Chapter 3

1.2K 76 13
                                    

Luke Hemmings

Tengah hari itu aku bangun, mengerjap-ngerjapkan mataku yang masih berat. Lalu aku makin tergoda oleh harum ruangan ini, wangi lime yang selalu kusukai sampai akhirnya aku benar-benar bangun— tapi masih merasa lelah. Kutengok jendela yang ditutup gorden berwarna krem, menghembus perlahan tertiup angin luar. Aku agak kedinginan, kutegakkan badanku dan baru kusadari bahwa aku tak mengenakan pakaian. Keterkejutanku tak berhenti sampai aku bertanya pada diriku sendiri; "siapa yang melakukan ini?" tapi lihatlah.. gosh! Aku mungkin bermimpi, di sebelahku ada seorang gadis yang sudah terjaga, menatapku bingung— atau mungkin memelas. Keadaannya sama sepertiku, tak memakai apapun selain selimut putih yang menyatu di antara kita.

Segera saja kuajukan pertanyaan padanya, bertanya kenapa kita berada dalam keadaan begini. Tapi dia tetap memanggil-manggil namaku dengan nada parau— hampir menangis, sambil bertanya, "Kau tidak ingat aku?" Kuamati dia lekat-lekat. Dia tidak cantik— aku tak mengatakan dia jelek hanya saja dia bukan tipe gadis yang akan membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama. Rambutnya cokelat, matanya juga berwarna sama, lalu yang kukagumi dari gadis ini mungkin ia tidak menyulam alisnya seperti murid perempuan di sekolah. Ehh.. tunggu.. aku mengenalinya.

"Greta Medew?"

Aku menampar dahiku, mendengus merapatkan selimut lalu membuang napas tak percaya. Aku tak berani mengambil sebuah kesimpulan dengan; sepasang anak muda telanjang dan berada di satu kamar, bahkan satu ranjang. Kuedarkan mataku keseluruh ranjang, tiba-tiba sesuatu menangkap mataku dan membuatku mengumpat kasar.

Darah.

Ada darah di sekitar tempat Greta duduk, aku sangat-sangat ingin mengamuk. Aku pernah melihat situasi ini— bersama mantan pacarku yang seorang virgin, tentu saja. Tapi dia Greta, gadis di kelasku yang tak benar-benar kukenal. Dalam kekesalanku, aku mencoba mengatur nada suaraku. Aku ingin bertanya padanya apa yang terjadi dalam nada yang senormal mungkin. Sesaat, aku mengurungkan niatku karena ia mulai menjelaskan tanpa kuminta.

"Kau mabuk bersama perempuan— aku tak tau dia siapa. Saat itu aku tak sengaja melihatmu, tapi karena aku penasaran aku mengikutimu— maaf soal itu. Tapi setelahnya wanita yang kau ajak itu mabuk dan pingsan, kau frustrasi lalu melihatku di balik kegelapan dan menarikku masuk ke kamar. Maaf— aku tidak bisa menolak, kau memaksa—" oh tidak, dia mulai menangis. Kuelus pundaknya pelan tapi dia tidak merespon. Mulai kupeluk dia, hanya pelukan penenang— bukan pelukan erat dan mulai kusalahkan diriku sendiri, mengatai diriku sebagai seorang brengsek yang tak tau diri-- aku benar-benar merasa menjadi pencundang, bagaimana bisa alkohol mempengaruhiku begitu brutal? Tapi dia mengatakan kalau aku tak salah. Biar kuingat dulu, malam tadi aku pergi bersama Charlotte. Minum-minuman berarkohol dan ugh kepalaku mendadak pening karena ingatanku yang payah, tapi aku tak menyerah terus kuingat dan dalam kilasan memori yang tak jelas aku melihat Greta sekilas, dalam ingatan yang samar-samar membuatku marah-- benar, aku memperkosanya.

"Sorry, Greta. I'm fucking asshole."

Dia menggeleng, menjadi penenang seorang berengsek sepertiku dengan mengatakan aku tidak salah. Di saat dengan aku yang mulai tenang, Greta mengatakan hal yang membuatku ingin lari dan lompat dari kamar hotel, "You cummed inside, Luke." Dia tak berhenti, mengatakan kalimat yang sama. Dia bilang dia ketakutan, bagaimana kalau ia hamil, bagaimana kalau Ayahnya tau, bagaimana kalau...

"Greta, aku akan bertanggung jawab."

Greta Medew

That's the point, baby. You are mine, fucking mine forever.

Luke di sini, memelukku yang tak pernah menyangka kalau semua adalah nyata. Kalimatnya yang terakhir membuatku membelalakan mata tak percaya, aku senang bukan main saat ini. Kalau bisa, akan kukatakan sesegera mungkin bahwa Luke harus menikahiku, tapi aku tau aku harus sabar. Ini baru permulaan-- permulaan yang tak akan pernah kutau akan berakhir seperti apa nantinya, permulaan yang jelas-jelas akan mengikat dirinya bersama diriku. Greta Medew dan Luke Hemmings akan segera berpacaran.

You'll be mine forever.

-:-

"Are you crazy, Stapid?" Leah membentak dengan aksen Prancis yang sangat kubenci, sudah berulang-ulang kuingatkan dia cara mengucapkan kata stupid yang benar tapi ia tetap mengucapkannya seperti itu-- ia sangat terobsesi pada film-film Prancis.

"No, no Leah. Please."

"Greta! Ini benar-benar salah! Kau boleh menyukainya tapi jangan membuat kebohongan besar seperti ini."

"Le, jangan berteriak. Luke sedang di ruang tamu." Aku memohon, memegang pundaknya dan menuntunnya duduk. Yang kuminta memang sesuatu yang konyol, tapi tidak mustahil. Aku hanya meminta Leah membuatkan surat kehamilan palsu untukku, untukku bisa menahan Luke berada di sisiku.

Tapi hal yang Leah katakan membuatku terdiam, merenung dalam kesedihan, "Ingat, ginjalmu hanya ada satu. Kau tidak bisa hamil, Greta."

Dia benar, aku sama sekali tak bisa hamil. Gadis malang.

Lelah karena tak kunjung mendapatkan apa yang kumau, aku berlutut di bawah kaki Leah. Dia melotot, menganga dan menyuruhku bangun dalam bentakan kasar. Aku menolak, kukatakan pada Leah kalau aku tak akan bahagia jika Luke pergi dari sisiku, akan kubuat juga ginjalku hilang dua-duanya jika perlu.

"GOSH! Baiklah, baiklah. Akan kubuatkan, sekarang bangun." Wajahnya tegang, Leah merapikan kardigannya dan berdiri untuk masuk ke kamarnya. Aku tersenyum menang, dalam hal ini aku menunjukan egoku lebih unggul. Hasrat ingin memiliki Luke tak bisa kutahan sampai melangkah sejauh ini. Sempat terbesit di benakku bagaimana kalau Luke menemukanku berbohong? Aku akan memperdulikan itu nanti. Saat Luke benar-benar jadi milikku.

Sekarang, tidak akan ada yang bisa merebut Luke dariku.

"Maaf, agak lama." Aku tersenyum canggung keluar dari kamar Leah lalu ikut duduk di samping Luke yang seperti akan mendapatkan kabar baik usai operasi yang menegangkan.

"Tidak apa-apa." Tangannya digesek-gesek, aku tak tau dia kenapa tapi jelas kalau Luke terlihat sama canggungnya denganku.

"Uhmm.."

Cari pembicaraan, Greta. Ayo, tentang hal yang disukai Luke.

"Bagaimana dengan bandmu?"

"Mereka baik." Dia mengangguk-angguk, kemudian tampangnya seolah berpikir untuk mencari topik pembicaraan, "Aku akan menemanimu besok ke rumah sakit sehabis pulang sekolah."

Why don't we have sex again, baby?

Aku mengangguk, kuelus permukaan sofa karena bingung harus apa. Tapi dia berinisiatif, mendadak membuatku makin menyukainya, dia yang tak pernah kutau seperti apa, Luke yang biasanya hanya bergaul dengan gadis-gadis cantik di sekolahku ini adalah sosok pria keren yang banyak diidam-idamkan. Luke menyentuh tanganku, mengatakan bahwa dia salah dan benar-benar akan bertanggung jawab. Di dalam suara indahnya, kusesali segala kebohonganku demi mendapatkan dia. Berkali-kali aku berdoa agar Tuhan jangan membuat Luke membenciku jika tau kebenarannya, tapi pada poin yang kuingat Luke juga merenggut keperawananku. Intinya, aku tak sepenuhnya berbohong dan tak mau seseorang memiliki Luke. Aku ini....bisa dibilang lebih egois dari siapapun, tapi untuk kasus Luke aku akan belajar untuk tak peduli. Biarkan dia menjadi milikku meskipun resikonya nanti adalah kebencian darinya yang harus kuterima.

It's fine lying for your happiness, i guess.

.

.

.

.

Ellen Page as Greta Medew, btw emg pas banget si Ellen yang jadi Greta.

Fucking Mine (Luke Hemmings)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang