Kemanapun kakiku melangkah, selalu terasa ada beban. Seperti ada barbel yang diikat di sana sampai aku tak bisa melangkah dengan baik. Aku menunduk lesu, membenturkan kepalaku pelan ke pintu loker. Aku merasa hari-hariku lebih berat di antara Calum dan Luke, kukira akan sangat keren jika mimpiku disukai oleh pria populer di sekolah, tapi nyatanya aku selalu mencoba menghindari itu sekarang— adakalanya aku juga harus berdiam diri dan menerima ini semua, aku juga seperti menonton diriku sebagai pemeran utama gadis bodoh yang beruntung; bisa disukai oleh dua pria keren sekaligus dan mereka berteman baik.
Aku mengambil seragam olahragaku malas, di ruang loker ini hanya tiga murid yang tersisa— dua temanku dan aku sendiri, tapi kukira mereka akan segera keluar karena sudah berganti pakaian, dan tinggalah aku sendiri. Kubuka kaus seragamku, menariknya dari bawah dan melepasnya serta langsung kumasukan loker. Belum sempat kupakai seragam olahragaku, terdengar pintu ruang loker terbuka— aku tak ambil pusing, mungkin saja murid lain yang melupakan sesuatu.
Aku bersiap memasukan ujung kaus ke kepalaku sebelum kudengar seseorang terkikik. Aku kaget dan kuhentikan kegiatanku, aku berdiri hanya menggunakan bra dan kaus olahraga di tanganku. Segera ku edarkan pandanganku— tadinya tak ada siapa-siapa tapi kehadiran dua orang pria membuatku terkejut dan ingin menangis. Mereka bengis dan mulai berjalan mendekat, mereka juga mengatakan hal yang tidak pantas seperti, "Tubuhmu tak jelek, Medew."
Aku kenal mereka, yang satu berambut pirang teman sekelasku, Matthew dan satunya lagi yang bertubuh tinggi itu teman Dylan, Rex. Aku mundur membentur lokerku, sedangkan mereka terus melangkah mendekat hingga berada di depanku dan merebut kaus olahragaku dengan paksa. Keringat mulai mengucur dari sela-sela rambutku, selain keadaan ruangan yang lembab, aku juga takut. Apa mau mereka? Dan kukatakan itu dengan nada ciut dan bergetar. Mereka makin maju, tubuhku mulai bergetar dan kugunakan kedua tanganku untuk menutupi bagian dadaku yang hanya terbalut bra. Aku ingin berteriak, memohon siapa saja untuk datang menolong. Aku ingin menangis, memalukan rasanya dalam keadaan begini dan dilihat dua orang murid pria— sebelum-sebelumnya aku tak pernah memakai pakaian terbuka, apalagi bikini karena aku tak pernah percaya diri dengan tubuhku sendiri, hal yang wajar jika aku shock dengan dua orang pria yang masuk ke ruang loker— sementara ini yang pernah melihat tubuhku hanya Luke, tidak ada yang lain. Jadi kumohon mereka untuk pergi!
"Wow, teriakanmu kencang." Mereka tertawa lagi, aku sudah sedikit lelah. Tubuhku terperosot dan aku menangis bersuara. Kukatakan pada mereka lagi untuk pergi dan meninggalkanku sendiri, tapi tetap saja mereka melihatku dan tertawa lagi dan lagi. Kudengar juga Matt memberi ide untuk memotretku dalam keadaan begini, kubentak mereka sekali lagi untuk jangan melakukannya. Aku terdengar memohon tapi Rex mengambil ponselnya dan mengarahkannya padaku.
BUGGH
Aku terhenyak, kukira riwayatku akan tamat saat Rex menyalakan blitz dan berhasil memotretku dalam keadaan setengah telanjang begini. Tapi yang kudapati malah Rex tersungkur dengan keras ke arah samping kananku. Aku kaget, kudongakan kepalaku dan Luke berdiri di sana— mencengkram kerah Matt dan mengancam untuk meninggalkan ruangan ini. Tapi sebelum itu, Luke merebut ponsel Rex dan kutebak ia menghapus fotoku yang ada di sana.
Mereka berlari, meninggalkan aku dan Luke berdua. Dia mengulurkan tangannya, berniat membantuku berdiri— tapi aku terlanjur malu, tidak sepatutnya aku memberi tontonan ini pada Luke: saat dua orang pria mesum melihatku setengah telanjang dan mempermalukanku. Entah apa yang dapat kujelaskan, tapi aku tak menerima uluran tangan Luke. Aku menunduk, rambutku berantakan dan mataku berair. Kenapa yang datang malah Luke? Kenapa bukan Dylan? Kenapa harus Luke yang melihatku begini? Ini memalukan, aku seperti lelucon sekarang.
