🍒04🍒

7.6K 892 44
                                    

Gimana? Udah mulai tertarik baca cerita ini?
Kalau iya, komen emoji Cherry ini 🍒🍒🍒 yaaa

____________________

ARUNA, Aruna, Aruna!”

Aruna terdiam mematung, duduk di sofa ruang tamu, dengan wajah pasrah dan tatapan kosong. Sementara, seorang lelaki dewasa, bernama Akalam, sedang mengguncang tubuhnya sembari memanggil-manggil berisik.

“Arunaaaaaaa. Arunaaaaaa. Yo, yo, Aruna cincindakara!”

“Apasih ah?!” sentak Aruna, menepis tangan Akalam yang kini memegang bahunya. “Jangan ganggu. Gue lagi pusing.”

“Na please, gue butuh bantuan lo.”

Decakan kesal Aruna terdengar, ditatapnya Akalam sinis. “Lo kenapa sih, dateng pas lagi butuh doang? Kesel gue.”

Akalam adalah tetangga sekaligus sahabat dekat Aruna. Jarak rumah keduanya bersebelahan. Sudah bagai adik-kakak beda rahim.

“Jahat banget lo Aruna.” Akalam memasang wajah menyedihkan. “Tapi bener juga sih.”

“Balik sana. Gue lagi pusing, kurang tidur.”

“Cantik banget sih, Aruna.” Akalam masih mencoba membujuk Aruna. “Nanti sore anterin gue ke ondangan yuk?”

“Kan lo punya pacar, Nyet. Kenapa minta anter-anter ke gue?”

“Pacar gue lagi enggak bisa Na. Dia ada kerjaan.”

“Marahan lagi ya, kalian berdua?” Aruna memincingkan mata. Sungguh, hubungan Akalam dan Tiasa penuh dengan perang, dikit-dikit marahan, dikit-dikit musuhan, dikit-dikit putus. Aruna tak mengerti mengapa keduanya selalu kembali bersama.

“Ya gitu deh Na,” jawab Akalam lesu. “Makannya, temenin gue please. Males planga-plongo di ondangan nanti.”

“Jam berapa?” Aruna mengalah.

“Yeay, aku sayang pada Aruna.” Akalam memeluk sisi tubuh Aruna. Yang di mana, wanita itu tengah menunjukan ekspresi ingin muntah. “Jam empat sore nanti ya, Na. Dandan yang cantik. Sekarang gue pulang dulu.”

“Akalam, ikut sarapan.” Ibu menahan.

“Oke Bu, kebetulan Akalam lagi lapar.” Tanpa perasaan, Akalam langsung menyeret Aruna ke dapur. Sementara Aruna, hanya bisa pasrah.

Saat dua anaknya sudah duduk di stool, Ibu bertanya, “Berhasil bujuk Aruna?”

Akalam mengangguk. “Berhasil dong Bu.”

Dan Aruna tak yakin bahwa ia adalah darah daging dari Ibu. Bahwa ia adalah sosok yang lahir dari rahim Ibu.
Mengingat Akalam malah lebih dekat dengan beliau.

“Nasi goreng!” seru Akalam senang, seperti anak kecil. “Btw, Aruna kenapa bete banget hari ini?”

“Itu semalam, jam satu pagi, dia udah ngedumel di dapur, katanya diteror mulu sama editor barunya. Terus enggak bisa tidur sampai jam setengah empat. Makanya suntuk.”

“Yang sabar ya, Na.” Akalam menepuk bahu Aruna.

Aruna tak mau ikut campur dengan obrolan Akalam dan Ibu, maka dari itu, ia hanya diam. Sesekali melirik pada stool kosong yang biasa diisi Ayah.

Ayah Aruna, Bhaya Irawan, meninggal dunia beberapa bulan lalu. Karena pembengkakan jantung.

Dan Aruna sering begini, merindukan kehangatan, senyuman dan candaan Ayah di tengah-tengah keramaian.

“Telur ceplok buatan Ibu enak,” pujian Akalam terdengar. “Akalam suka banget. Nasi gorengnya juga pas.”

“Kalau mau nambah lagi ambil aja, enggak usah segala muji ini-itu.”

LOVE DEADLINE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang