Koleksi 4

339 31 0
                                    


Tubuhnya serasa hancur pagi ini.

Semalam, walau bagaimanapun Mona memaksa matanya terpejam, namun kantuk tak kunjung datang. Seperti biasa, memikirkan Aditya membuatnya sesak. Entah kenapa tadi malam dirinya malah terjebak dalam romantisme masa lalu.

"Mamaaaaaa..."

Baiklah. Alarm alaminya sudah bangun. Mau tak mau Mona harus bangkit dari tempat tidur.

"Nyenyak boboknya, Sayang Mama?"

"Iya!"

Dari suaranya yang bersemangat saja Mona sudah dapat mengira kalau puterinya mendapatkan istirahat yang cukup.

Mama iri, Dek!

Mona mempersiapkan pagi Ada dengan bantuan Mirna. Tak lama, mereka duduk bersama di meja makan. Setelah sarapan habis disantap dan setelah sekali lagi harus mendengarkan cerita Ada soal Zira, akhirnya mereka semua berangkat. Mirna menunggui Ada yang akan dijemput bus sekolah, sementara Mona memesan ojek online. Ia memang tak bisa menaiki kendaraan apa pun, bahkan walau hanya sepeda.

Mona tiba di kantor dengan kepala sedikit pusing. Tampaknya kurang tidur telah membawa penyakit baru. Tubuhnya mulai menunjukkan gejala flu.

"Giliran kita jam satu, Mon..."

Mona mendesah lelah mendengar kabar dari Roy.

"Muka lo pucat. Minta diundur aja apa?"

"Jangan gila, lo. Salah-salah gue malah dituduh macem-macem lagi."

Hari ini, seluruh staf Mutara mulai dipanggil ke kantor polisi untuk ditanya-tanyai mengenai kejadian kehilangan kemarin. Sebagian mendapat giliran hari ini, ada juga yang besok. Khusus staf yang job desc-nya bersentuhan langsung dengan publik, seperti edukator, penjaga tiket, satpam, dan petugas kebersihan, mereka harus dipanggil bergantian sebab pos masing-masing tidak bisa ditinggalkan kosong. Lain halnya dengan ia dan Roy. Meski satu seksi, mereka bisa dipanggil secara bersamaan.

Ketika hendak berangkat, keduanya berselisih jalan dengan Hilda di dekat lobi. Raut wajahnya menunjukkan kalau wanita itu tidak baik-baik saja.'Muka jelek,' kalau kata Ada.

"Gimana...?"

Hilda menggelengkan kepalanya yang pucat. "Mengerikan..." Hanya itu jawabannya sebelum kembali ke tempatnya untuk bergantian dengan temannya yang lain.

Tiba-tiba perasaan Mona semakin buruk saja.

*

Mona harus mengakui kalau dirinya salah besar. Kehilangan koleksi itu bukan melelahkan. Kehilangan koleksi itu--kalau ia boleh mengutip Hilda--MENGERIKAN.

Para petugas yang kemarin baik-baik saja saat berkomunikasi dengan mereka, kini berubah seperti para detektif di film-film yang sedang menanyai mafia. Masalahnya ini nyata, bukan film. Dan yang sedang diselidiki bukanlah para mafia pengedar obat terlarang atau penjahat kelas internasional, tapi MEREKA, pegawai biasa yang tidak mengerti apa-apa.

Suatu ketika saat Mona mendapat kesempatan menghadiri acara-acara museum dimana ia bisa bertemu dengan rekan-rekan dari museum lain, ia sempat mendengar pengalaman seperti itu dari petugas salah satu museum yang pernah kehilangan koleksi. Katanya, waktu itu mereka merasa diperlakukan seperti penjahat. Beberapa bahkan ada yang sampai dirawat di rumah sakit saking tak sanggup menahan tekanan.

Saat itu Mona tak terlalu mendengarkan. Lebih tepatnya, tak peduli. Rasanya hal itu terlalu jauh dari kehidupannya. Siapa yang menyangka kemana hidup membawa kaki melangkah. Kini Mona merasa seolah dirinya seorang pesakitan. Dan celakanya, ia pesakitan yang betul-betul sedang sakit.

(Tak) HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang