Gwen dan aku berhenti. Tepat di kerumunan paling depan di mana Dylan menghajar Rex dan Matt. Aku menutup mulutku terkejut, kulihat Dylan yang kelelahan karena habis menghajar mereka berdua. Tangan Dylan terkepal dan terluka— pasti habis menonjok mereka berdua, aku perlahan menghampirinya, memegang pundaknya lembut. Dia menoleh, pada awalnya dengan wajah marah tapi lama-kelamaan melembut. Aku memasang wajah bertanya apa yang terjadi dan Dylan seolah mengerti, dia menujuk Matt dan Rex yang tersungkur lalu menjelaskan bahwa ia tak terima aku diperlakukan seperti itu. Aku menghentak hatiku, seperti bunga di musim semi yang perlahan mekar— ada satu lagi, pria yang benar-benar peduli padaku dan itu Dylan, saudaraku sendiri.
Dylan tak sepenuhnya bebas sehabis menghajar Matt dan Rex, ia digiring oleh seorang guru ke ruangannya. Aku menatapnya iba— seakan tak rela ia pergi dan akan menerima hukuman hanya karena berniat membelaku, tapi satu hal yang kusadari adalah aku tak bisa membantunya, aku payah. Dylan membelaku tapi aku hanya diam dan tak bisa melakukan apapun. Aku memang tak pernah bisa membantu orang-orang di sekelilingku.
"Ia akan baik-baik saja." Kurasakan tepukan di pundakku, aku terkejut tapi setelah kutau ia siapa. Aku tersenyum, segera menghadap ke arahnya dan mengangguk— percaya bahwa Dylan akan baik-baik saja. Ia adalah seorang remaja pria, bukan aku yang akan menangis karena hal sepele, aku tidak perlu khawatir, Dylan akan baik-baik saja.
"Ayo ke kantin." Luke menarik tanganku, aku tersenyum hangat saat kusadari kini Luke menggenggam tanganku dan mengusapnya. Angin meniupkan jejak langkah kami, alirannya pelan hingga kunikmati desirannya bersama Luke yang berada di depanku. Menggenggam tanganku.
"Hanya susu cokelat?" Aku mengangguk sambil menjilati sisa susu di sekitar bibirku. Susuku hampir habis, tapi Pizza Luke masih utuh. Ia menyodorkan satu potong pizza ukuran mini padaku, "Ambil dan makan."
Aku menolak, kukembalikan lagi potongan itu dengan mendorong tangan Luke yang memegang potongan pizza itu. Aku menggeleng, mengatakan bahwa aku butuh diet. Berat badanku hampir lewat dari lima puluh kilo sekarang, dengan tinggi yang hanya 155 cm. Itu sangat tidak proposional jika dibandingkan teman-teman sekelasku, apalagi jika dibandingkan dengan mantan-mantan Luke— aku bisa di ibaratkan seperti katak di antara ikan koi. Mengerikan jika dibayangkan rupaku. Luke mendengus, potongan pizzanya belum ia letakan kembali ke piring, ia malah memaksaku untuk memakannya meski aku sudah menutup mulutku rapat-rapat. "Demi aku, ayolah."
"Aku takut jadi gemuk, Luke!"
Alisnya mengerut, ia sedikit memandangku aneh— mungkin juga menahan tawa, entahlah. Raut mukanya aneh sekarang, dan satu menit kemudian ia terkekeh riang. Dia seperti mengejekku, aku punya pikiran negatif sendiri bahwa ia mungkin menganggapku tidak pantas berdiet. Kurus atau gemuk aku tetap terlihat biasa saja. Mulutku mengerucut.
Dia memandangku kali ini— dengan mata berbinar dan cerah. Perlahan ia menarik napasnya dan menghembuskannya kembali lalu berkata bahwa ia tak peduli jika aku gemuk atau kurus, aku tetap Greta Medew yang nekat, menggemaskan, dan yang terpenting— hal yang akan kuingat selamanya bahwa aku telah membuat Luke jatuh cinta. Waktu terasa memanjakanku, semuanya terasa melambat dan sejuk— entah itu udaranya atau wajah Luke yang seperti tempat singgah untuk kulihat, aku tersadar dan berkedip setelah beberapa saat aku termenung.
"Don't ever change yourself for anyone or anything. No matter what, i will still love you, baby girl."
Tanpa sadar sudut bibirku tertarik membentuk bulan sabit, kukatakan pada Luke bahwa aku tak akan pernah berubah. Bahkan jika ada yang membuatku melakukannya. Aku akan tetap menjadi Greta Medew yang Luke cintai dan itu memberi kehangatan sendiri untukku. Meski aku tak secantik gadis lain, setidaknya ada seseorang yang selalu membuatku merasa cantik dan itu Luke.
-:-
Mulutku bergerak, ingin mengucapkan bahwa aku telah kembali pada Luke tapi Calum memotongnya dengan bertanya makanan apa yang kusukai. Langsung kujawab bahwa aku menyukai makanan India, aku tidak suka junk food— bukan tidak suka tapi Leah menyuruhku untuk tidak memakan junk food ataupun minuman bersoda dan kukatakan itu pada Calum. Saat ia diam, kuambil ancang-ancang untuk mengucapkan apa yang ingin kusampaikan dari tadi.
"Kalau warna kesukaanmu?"
Holy macaroni.
"Merah muda dan hitam." Kutunggu perkataan Calum selanjutnya, aku tak ingin Calum memotong perkataanku.
"Aktor favorit?"
"Liam Hemsworth." Ini tidak akan berakhir saat Calum terus menanyakan apa yang kusuka dan aku tidak sukai. Bahkan sampai hal-hal detail seperti hari yang paling kubenci, ini menyebalkan dan kukatakan Calum untuk berhenti. Dia menurut tapi selanjutnya aku merasa bersalah karena kelopak matanya yang tadi tegar sekarang menurun. Aku meminta maaf, mengatakan bahwa aku tak bermaksud begitu, ada hal yang harus kusampaikan padanya.
"Jangan katakan." Calum menunduk, ia bersandar pada dinding dekat jendela kelas. Aku tak mengerti tapi dia mendadak sedih. Apa Calum tau apa yang mau kukatakan? Apa aku sudah menyakitinya tanpa aku sekalipun aku tau? Jejeran pelita terang yang tadi membara sekarang tertiup— semangatku untuk mengatakan yang sebenarnya telah padam karena melihat Calum yang begini. Aku meminta maaf dengan suara pelan tapi Calum tak sekali pun mendongak. Baru saat ia mencengkram kedua lenganku, ia menampakan wajahnya yang sudah memerah. Dadaku naik turun, tergesa karena rasa bersalahku yang harus mengakui bahwa aku tak bisa menolak Luke, aku mencintainya dan bukan Calum.
"Tolong jangan katakan." Aku tau ia tak berniat menyakitiku, tapi cengkraman tangannya menguat sampai membuat lekukan pada seragamku. Aku tak bisa lepas— aku tak mau membuat Calum kecewa tapi aku harus.
"Aku sudah kembali pada Lu—"
Tangannya dengan cepat merambat ke tengkuk ku. Mendorongnya tepat ke bibirnya yang kenyal. Aku terkejut bukan main, tapi tak bisa berkutik karena pegangan Calum terasa sangat kuat. Kurasakan airmatku mengalir sampai ke bibirku yang sedang dikecup pria ini, rasa asin bercampur bibir Calum membuatku semakin sedih. Aku membiarkannya karena kuanggap ini sebagai yang terakhir. Aku tidak akan memberi harapan pada Calum lagi, ia punya kesempatan pergi.
Ciumannya dilepas, tapi Calum malah semakin mencondongkan tubuhnya dan memelukku erat sampai punggungku terangkat. Kudengar ia mengatakan bahwa aku tak bisa seenaknya begini, bahwa aku harus memberinya kesempatan lagi untuk merebutku dari Luke, bahwa ia tak akan pernah menemui gadis lain sepertiku, bahwa ia akan rela menyediakan punggungnya untukku menangis jika disakiti Luke atau siapapun itu. Aku mematung, yang bisa menjelaskan hanya airmataku yang terus menetes— aku tidak terisak, hanya aliran airmataku yang tak bisa berhenti saat perasaan Calum benar-benar sampai ke hatiku. Meski kukatakan aku telah kembali pada Luke, tapi puing-puing yang Calum bangun saat bersamaku belum hancur. Bahkan entah mengapa, puing-puing itu semakin merapat dan kokoh, seakan memberiku perasaan aman untuk tetap melakukan apapun yang kusuka, karena aku tau bahwa Calum siap untuk tersakiti hanya untuk melindungiku.
"Biarkan aku berada di sekitarmu, Greta." Tangisku pecah dipelukannya.
.
.
.
.
.
.
.
.
ADA YANG TAU GAK CARI COWOK KAYA CALUM SAMA LUKE DIMANA???? WAAH GALAUUUU PENGEN COWOK KAYA MEREKA.
YANG UDAH BACA SILAHKAN VOMMENTS, THANK YOU:))
KAMU SEDANG MEMBACA
Fucking Mine (Luke Hemmings)
FanfictionGadis nekat bernama Greta yang berani membuat kebohongan besar untuk mendapatkan seorang Luke Hemmings. "You cummed inside, Luke." Greta hamil? Copyright © 2015 by NamLayli