Chapter 8

661 65 20
                                    

Hari ini aku meminta Luke untuk tidak mengantarku pulang. Bukan tidak mau ditemani Luke, tapi saat kejadian di UKS tadi aku meminta Luke untuk menemaniku menjenguk Ayah- singkat kata, aku menghindari rumah karena aku tau Dylan di sana.

Kami berjalan berdampingan, sesekali Luke meliriku canggung, saat aku menangkapnya sedang melihatku dari ekor matanya dia langsung salah tingkah. Kuambil kesempatan untuk terkikik tertahan, Luke menyadari itu lalu berkata padaku bahwa ia melihat ada serangga di pipiku. Aku lantas tertawa mendengarnya, "Seriously? Aku tak percaya." Kupasang wajah untuk meledeknya dan cara ini berhasil membuatnya mendengus sambil mencibir membenarkan dirinya yang melihat serangga di pipiku.

"Well, Greta. Stop making fun of me." Dia merajuk, kutangkupkan tangan kananku untuk menahan gelak tawa atas tingkah lucunya ini.

"Oh god. You are so cute, Luke." Kupandangi dia yang juga tertawa rendah, sampai kaki kami terhenti di rumah sakit tempat Ayahku di rawat dan Leah bekerja. Aku dan Luke masuk, langsung mencari ruangan Ayahku tapi sebelum itu aku sempat menemui Dokter yang menangani Ayahku dan meminta ijin untuk menjenguknya.

Pintu putih bersih yang ada di depanku menjadi pembatas untukku dan Ayah. Aku memandanginya lekat sebelum kusentuh knop pintu dan memutar membukanya, pandanganku tersentuh akan sejuknya ruangan ini. Semuanya rapi dan steril, aku memberi isyarat pada Luke yang berdiri di ambang pintu untuk masuk, dia mengikutiku dan berhenti di ranjang Ayahku. Kupandangi wajah gemuk Ayah yang semakin putih, berangsur kutarik kursi dan duduk di atasnya- meletakan tasku di pahaku yang terhalang rok pendek. Luke di sampingku, ia dengan pandangan iba melihat Ayahku dengan fokus. Sekarang Ayahku lebih mirip mayat, ia tak pernah bangun sejak beberapa bulan lalu.

"I'm sorry, Greta." Aku menoleh pada Luke, suaranya bergetar, aku menepuk lengannya lembut sambil menggelengkan kepalaku berkata bahwa ia tak perlu minta maaf. Tapi dia makin merasa bersalah, Luke benar-benar pria baik.

Saat pahitnya hidupku di dunia, saat aku kehilangan kedua orang tuaku dan juga organ dalam tubuku, setidaknya ada yang membuatku merasa berarti. Dia Luke, kekasihku.

-:-

"Serius? Dylan menginap?" Kujejalkan keripik kentangku dalam-dalam ke mulutku, Leah terlihat tak peduli tapi dalam hati aku tertawa kegirangan sambil menyumpah serapahi ia untuk diculik atau mungkin tinggal selamanya di rumah temannya.

"Hidup itu indah ya, Leah?"

"Hm."

"Kau tak asik."

"Ya, dan karena itu aku masih menjomblo meski usiaku hampir empat puluh tahun."

Ooppppsssss..

-:-

Terhitung dari malam tadi perutku sakit, dan sekarang aku harus mengikuti kelas olahraga. Kelasnya memang sudah usai beberapa menit yang lalu, tapi hari ini jadwalku membereskan bola-bola tennis ke ruang penyimpanannya, Pelatih menyuruhku mengganti seragam olahragaku dulu karena beberapa menit lagi aku ada kelas matematika. Sambil memegang perutku, aku berjalan mendekap pelastik berjaring berisi bola-bola itu ke ruangannya.

Saat aku sampai ternyata pintunya sudah terbuka sedikit, ada seseorang di sana, aku memang bukan satu-satunya yang harus membereskan bola-bola ini. Kuintip dari celah pintu itu, sedikit maju karena tak melihat apapun tapi sesaat setelah kutajamkan mataku mengarah keranjang-keranjang itu. Dan kulihat punggung seorang pria berambut hitam di sana, aku melangkah masuk tak peduli- tak peduli siapa orang itu, yang harus kulakukan adalah menaruh bola-bola ini. Aku tepat berada di sampingnya, saat bunyi decitan dan lemparan bola yang jatuh ke lantai terdengar, ia melihatku. Sadar akan eksistensinya, aku merasa terganggu. Kulirik dia yang memandangku aneh, dan... ASTAGA!! Calum Hood??? Pria yang paling kubenci di sekolah, tapi ia juga teman Luke.

Fucking Mine (Luke Hemmings)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang