Chapter 7

634 65 8
                                    

Aku menutup pintu UKS pelan, masih dengan airmata yang tak bisa kutahan untuk keluar. Kakiku melangkah terseok, aku tak bisa mengimbangi diriku sendiri. Kepalaku pening, berputar setiap aku melangkah hingga kuputuskan untuk bersandar sejenak di dinding.

Coba saja Ayahku lebih tampan dan Ibu juga lebih cantik, mungkin aku akan terlahir lebih sempurna. Bukan bermaksud tidak mensyukuri apa yang Tuhan berikan, aku tau para wanita yang bertampang pas-pasan di luar sana— sama sepertiku, menginginkan hal yang lebih. Menikam kembali soal Luke dan Charlotte di ruangan itu, cicitan hatiku kembali meraung— aku iri pada gadis itu, sungguh. Andai saja aku lebih cantik, lebih dari gadis itu— lebih dari Charlotte, aku pasti akan mudah mendapat perhatian Luke dan tak perlu melakukan cara se-ekstrim ini.

Aku menyeret kakiku pelan, sambil kukuatkan diriku sendiri untuk jangan ambruk di sini. Tidak boleh, kelasku hanya tinggal beberapa langkah lagi. Bahkan salah satu temanku— Monica sudah terlihat. Ia berdiri di depan pintu dan sekarang ia berjalan ke arahku. Aku tau sebabnya karena aku sudah terduduk di lantai. Monica berjongkok di depanku, bertanya kalau aku tak apa. Aku menggelengkan kepalaku, dengan mata yang setengah tertutup aku menghindarinya dengan mencoba bangun kembali. Tapi hasil akhir yang kudapati adalah aku tak sadarkan diri.

Dalam sinar kaca ruangan yang agak sempit aku tersadar— belum sepenuhnya membuka mataku karena semuanya masih belum jelas terlihat oleh pandanganku. Terus kukerjapkan mataku sampai suatu wajah dan suaranya mengalihkan perhatianku. Dia memanggil namaku berulang-ulang, dengan nada khawatir dia berdiri mengelus keningku lembut.

"Kau tak apa?" Aku mengenal suaranya, bahkan wajahnya yang kini memucat tetap membuatku terpana.

My Luke is here.

Suaraku yang parau membalas pertanyaannya, aku bilang padanya sambil tersenyum kalau aku tak apa. Roh di dalam tidurku seakan bangkit kembali melihatnya khawatir seperti ini, mengalahkan kekecewaanku padanya saat kulihat dia bersama Charlotte.

Aku mencoba untuk duduk, menggunakan kedua siku tanganku untuk menopang tubuhku yang beringsut bangun. Luke membantu, ia membawa pundakku untuk tegap seraya memperingatkanku untuk hati-hati.

"Kau sakit? Mau kuantar pulang??"

Aku menggeleng, saat ini aku menapaki ingatanku bahwa yang sakit adalah Luke. Tapi dia malah menghawatirkanku, dalam keheningan wajahku aku tersenyum. Kukatakan pada Luke dengan sabar kalau aku hanya pusing, lalu bukannya ia tenang malah semakin kalut. Aku bertanya padanya apa yang ia khawatirkan dan ia menjawab, "dirimu dan bayi kita."

Rona mataku bersinar cerah, lebih cerah saat terkena sinar matahari saat Luke mengatakan itu. Segenggam kehangatan baru saja ia berikan pada hatiku. Tapi selain itu jawaban Luke membuatku sedikit patah hati, maksudku aku tidak hamil dan Luke mengatakan ia khawatir terhadap bayi kita. Aku takut, bagaimana kalau ia tau yang sebenarnya? Dan ia akan membenciku dan meninggalkanku bahkan kukira konsekuesinya bisa lebih berat dar itu.

Aku menyesal menjadi diriku yang mempunyai penyakit ini. Pada saat memasuki usia 13 tahun, Dokter memvonisku kalau ginjalku tak berfungsi dengan baik, lalu karena takut terinfeksi satu ginjalku terpaksa harus dibuang dan kini fungsi ginjalku hanya sekitar beberapa persen. Kata Leah dia akan mendonorkan satu ginjalnya untukku, saat usiaku akan memasuki usia 20 tahun. Dan mungkin aku bisa saja menahan Luke sampai usiaku 20 tahun, lalu kami akan membina rumah tangga bersama.

"Greta?"

Saat kuperhatikan Luke, satu suara berbeda datang dari arah pintu masuk. Luke dan aku menoleh, saat aku tau siapa yang masuk sontak membuat kelopak mataku melebar.

Dylan is standing over there.

Dia meliriku dengan satu alisnya yang naik, Lalu melirik Luke dengan tatapan curiga. Ya Tuhan, kenapa dia datang di saat seperti ini? Dia pasti curiga karena melihatku dengan Luke sedang berduaan, bahkan tampak mesra karena Luke memegang tanganku yang kuletakan di pinggir ranjang.

"Dy-dylan?"

Dylan maju langkah demi langkah. Saat ia sampai tepat di samping Luke, dengan sengaja ia melemparkan senyum tak pasti padaku dan Luke. Aku menyapanya canggung, kulihat Luke yang kebingungan karena suasana yang tak akrab ini.

"Kudengar kau pingsan, dan kuputuskan langsung kesini. Kukira kau sendiri tapi ternyata bersama err..  Luke?" Meskipun berusaha bersikap normal, aku yakin Dylan tau ada yang janggal di sini. Baiklah, aku mencoba mengasumsikan apa yang ada di kepala Dylan bahwa aku yang tak pernah benar-benar bicara pada Luke— atau kalian boleh mengira tak pernah ada interaksi di antara diriku dan Luke, tiba-tiba saja di saat yang singkat aku bisa mendapatkan Luke— bukan, dalam pandangan Dylan mungkin ia bertanya; bagaimana aku bisa berduaan dengan Luke di ruang UKS? Ditambah kejadian kemarin saat Dylan menemukan surat kehamilanku, bagaimana kalau ia peka? Sejak tiga tahun terakhir aku tak pernah menjalin hubungan dengan pria, dan kini ia mendapatiku dengan Luke bersama. Argghh... semua membuat kepalaku makin pusing.

"Kau tak apa?" Luke sadar ekspresiku berubah kesakitan, kepalaku memang berdenyut dan sekarang Dylan juga terlihat khawatir.

"Kau harus cuci darah minggu ini juga, Gret!" Bukannya merasa diperhatikan oleh Dylan, aku kini mendadak gugup. Aku menegapkan kepalaku saat itu juga, kembali kulirik Luke yang mengulang pertanyaan Dylan, ia bertanya padaku apa maksudnya.

Dylan you're ruining everything! Why don't you go to hell with your fucking girlfriend?!

"Uhmm... maksudnya, itu... uhmm.." otakku membeku, menerka apa yang bisa kukatakan pada Luke juga jangan sampai Dylan mencurigai jawabanku. Tapi saat sudah kudapatkan jawabannya Dylan memberi pejelasan yang belum tuntas pada Luke, "dia harus melakukannya karena—"

"Aku pernah kecelakan!!" Aku mulai gelagapan, kulirik mereka berdua. Dylan mengerutkan keningnya, sedangkan Luke menungguku menjelaskan semuanya, "Ya kecelakaan, Luke. Ada sedikit masalah dan aku harus harus cuci darah untuk dua bulan terakhir ini, di kepalaku."

Aku berbohong lagi padanya.

"Apa yang baru saja kau kat—"

"Greta, kau kenapa??"

Mereka berdua menghampiriku seperti melihat korban kecelakan yang tangannya terlindas mobil. Padahal aku hanya berpura-pura sedikit berteriak kesakitan memegang kepalaku. Aku meneruskan adegan ini sampai Dylan keluar ruangan meminta bantuan pada petugas UKS. Luke mengusap kepalaku pelan, ia mengulang kata-katanya kalau ia akan tetap di sini menemaniku. Tapi yang kukhwatirkan saat ini adalah Dylan.

.

.

.

.

Kalian pernah gak sih ngalamin di saat kalian ngelakuin hal yang salah— dan sebetulnya kalian tau kalo itu salah tapi kalian butuh seseorang yang ngerti itu bukannya malah nyalahin kalian tentang apa yang kalian lakuin. Nah dari sini kalian pasti ngerti perasaan Greta gimana.

Well Readers 70 dan votes 5 aku bakalan lanjut ke chapter selanjutnya.

Vomments ya biar semangat..:) thank you:))

Oh ya, chapter 7 kan gak panjang atau kurang memuaskan lah. Nah di chapter 8 aku bakal ngelunasin yang kurang dari chapter 7.
Clue buat chapter delapan itu special Calum x Greta *nahloh. Gimana dengan Luke? Tunggu di chapter 8 *triiing*

Fucking Mine (Luke Hemmings)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang