat nanti Mas. Biar dapet suasana sorenya.”
“Sip, saya nanti nyusul ya, Na.”
🕊️🕊️🕊️
“Haduh, sore aja masih panas gini ya, Na.” Tiasa melepas helm. “Untung ni kafe rimbun-rimbun nyegerin udaranya.”
“Minumannya juga nyegerin.” Aruna nyengir, lalu mendorong standar motor. “Yuk.”
“Itu, anak promosi penerbit lo belum datang Na?” tanya Tiasa.
Aruna menggeleng. “Belum kayaknya.”
Tiasa tak menjawab, mereka memilih mencari tempat duduk dan memesan minuman. Kafe Alam di sore hari cukup ramai dikunjungi oleh anak-anak muda. Tempatnya luas. Ada area indoor dan outdoor. Terdapat begitu banyak tanaman, bunga-bunga, pohon-pohon besar yang membuat udara terasa sejuk. Irama-irama tenang music bergema. Beberapa obrolan hangat dan tawa-tawa menyenangkan bisa Aruna juga Tiasa dengar. Tempat yang benar-benar cocok untuk menulis.
Sementara Tiasa tengah mengotak-atik kamera, Aruna malah asik menatap bangku yang kini ia duduki. Berhadapan dengan meja yang melingkari pilar dengan aksen kayu yang cukup tinggi. Yang dimana, atap pilar yang terbuat dari beton itu terhias dengan bunga-bunga cantik yang ditanam dalam pot gantung.“Gue cobain dulu kameranya ya, Na. Liat sini dong.”
Aruna menurut, tersenyum lembut ke arah kamera. Kemudian, pipi berbentuk ovalnya dibingkai oleh tangan, dan Aruna berkedip imut.
“Ngakak banget liat Aruna kayak gini.”
“Biar kayak idol-idol Korea,” balas Aruna.
“Tone-nya udah cocok nih, sembari nungguin anak publisher datang, kita rekam dikit-dikit. Yok, buka laptopnya, pura-pura nulis.”
Aruna terkekeh, sembari mengeluarkan laptop dari dalam ransel, menghidupkannya.
“Siap ya, Na.” Tiasa sudah membungkuk, di posisi agak jauh dari Aruna, tangannya memegang kamera dan mengarahkannya lembut ke sisi tubuh Aruna. “Wih, bagus nih, buat pembukaan.”
“Nah, sekarang, lo ngetik apa aja deh, Na. Gue rekam dari belakang ya.”
“Ih, enak banget ada yang ngarahin gini.” Aruna tersenyum, sembari mulai mengetik beberapa kata asal di dalam laptop. Sampai akhirnya, Tiasa berkata ‘cut’ sudah macam sutradara professional saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE DEADLINE (END)
Chick-LitABIAN adalah lelaki paling nelangsa di dunia. Setidaknya untuk sekarang. Di mana, ia harus menjadi editor si pemalas Aruna. Tak cukup di situ. Seolah semesta sangat membencinya. Abian juga harus menelan pil terpahit di muka bumi saat ia memergoki tu...