🐢08🐢

7.1K 913 123
                                    

Ramein kolom komen yuk! Jangan lupa vote juga.

Spam emoji 🐢🐢🐢

Udah chapter 08 aja ya. Aku sebenarnya kepikiran buat Hiatus dulu. Tapi enggak tahu sih ya.

Nanti aku kabarin lagi😣😣
________________

Aruna memandangi ponsel dengan raut bimbang. Menggulir sedikit bola mata, didapatinya layar laptop yang terbuka. Berada di laman Microsoft Word. Ada satu judul besar di sana, ‘Chapter 18’ yang membuat desahan panjang lolos. Kepalanya begitu sakit hingga untuk mengekspresikan hal tersebut, Aruna harus menjambak-jambak rambut bagian depan, sembari mengerang lelah.

Tidak ada ide. Tidak tahu apa yang harus ia tulis. Gila. Situasi yang benar-benar akan membuat Aruna gila dan mungkin, minggu depan, ia sudah berada di rumah sakit jiwa.

Maka karenanya, apa boleh ia meminta bantuan kepada Abian?

Apa bisa hari ini keduanya bertemu?

Aruna manyun, ia beranjak dari kursi kerja. Lalu ke dapur dan membuat ice coffee sebelum duduk melamun di stool. Menikmati hormon stres yang meluap-luap di dalam diri. Ingin rasanya membatalkan projek ini hanya saja, mana mungkin bisa, mengingat ia sudah merepotkan Abian selama enam bulan terakhir.

Ya! Enam bulan dan Aruna baru bisa menghasilkan tujuh belas bab yang sepenuhnya perlu di edit.

Mungkin, nanti, Aruna akan datang pada Ibu dan minta dikutuk jadi batu. Hidup terlalu berat untuk ia jalani. Atau di masa depan, Aruna ingin mendapatkan sosok pendamping seperti Dilan yang bisa berkata, “Kamu jangan hidup, biar aku saja, hidup itu berat.”

Dan Aruna akan dengan senang hati menyerahkan seluruh hidup dan bebannya nanti.

Bodoh.

Aruna menatap malas kitchen set, satu-satunya pemandangan yang bisa ia lihat di dapur sembari menyesap es kopi.

“Ibu datang.”

“Akalam juga datang.”

Ibu datang dengan raut senang, diekori Akalam yang terlihat ribet membawa kantung-kantung plastik besar di kedua tangan. Mereka baru belanja bulanan. Akalam mengantar Ibu serta Bunda ke market dan menjadi kuli angkut dengan senang hati. Seorang anak laki-laki lembut yang terpuji. Yang mau membantu dua ibu-ibu belanja ayam dan ikan asin ke pasar.

“Aruna sedang apa?”

“Apaan sih, Lam.” Aruna mendelik kala, dengan tidak sopan, Akalam menyenggol punggungnya.

“Akhir-akhir ini, Aruna sensitif banget ya Bu. Mudah marah, kayak monster,” ungkap laki-laki berhodie hitam itu sembari menyimpan belanjaan di depan kulkas. Di mana, Ibu sudah siap-siap membereskan semuanya. Menyimpan dan menjaga dengan rapi.

“Ya begitulah, mana mukanya nakutin kayak hantu. Kantung mata item, bibir pucet, lunglai lesu, acak-acakan pula.” Ibu memilah belanjaan. Memisahkan sayuran, bumbu-bumbu serta yang lain.

Akalam menyetujui, ia duduk di stool kosong dekat Aruna sembari menyesap es kopi yang bukan miliknya. Sesaat, rasa manis dan dingin memanjakan mulut, membuat Akalam merem-melek aneh. “Minta kopi ya Na.”

Aruna memutar bola mata malas. “Kebiasaan.”

Senyuman paling lebar Akalam tunjukan. Ia memainkan rambut Aruna, sosok yang kali ini nampak malas. Bertopang dagu sembari menatap Ibu, tanpa adanya keinginan untuk membantu wanita paruh baya itu untuk memindahkan makanan ke dalam kulkas.

LOVE DEADLINE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang