Chapter 12

553 56 10
                                    

Kali ini aku benar-benar berdoa pada Tuhan untuk menjauhkan manusia bernama Calum dari samping kursiku, tapi Tuhan kelihatannya punya rencana lain dengan mengundangnya mendekat. Aku memangut, menyombongkan diriku dan bertanya padanya untuk apa dia duduk di sampingku, Calum terkekeh, "Aku ingin berbicara sesuatu padamu, Medew," dia menatapku, "Soal kehamilanmu." Nadanya terdengar menyindir.

Tubuhku bergetar takut, aku membuang mukaku ke arah jendela. Aku tak bisa menebak apa yang akan dia bicarakan— kalau bisa aku mau menghindar, tapi kelas sedang dimulai dan Calum di sampingku sekarang. Aku tidak mau membicarakannya, terlebih Calum mungkin tau aku berbohong dan bisa saja ia merencanakan hal buruk untukku— seperti memberi tau teman-teman Luke soal ini dan mereka akan melempariku dengan telur busuk atau boleh jadi dengan bola bowling, tamat riwayatku.

"Well, i know that actually you're not—"

"Stop! I need to go to toilet, ok?" Aku memotong omongannya, beranjak bangun untuk meminta ijin ke toilet tapi Calum mencegatku— ia menarik tanganku kuat untuk duduk kembali, dia lalu berkata bahwa ia tau aku hanya ingin menghindar. Tubuhku mendadak kaku mendengarnya, aku diam, ingin menangis.

"Tenanglah, aku tidak akan memberi tau Luke." Saat satu tetes airmataku mengalir, Calum membuatku bingung. Padahal aku sudah ketakutan setengah mati, tapi ia membuatku tak menyangka dalam irisan kata-katanya. Aku menoleh ke arahnya, tapi dia terlihat cuek— seperti tak terjadi apapun meski dia hampir membuatku mati berdiri.

"Kenapa? Kau bisa saja memberi tau Luke soal ini, aku jahat bukan? Kau pasti berpikir kalau aku orang gila, aku pembohong ulung, bahkan aku mungkin seora—"

"Medew, kau hanya kesepian." Aku diam, Calum tak sekalipun menunjukan ekspresi wajahnya, daritadi aku hanya melihat Calum menunduk dan tersenyum remeh. Tapi kemudian ia menggeser kursinya mendekat, lalu berbisik, "Kau harus melakukan sesuatu untukku, sebagai bayaran untuk tutup mulut."

Aku terkejut, kursi kayuku ikut tergeser dengan sendirinya. "Kau mau memerasku?!" Lalu Calum hanya tersenyum, mengatakan bahwa dirinya bukan seorang yang seperti itu. Aku tak percaya, tapi Calum dengan gaya sesantai mungkin menyatakan ketertarikan padaku. Aku merinding, menjadi seorang gadis drama lainnya dengan membayangkan hal bodoh— misalnya aku tau aku mencintai Luke dan Luke juga mencintaiku tapi Calum juga tertarik padaku, benar-benar seperti drama romantis, kan?

"Berkencan denganku hari sabtu besok, dan kau tak bisa menolak."

Rahangku ikut bergetar, aku diam-diam merasa kesal tapi kemudian Calum mengatakan ini tak akan sama seperti imajinasiku, aku menyukai cara bicara Calum— saat ini pun ia masih menolak berkata bahwa ia menyukaiku, ia hanya mengakui kalau ia sedikit tertarik padaku dan kencan yang akan kami lakukan hanya sebagai uji coba apakah ia benar-benar tertarik padaku. Mataku terpenjam sesaat demi mengambil tenagaku kembali dari udara yang kuhirup, Calum sesuka hatinya menjelaskan hal lain bahwa ia juga tau Luke mulai menyukaiku dan ia tak akan merusaknya, Calum menarsiskan dirinya sebagai seorang yang gentle, beberapa kali juga ia membuat dirinya keren di hadapanku.