"Tidak apa-apa." Dia berjongkok, merapikan rambutku yang berantakan dan tersenyum cerah— secerah mentari pagi yang selalu membuat orang terbangun dan bersemangat. Tapi tetap saja lidahku kelu. Aku menangis terisak lagi, gadis cengeng yang memalukan sepertiku lebih baik mati saja.
GREP
Perasaan itu muncul lagi. Jantungku seakan berhenti setelah keterkejutanku saat ia malah memelukku dan berkata itu semua adalah kecelakaan, jadi tidak apa-apa, tidak perlu menangis. Jika boleh kupanggil dia dengan darling atau babe, akan segera kubisikan padanya semacam pernyataan manis bahwa aku senang dia mengerti, bahwa aku tak perlu menganggap bahwa aku seperti lelucon. Dia di sini untukku, kenyataannya Luke benar-benar datang dan memelukku sampai aku tenang.
Kuletakan daguku di pundaknya, mengeluarkan airmataku dan berkata bahwa aku malu, aku malu diperlakukan seperti ini, bahwa aku tidak pernah diperlukan sebagai gadis normal dan selalu menjadi lelucon. Apakah karena aku tidak bisa seperti mereka? Apakah aku tidak pantas diperlakukan secara baik? Apakah akan seterusnya mereka memperlakukanku seperti itu? Apakah—
"Mereka bodoh dan kau tak perlu khawatir." Aku diam, mendengar perkataan Luke yang seolah mengatakan bahwa ia akan melindungiku dan tak akan pergi lagi membuatku tenang. Tanganku yang diam sekarang memeluk lehernya, makin kutenggelamkan wajahku pada kulit leher Luke. Aroma wangi Luke menguar, menjadi tangkupan sementara untuk wajahku yang basah karena airmata. Ini selalu kusukai, berpelukan dengan Luke, dengan orang yang kusayang— aku sudah memilih pilihan yang tepat. Aku akan bersama pria ini, bersama Luke dan kukatakan itu berulang-ulang.
Dia tersenyum, memelukku semakin erat dan mengucapkan janji bahwa ia tak akan membiarkanku dalam bahaya lagi, tak akan membiarkan mereka mempermainkanku lagi, tak akan membiarkan siapapun melukaiku dan akan bersamaku terus seperti ini. Aku tersanjung dan kukatakan bahwa aku percaya padanya.
-:-
Aku menegakan kepalaku, berdiri kaku di depan Calum yang sedang bersama teman-temannya. Aku berniat ingin mengatakan padanya bahwa aku tak bisa menjadi pacarnya, tapi rasanya sulit sekali mengingat jasanya yang selalu ada untukku dan menemaniku. Kugelengkan kepalaku kuat-kuat, kurasakan tanganku berkeringat saat Calum bertanya apa yang mau kubicarakan. Aku mulai membuka mulutku tapi teriakan dari belakang tubuhku menarik perhatian Calum.
"Aku minta foto bersamamu, ya?" Aku memutar bola mataku malas. Sekelompok fans Calum berdesakan mendekati Calum sampai tubuhku pun di dorong oleh mereka. Calum bersikap cuek tapi tetap memberikan apa yang mereka mau. Sampai jengah aku dibuatnya, sudah hampir lima belas menit mereka tak kunjung meninggalkan Calum dan membiarkanku berdiri memeluk tiang penyangga.
"Greta! Greta!" Itu Gwen, persis dari arah depan berlari menghampiriku. Dengan kaki yang panjang, ia bisa sampai ke sini hanya dengan beberapa detik. Aku bertanya ada apa padanya tapi ia tak lekas menjawab karena harus menormalkan nafasnya terlebih dulu.
"Dylan, menghajar Rex dan Matt!"
Oh my god! This is not the right time.
Calum masih sibuk dengan fansnya tapi aku ingin menunggu. Ingin segera kukatakan bahwa aku berterimakasih karena telah menjagaku dan mulai sekarang ia tak usah berdir di hadapanku lagi, aku sudah punya Luke sekarang. Tapi Gwen menarik-narik tanganku untuk menuju tempat Dylan. Aku kalah dan berhasil ditariknya. Kutinggalkan Calum yang masih bersama fans-fansnya. Dengan berat hati akan kusampaikan besok saja.
.
.
.
.
.
Kasian Calumnya:( eh aku baru buat ff Calum judulnya KISS baca ya:))
Vomments ya;)) makasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Fucking Mine (Luke Hemmings)
FanfictionGadis nekat bernama Greta yang berani membuat kebohongan besar untuk mendapatkan seorang Luke Hemmings. "You cummed inside, Luke." Greta hamil? Copyright © 2015 by NamLayli