Halo, selamat sore. Apa kabar?
Jujur, kemarin aku sempet up part ini tapi sambil misuh-misuh.
Aku seneng banget kalian exited sama cerita ini. Tapi kasih aku waktu untuk berproses. Karena, upload cerita dan bikin cerita itu enggak simpel. Banyak banget proses yang harus aku pribadi, hadapi dan kerjakan.
Jadi aku mohon, kalian bisa bersabar agar aku juga bisa ngasih yang terbaik.
Sekian, selamat membaca
🌱🌱🌱
Saat itu, di ruang tamu, Aruna duduk dengan canggung. Sama hal-nya dengan kelima laki-laki yang sesekali, keempat di antaranya mencuri pandang pada ia dan Abian yang kini duduk saling bersisian.
“Minum Na,” tawar Cakrawala. Dia mengambil satu kaleng soda di tengah meja dan menyodorkan dekat pada Aruna.
Aruna menggeleng. “Enggak perlu, Mas. Aruna belum haus.”
“Kalau Abian gimana? Haus enggak?” Haesan meletakkan satu kaleng ke dekat Abian.
“Eh, Mas Abian kan lagi sakit, enggak boleh minum ini,” larang Aruna.
Jaevan berdehem keras, matanya menatap julid pada Abian. “Duh, Mas Abian kok bisa sakit sih?”
“Jae, lo bikin Aruna enggak nyaman,” peringat Cakrawala.
“So-sorry Na. Saya enggak maksud kayak gitu.”
Aruna memang merasa tidak nyaman, bahkan semenjak tadi, saat keduanya terpergok di dapur. Sekarang, ia benar-benar berpikir sedang dihakimi oleh gerak-gerik juga tatapan Haesan, Jaevan dan Anjanu. Terkecuali Cakra, tentu saja. Mana mau dia mengurusi hidup orang lain. Terlalu tak penting apalagi kalau ia tak mendapat bayaran.
“Enggak apa-apa Mas.” Aruna tersenyum tipis. Ia melirik Abian sebelum berkata, “Mas, kayaknya aku harus pulang deh. Udah sore juga.”
Abian mengatakan ‘sorry’ tanpa suara yang Aruna jawab dengan gelengan kepala.
“Ya udah, aku anterin aja.” Abian berdiri.
“WIHHHH! ‘AKU’ KATANYA WOY,” potong Anjanu.
Yang Abian jawab dengan decakan. Mengaganggu saja manusia gila yang satu itu.
“Enggak perlu Mas, aku kan bawa motor.”
“Saya anter sampai lobi Na.” Dan Abian terpaksa mengucapkan kata ‘saya’ karena singgungan Anjanu tadi. “Yuk,” ajaknya sembari bergerak mengambil tas slempang Aruna.
“Mas-Mas semua, Aruna pamit pulang dulu. Have fun ya, kalian.” Pamit Aruna, setelah mendapat jawaban dari orang-orang Andromeda, ia segera mengintili langkah Abian. Menyusuri lorong apartemen dan memencet tombol lift yang pintunya terbuka beberapa saat kemudian.
Abian menengok Aruna yang anteng di sampingnya. “Kamu enggak apa-apa kan Na?”
Aruna mendongak, tersenyum lalu menggeleng. Ekpresinya terlihat imut di mata Abian. “Enggak apa-apa kok, Mas.”
“Enggak nyaman ya, sama mereka?”
Aruna mengangguk jujur. “Ekspresi dan kelakuan mereka seolah-olah mergokin kita lagi ngelakuin sesuatu yang jijik. Kan aneh banget ya, kita enggak ngapa-ngapain kok.”
Abian mewajarkan, toh, bisa dibilang, ia baru putus dari Haira dan kini, ia sudah berani-beraninya mengajak wanita lain— apalagi itu Aruna—untuk masuk ke dalam apartemen. Jadi teman-temannya pasti berpikir yang aneh-aneh. Entah seburuk apa reputasi Abian di mata mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE DEADLINE (END)
Literatura FemininaABIAN adalah lelaki paling nelangsa di dunia. Setidaknya untuk sekarang. Di mana, ia harus menjadi editor si pemalas Aruna. Tak cukup di situ. Seolah semesta sangat membencinya. Abian juga harus menelan pil terpahit di muka bumi saat ia memergoki tu...