Koleksi 3

375 36 0
                                    


"Mama!"

Begitu, membuka pintu, Mona langsung disambut dengan suara cempreng dan pelukan erat dari seorang anak perempuan cantik berusia sekitar lima tahunan.

"Ada kangen Mama!" Anak itu mempererat pelukannya.

Mona membalas pelukan puterinya. "Mama juga kangen Ada..." katanya sambil tersenyum geli. Padahal jelas-jelas mereka tinggal serumah dan terakhir kali keduanya bertemu baru beberapa jam yang lalu saat sarapan bersama.

Ia kemudian menggendong sang puteri dan membawanya masuk. Ada masih berada di gendongannya ketika Mona mendudukkan diri di salah satu kursi ruang tamu. Rumah mereka memang tak terlalu besar, oleh karena itu ruang tamu dibuat menyatu dengan ruang keluarga.

Diciumnya puncak kepala sang anak. Hidung Mona menghirup wangi balita yang menyegarkan. Baginya, aroma ini adalah salah satu pelepas stres. Ia, terutama, membutuhkan itu hari ini.

"Tadi di sekolah Ada belajar nulis huruf, Ma. Abis itu latihan nari." Tanpa diminta Ada bercerita mengenai harinya pada Mona.

Bocah itu memang menjadi terlalu bersemangat setelah menginjak bangku TK. Jika sebelumnya Mona harus bersusah payah melepas Ada saat ia harus berangkat kerja, kini bocah itu malah menanggapi kepergiannya dengan santai. Bagi Ada, pagi hari bukan lagi waktu dimana dirinya ditinggal berdua saja dengan Mba Mirna, sang pengasuh, melainkan saat untuk bertemu dengan para guru dan teman-teman sekelas. Ada baru mulai merasakan kehilangan Mona setelah ia pulang ke rumah dan tak menemukan siapa-siapa di sana kecuali Mba Mirna.

"...kata Bu Guru waktu nari nanti Ada boleh pakai bibir merah kayak Mama, terus rambut Ada juga disanggul dan dikasih mahkota. Boleh kan, Ma?"

Ada adalah anak yang aktif. Ini juga yang menjadikan dirinya dipilih menjadi salah satu penari yang akan tampil saat peringatan ulang tahun sekolah. Ada bangga sekali ketika itu. Selama berhari-hari, hanya kisah tersebut yang diceritakannya pada Mona.

"Ada paling pinter narinya, Bu." Kata salah satu guru saat Mona menyempatkan diri ke TK mereka.

Puterinya memang cerdas. Mona membelai rambutnya bangga.

"Mama di kantor gimana?"

Mona sedikit tersentak mendengar pertanyaan Ada. Ya ampun, puterinya sudah besar sekarang. Ada sudah mampu bertanya balik pada lawan bicaranya, tidak hanya bercerita mengenai dirinya sendiri.

"Kantor Mama baik." Jawab Mona berbohong. Tidak mungkin kan ia berkata jujur pada puterinya yang belum mengerti apa-apa.

Tapi Ada tak sependapat. Ia menangkup wajah Mona dengan kedua telapak tangannya. "Kok muka Mama jelek??"

Muka jelek yang dimaksud Ada adalah muka ketika seseorang menunjukkan raut kusut, cemberut, atau pun marah.

"Capek Mama, Dek. Belum mandi. Mama mandi dulu, ya, abis itu kita makan bareng Mba Mirna?"

Ada langsung mengangguk lalu dengan penuh pengertian menurunkan diri dari pangkuan sang ibu.

Setelah selesai mandi dan mereka bertiga makan malam, Mona menghabiskan sisa waktu sebelum tidur dengan kembali mendengarkan celotehan Ada. Terkadang Mirna juga ikut menambahkan di sana-sini.

"Kata Bu Guru, Ada disuruh bawa buku botak, Ma."

"Hah? Buku botak? Buku tentang orang botak maksudnya?" Mona kebingungan.

Mirna terkikik geli.

"Buku kotak maksudnya, Mba. Yang di tiap halaman isinya kotak-kotak gitu. Udah aku beli sih dari kemarin, tapi ternyata salah. Aku belinya yang kotak-kotaknya kecil, ternyata maksud gurunya yang kotak-kotak besar. Tadi udah aku ganti" Jelas Mirna.

(Tak) HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang