🎂28🎂

5.1K 693 35
                                    

“Jadi, kamu ditolak sama Abian, Na?”

Aruna menyusut air mata kasar. “Enggak gitu Ibuuu.”

Ya tentu saja, Abian belum menolaknya bukan?

“Mas Abian diem, terus ngajak Aruna pulang.”

“Ya itu kamu ditolak.”

Aruna mendelik kala dengan tega Ibu berkata demikian. Anaknya sedang sedih, ya harusnya dihibur. Bukan malah makin-makin bikin sakit. Toh, Aruna enggak ditolak. Pokoknya enggak ditolak!

Ibu memberikan Aruna segelas air putih, lalu mengusap rambut ombre sang anak dengan lembut. “Ya udah, enggak apa-apa. Cowok masih banyak kok. Cakrawala ada, Anjanu, Haesan, Jaevan juga. Tinggal tunjuk.”

Aruna menyimpan gelas di meja bar dengan kasar. Ya kali tinggal tunjuk. Memangnya ke empat cowok-cowok ganteng, tinggi, mempunyai senyum sama manis dan aura kuat yang menarik itu menyukai Aruna? Enggak mungkin kan. Aruna di anak emaskan karena dia bisa menciptakan banyak pundi-pundi rupiah. Buku-bukunya best seller—tentu saja. Dan bisa mengangkat nama penerbitan juga.

“Kamu tuh ya, Na, cantik. Kalau Abian nolak kamu, berarti matanya yang siwer. Rugi banget. Jadi jangan nangis lagi. Udah. Nanti juga dapet jodohnya.”

“Maunya Mas Abian Bu ….”

“Ck, cowok kayak Abian banyak di jalan. Tinggal nyomot.” Ibu kembali ke dapur, lalu mengeluarkan beberapa sayuran dari dalam kulkas.

“Ibu ngeliat di jalan mana?” Aruna menggeleng dalam sisa tangisnya. Kalau memang laki-laki seperti Abian bisa ditemukan dengan mudah di jalan-jalan, lalu, untuk apa Aruna segalau ini? Iya kan?

“Di mana aja, udah ah, jangan ganggu, Ibu mau masak. Udah sore ini. Kalau galaunya mau lanjut, mending di kamar aja.”

“Ih, Ibu kok tega.” Aruna melipat tangan di atas bar, lalu menyimpan lesu kepalanya di sana. “Kenapa Mas Abian enggak suka sih, sama Aruna?”

“Waktu itu, waktu kamu tanya strategi ke Akalam gimana?” lanjut Ibu pada akhirnya.

“Kata Akalam, kalau Aruna mau menyatakan perasaan ya, enggak apa-apa. Tapi jangan sampai ngejar-ngejar Mas Abian. Jangan terlalu berharap juga. Kalau diterima ya syukur kalau enggak terima ya, biarin aja. Toh katanya, Aruna yang harus diperjuangin.”

“Yaudah, dengerin aja kata Akalam. Ngertilah dia pasti.”

Aruna mengangguk-angguk. Iya, memang, Aruna juga sedang mencoba menerapkan apa yang Akalam bilang. Ia tak akan lebih jauh mengejar Abian. Toh tadi, saat di perjalanan pulang, Aruna juga tak membahas apa-apa lagi, begitupula dengan Abian yang memilih terus bungkam hingga di depan rumah Aruna. Lelaki itu hanya menerima helm dan pamit dengan kata, “Saya pamit ya, Aruna.”

Dan kala itu, Aruna hanya mengangguk sembari cengengesan, untuk menutupi bayang sedih di matanya. “Oke, hati-hati di jalan ya, Mas.”

Cuma begitu.

Meski hati Aruna melayangkan banyak tanya untuk Abian, tapi, ia tetap bungkam. Bahkan, jika menuruti inginnya, mungkin Aruna akan memaksa Abian untuk menjawab pernyataan perasaannya tadi. Pun jika Abian menolak, maka Aruna akan berjalan mundur lima belas langkah, sebelum berlari cepat dan menendang Abian, berharap laki-laki itu langsung melayang hingga bulan dan diam di sana selamanya, sendirian. Menjoblo. Biarkan saja, jika tak bisa dimiliki oleh Aruna, maka orang lain tak boleh memiliki Abian juga.

Iya, Aruna akan melakukan itu andai dirinya sudah kehilangan kewarasan. Tapi sayang, meski hanya 000000,1 persen, kewarasan itu masih tersisa di otak mungil Aruna yang cantik jelita tapi ditolak cowok sekelas Abian.

LOVE DEADLINE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang