Greta Medew
Aku berjalan menunduk sambil menggenggam gantungan kunci yang diberikan Calum tadi. Setengah dari diriku masih berpikir ke arah lain— bahkan saat di rumah Calum sekalipun aku tak bisa fokus. Bagaimana keadaan Luke masih menjadi pusaran perhatianku, aku bertanya-tanya apakah dia masih marah seperti kemarin? Atau mungkin amarahnya sudah reda? Atau mungkin saja dia sudah tau tentang kebohonganku? Tuhan, semoga kemungkinan yang terakhir tak akan terjadi. Aku takut, Luke pasti akan membenciku atau mungkin saja ia memilih melaporkanku ke polisi karena berbohong soal surat kehamilan itu. Tapi entah mengapa aku lebih memilih pilihan kedua ketimbang harus dibenci Luke. Aku tidak sanggup jika dibenci oleh orang yang paling kucinta, orang yang selalu kucari keberadaannya, orang yang menjadi sandaranku belakangan ini, aku mulai terbiasa dengan rasa suka Luke jadi kumohon Tuhan untuk jangan membuat Luke membenciku.
Kubuka pintu rumahku pelan lalu menutupnya dan melangkah pelan berbalik menuju kamarku. Tapi sesuatu membuatku berhenti melangkah, kulihat sesuatu yang janggal di ruang tamu. Leah, Dylan dan..... Luke? Mereka bertiga duduk di sana. Kupandangi Leah, ia seolah enggan memandangku balik— selanjutnya rahangku terasa mati saat Dylan berdiri dan berkata bahwa aku gila. Aku tak mengerti lalu kutanyakan apa maksudnya. Spekulasi di otakku kini bermacam-macam, dari Luke yang mungkin datang untuk meminta maaf atau mungkin juga hal yang belakangan ini terus kupikirkan.
"Kau berpura-pura hamil." Hatiku tersentak, semua syarafku seakan mati mendengar suara orang yang sedang duduk di sana— suara orang yang paling berarti di hidupku, Luke. Wajahnya memerah dan kurasakan auranya marah bercampur sedih. Aku menunduk, dan mulai merasa kesedihanku membuncak hingga sesak di bagian dadaku. Untuk kesekian kalinya aku terisak kembali.
"Kita tinggalkan mereka berdua." Kudengar Leah bicara dan menyeret Dylan menjauh dari sini. Meninggalkan aku dan Luke dengan suasana canggung. Dengan sepenuh hatiku, kusadari ini semua adalah salahku— mengingat aku yang terlalu terobsesi dengan Luke, aku yang terlalu menginginkan Luke untuk tetap di sampingku dan jangan pergi, aku yang gila dengan melangkah sejauh ini tanpa peduli perasaan Luke bagaimana— ia tersakiti dan itu jelas karena Luke tak kunjung mengatakan apapun padaku, ia membenciku dan aku tak siap untuk itu. Kuluapkan emosi ketakutanku dengan tangisan yang pilu, sembari begitu kukatakan juga pada Luke dengan nada pelan bahwa aku menyesal.
Dia mendekat, berdiri tidak tegap menghadapku yang menunduk, "Aku tidak habis pikir, kau tau? Aku hampir gila karena semua ini! Bisakah kau jelaskan maksud dari sandiwaramu ini? Aku tidak mengerti, Greta! Pikiranku buntu! Aku.... terlanjur menyukaimu, bagaimana ini? Orang yang kusayang merekayasa semuanya. Aku ragu, Greta. Apakah rasa sukaku juga hanya terbuat dari rekayasa?"
Punggungku bergetar mendengar perkataan Luke, aku makin terisak dengan suara keras. Ku katakan dengan terpatah-patah bahwa aku menyesal, aku minta maaf, aku bersumpah bahwa aku benar-benar menyukai Luke, aku tidak bisa membiarkan Luke membenciku. "Kumohon maafkan aku, Luke."
"Ya Tuhan..." ia mengusak rambutnya kasar, aku benar-benar bisa merasakan kemarahannya sekarang. Tapi aku juga terluka, menanggapi fakta bahwa sebentar lagi aku akan kehilangan Luke, bahwa kusadari Luke tak akan bertahan untuk orang sepertiku, bahwa mungkin saja Luke tak akan mau bertemu denganku.
"Maaf!"
"Jangan memintaku memaafkanmu, aku tak bisa! Jika saja yang kau bohongi adalah orang lain dan bukan aku, akan kupastikan kau berakhir di penjara. Dan mulai sekarang—" jangan katakan apapun lagi, Luke. Kumohon, "Jangan menyapaku ketika kita bertemu, lupakan aku karena aku juga akan melakukan hal yang sama."
Seseorang tolong aku. Aku hancur jika tanpanya. Dia membenciku dan membuatku hampir tak bisa bernapas lagi. Aku diam dalam rasa sakit, aku melukainya dan sekarang giliran diriku yang terluka. Aku bahkan tak sanggup bertahan untuk berdiri. Luke pergi. Mengikuti hembusan angin dan berakhir di pintu itu, ia meninggalkanku dengan rasa sakit. Sungguh aku tak berdaya, kumohon berbaliklah, Luke. Jangan pergi, Luke.
Tapi kulihat dia menghilang sudah.
Kuatkan aku, Tuhan.
-:-
Seminggu setelah semuanya terbongkar, keadaan hidupku tak baik-baik saja. Orang-orang di sekitarku— Gwen, Kristen dan teman-teman Luke banyak yang bertanya ada apa dengan hubungan kami, aku tak sekalipun bisa menjawab tapi satu kali Calum pernah menjelaskan pada mereka bahwa aku dan Luke putus. Aku sempat terhenyak, aku tak mau dianggap pembohong lagi dan kukatakan itu pada Calum tapi ia bilang untuk menutup mulut mereka, lantas aku hanya berdiam diri— berjalan di balik tubuh Calum setiap ada Luke.
"You do still love him, don't you?"
Duduk di samping Calum di meja kantin membuat pusat perhatian tertuju pada kami. Bahkan kudengar Michael dan Ashton menganggap Calum bukan sahabat yang baik, mereka beranggapan Calum merebutku dari Luke. Tapi Luke terlihat tidak peduli, meskipun ia bilang untuk berusaha melupakannya tentu aku tak bisa. Mungkin saat ini ia telah beranjak bangun dari masanya denganku dulu— dan itu membuat hatiku sakit. Tak ada interaksi apapun di antara aku dan Luke.
"Dia belum bisa melupakanmu,"
"Kau bercanda, Cal."
Calum mendengus, lalu menceritakan bahwa kemarin malam ia dan Luke habis berkelahi. Mempermasalahkan kenapa Luke begitu egois karena tak bisa memaafkanku. Sinar mataku merona mendengar betapa pedulinya Calum, betapa ia menginginkan aku yang bodoh ini bahagia. Calum melanjutkan bahwa Luke hanya tak tau harus bagaimana, ia masih berusaha melupakanku tapi tak kunjung berhasil. Aku menginginkan informasi lebih, kutanyakan apakah aku bisa menitipkan pesan melalui Calum— aku ingin hubungan ini tak berakhir menjadi masalah. Aku hancur belakangan ini kalau tak ada Calum yang bersedia terus di sampingku.
"Prom night sudah dekat, kau datang?" Aku menggeleng— bukan menyatakan aku tidak mau datang, tapi aku tak tau. Dari masa sekolahku, aku hanya sekali datang ke malam prom night, alasannya banyak— mulai dari prom date, dan segalanya tentang pesta dansa itu. Aku ingat saat SMP, aku mendapatkan pacar pertamaku tapi dia membodohiku hanya karena aku yang terlalu mencintainya.
"Datang bersamaku." Pernyataan Calum amat skeptis, aku menyuapkan kentang goreng ke mulutku lalu berbicara saat mulutku masih mengunya bahwa aku tidak tau akan datang atau tidak.
"Luke akan datang." Sekali lagi, Calum berusaha mengajakku untuk ikut. Dia mengembalikan ingatanku kembali tentang Luke, aku tersinggung lalu kutolehkan pandanganku padanya yang sedang bercanda dengan Ashton dan Michael. Tiba-tiba saja kelopak mataku membesar saat seorang gadis-yang kukenal- datang dan langsung duduk begitu saja di samping Luke, dia mendapat sambutan juga dari Ashton dan Michael.
"Maya Stephen." Dia mantan kekasih Luke.
.
.
.
.
.
Hola! Btw kayaknya Fucking Mine mendekati ending deh. So stay tune aja ya. Vomments vomments;) thank you.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fucking Mine (Luke Hemmings)
FanfictionGadis nekat bernama Greta yang berani membuat kebohongan besar untuk mendapatkan seorang Luke Hemmings. "You cummed inside, Luke." Greta hamil? Copyright © 2015 by NamLayli