-:-

Kubuka lebar pintu kamar rawat Luke lebih lebar lagi, aku kebingungan karena tak menemukan Luke. Lantas segera kugerakan tubuhku berlari pelan mencari sosok yang paling berharga bagiku itu, aku menyusuri setiap lorong yang setengah ramai sambil menengok ruangan-ruangan yang sedikit terbuka. Mataku benar melihat Luke di sana, aku tak segera menghampirinya tapi hanya memantau Luke yang kelihatan damai memandangi ruangan kaca yang di dalamnya berisi rajang dan bayi-bayi mungil yang baru lahir.

Karena mungkin langkah kakiku yang membuat Luke peka, ia tidak terkejut tapi melihatku dengan sinar wajahnya yang seperti temaram pagi. Aku menunduk, berjalan ayu mendekat ke arah Luke. "Bayi yang selimutnya biru sangat lucu." Pandangannya tak tertolehkan, terus di tunjukannya padaku bayi yang berada di baris kudua paling pojok— aku bertingkah antusias, aku mau membuat semua yang dikatakan Luke berarti meski aku tak berkeinginan melihat bayi-bayi yang menggeliat itu tapi demi Luke kupendam segalanya dan menuruti kesukaan Luke.

"Tiffany," kubaca papan nama bayi yang ditunjuk Luke, ia tersenyum padaku mengatakan dengan hati-hati kalau nanti ia juga akan menjadi Ayah, dari bayi yang kukandung. Sementara ini, karena mementingkan kebahagiaan Luke, aku tak akan membolak-balikan perasaanku untuk merasa bersalah. Aku mengangguk, mengatakan padanya bahwa Luke memang akan segera menjadi Ayah, seorang Ayah muda yang akan sangat peduli.

"Kau juga akan menjadi Ibu muda yang hebat, Greta." Kehangatan kata-kata Luke menghiburku, meski sepintas aku merasa menyelingkuhi Luke, karena dengan tanpa penolakan mengiyakan ajakan kencan dari Calum tapi beberapa kali juga kukatakan pada diriku sendiri bahwa rasa cintaku hanya untuk Luke, aku tak akan berpaling, aku menepis segala ketakutanku untuk tak mencap diriku sebagai kekasih yang tidak baik. Karena pada dasarnya, setiap aku menyusuri ketakutanku sendiri dan kutemukan kenyataan bahwa akulah seorang yang menderita, dan kenyataan lain adalah kubawa Luke dalam kehidupan dramaku yang tidak penting. Dan Luke di sana, menemaniku sepanjang waktu, merelakan masa mudanya untuk bertanggung jawab pada suatu rekayasa.

"Luke."

"Ya?" Dia memandangku, tapi tangannya tetap menempel pada dinding kaca di mana bayi-bayi mungil itu terlindungi.

"Menurutmu, apa kau yakin aku bisa menjaga bayi ini dengan baik?" Ku usap perutku sendu, meraba raut wajah Luke yang membingungkan— menilik ia sedikit terkejut tapi setelahnya ia tersenyum ramah padaku. Biar ku kuatkan diriku sendiri dengan terus kukatakan bahwa aku akan tetap menjaga Luke untuk di sisiku, tapi sebagian hatiku tetap tak tega. Luke punya kehidupan sendiri sebelum kurebut dia dengan paksa, ia sering memberi lelucon-lelucon konyol di kelas sebelum menjadi pendiam begini— Luke stress, aku tau itu. Mataku sudah berair, bahkan hampir menetes karena aku muak dengan diriku sendiri.

"Tentu kau bisa, Greta." Kami saling berhadapan, tapi aku mulai menangis. Bibirku bergetar ingin terisak kencang, dan itu menarik perhatian Luke. Dia mendekat, membersihkan sudut mataku agar tak mengeluarkan airmata, tapi sia-sia karena aku tetap menangis menuduk. Pada awalnya kesedihanku begitu tak berarti karena tak ada yang tau penyebabnya, beberapa kali juga Luke menenangkanku dengan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku menggeleng, Luke salah mengerti.

"A-aku ber-b-bohong, Luke!"

.

.

.

.

.

.

Greta kasian ya:( mendem semuanya sendiri eh tapi lebih kasian Luke sih. *sedih*

Buat yang udah baca silahkan divomments, dan buat yang udah vomments makasiiiih banget. Oh ya, aku baru buat fanfic baru judulnya Twang itu ff Ashton:) dibaca ya.

Fucking Mine (Luke Hemmings)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang