Hujan enggak sih di kota kalian? Kalau di Bandung sih, setiap hari. Dari pagi aja udah mendung.
Ini malam Minggu kan ya?
Jadi aku kasih up date bab 13nya malem-malem, enggak apa-apa kan?
Btw, yuk komen emoji yang kalian suka🍓🍓🍓
_____________________
Abian menatap laptop dengan tangan terlipat di dada. Bola matanya bergulir cepat membaca sesuatu di file yang tengah ia buka. Sebelum Haesan yang baru keluar dari dalam pantry dengan segelas kopi menyenggol kepalanya menggunakan pantat.
Sungguh. Tak punya sopan santun.
Namun apa daya, bujang itu sedang malas berdebat. Jadi ia membalas kekurangajaran Haesan dengan tak acuh. Maka karenanya, Haesan yang masih ingin jahil pun duduk di bangku kosong milik Cakrawala, pagi ini, pemiliknya entah berada di mana. “Ngapain Nyet?”
Abian tak menjawab.
“LO KENAPA SIH?!”
“Ngomong sama gue?” tanya Abian sembari menunjuk wajah sendiri. “Kirain sama monyet, makanya gue enggak jawab.”
“Ya sama kamulah, gantengnya aku.” Haesan kedip-kedip genit. “Kamu lagi apa?”
“Lagi liatin outline yang dikirim penulis baru.” Abian mendekatkan wajah pada layar laptop sembari mendesis. “Gue mau minta dia ngubah dikit alurnya. Karena dari yang gue baca, garis besar ceritanya agak drama terus berbelit-belit.”
Haesan mengangguk sembari memperhatikan laptop Abian. “Dapet dari mana?”
“Flatform orange.”
“Kemarin penerbit sebelah, dapet penulis mentah dari sana. Pas PO pertama tembus 20.000 eksemplar cuy.”
“Iya anjir.” Jaevan yang entah sejak kapan berdiri di samping kubikel Abian menyaut. “Promosi mereka fresh banget. Gue jadi kewalahan sendiri.”
“Gue nunggu banget projek Aruna beres. Kira-kira kapan?”
Abian melirik pada Haesan yang baru saja bertanya, keningnya berkerut, desisan keluar dari bibir lelaki itu. “Dua bulan ini, gue yakin bisa rampung.”
“Ah, masa?” Jaevan tak percaya, ia berjalan melewati Abian lalu mengambil gelas kopi Haesan dan meminumnya begitu saja. “Taruhan yuk!”
Haesan menggelengkan kepala. “Dosa, gue enggak mau ikut-ikutan. Lagian, buat apa sih, taruh-taruhan enggak jelas. Ketahuan Cakrawala, bisa-bisa kita diruqiyah”
Jaevan mengangguk, setuju.
“Kopi gue lo abisin,” gerutu Haesan saat melihat cangkirnya kosong. “Bikin sendiri sana. Minta-minta mulu perasaan.”
“Males ke pantry.” Jaevan kembali ke kubikelnya.
“Kampret.” Padahal, pantry terletak tidak jauh dari ruangan kerja mereka.
Gedung Andomeda ini terdiri dari dua tingkat. Lantai pertama seluas lima belas kali sepuluh meter persegi berisi ruang kerja, dapur, gudang untuk menyetok buku-buku serta merchandise juga kamar mandi. Lantai dua berisi ruangan untuk rapat juga menerima tamu, ruang kerja Anjanu yang istimewa, satu lagi kamar mandi dan mushala. Kini, rencananya, mereka juga akan membeli bangunan kosong di samping gedung. Untuk membuat usaha percetakan. Karena selama ini, Andromeda masih mencetak buku-bukunya di perusahaan lain.
“Sabar San, sabar.” Abian terkekeh.
“Btw kenapa lo yakin kalau projek Aruna bakalan beres kurang dari dua bulan lagi?”
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE DEADLINE (END)
Chick-LitABIAN adalah lelaki paling nelangsa di dunia. Setidaknya untuk sekarang. Di mana, ia harus menjadi editor si pemalas Aruna. Tak cukup di situ. Seolah semesta sangat membencinya. Abian juga harus menelan pil terpahit di muka bumi saat ia memergoki tu...