Adakalanya pencerahan itu muncul di saat yang tak disangka-sangka atau melalui pemicu yang tak terduga.
Konon Archimedes mendapatkan momen eureka-nya saat sedang berada di bak mandi. Legenda juga mengatakan bahwa Isaac Newton menemukan gaya gravitasi ketika kepalanya dijatuhi buah apel.
Tentu saja Archimedes dan Newton sangat jauh terlalu grande jika dibandingkan dengan Mona. Namun setelah sekian lama menyiksa diri sendiri dalam pernikahan tanpa cinta, kini akhirnya mata Mona terbuka sepenuhnya.
Dan semua itu karena dua garis pada testpack yang kini tengah digenggamnya erat.
Sudah beberapa lama Mona merasa kalau ada yang tak beres dengan tubuhnya. Kepalanya sering pusing, badannya tak se-fit biasa, dan ia pun sering mual di pagi hari. Setelah sadar bahwa haidnya terlambat, maka Mona tak menunda-nunda tes lebih lama lagi. Hasilnya sudah dapat diduga. Semua testpack yang diujinya pagi itu menunjukkan hasil yang sama. Dua garis.
Seketika tubuhnya bergetar. Ia merinding sewaktu kesadaran itu melingkupinya.
Cukup sudah. Ini dia saatnya.
Ia akan bercerai dengan suaminya.
*
Pintu itu terbuat dari kayu tetapi pada bagian atasnya terdapat kaca bening yang dapat dipakai untuk mengamati situasi di dalam kamar. Dari sanalah Mona bisa memperhatikan wanita yang sedang terbaring lemah di tempat tidur itu.
Jika ada hal yang paling disesali Mona dari perceraiannya, maka itu adalah perpisahan dengan wanita tersebut. Mama Naina adalah mertua paling baik yang bisa dipinta oleh seorang menantu. Dari sang mertua juga untuk pertamakalinya Mona bisa merasakan kasih sayang seorang ibu.
Mama Naina adalah ibu pertama yang membelai rambutnya, mengurusnya ketika sakit, dan mengusap air matanya ketika bersedih. Hangatnya pelukan terakhir mereka sebagai mertua dan menantu masih dapat Mona rasakan hingga kini. Saat itu mereka bertangis-tangisan sementara si pria brengsek hanya berdiri diam memperhatikan.
Setelah berpikir semalam suntuk, Mona akhirnya menyanggupi permintaan pria itu untuk bertemu dengan ibunya. Bagaimanapun Mona mencintai Mama Naina dan yang terjadi padanya bukanlah salah wanita itu. Takdirlah yang menjadikan pria berkelakuan minus yang pernah jadi suaminya itu harus keluar dari rahim wanita sebaik Mama Naina.
"Kita masuk?" Pria tersebut akhirnya berbicara setelah sepanjang perjalanan dari lobi rumah sakit tadi hanya diisi sunyi. Beberapa kali sepertinya pria itu ingin membuka mulut, namun entah kenapa ia memutuskan tetap membisu, seakan ada sesuatu yang menahannya.
Mona memberikan anggukan. Perlahan lelaki itu membuka pintu kayu dan melangkah masuk. Ia meminta Mona menunggu sebentar.
"Apa kabar hari ini, Ma?" Dari pintu yang tak tertutup rapat Mona dapat mendengar kata-kata yang disampaikan lelaki itu kepada ibunya. Sang ibu membalas dengan suara yang terdengar masih lemah
"Aku bawa seseorang untuk Mama..."
Mona menganggap kalimat itu sebagai kode untuknya. Perlahan ia membuka pintu kamar rawat.
Keempat mata yang ada di dalam langsung mengarah pada Mona. Ia bisa melihat Mama Naina tersentak kaget dan menutup kedua mulutnya. Matanya berkaca-kaca. Mona menghampirinya perlahan dengan mata yang juga berkaca-kaca.
Dari jarak mereka yang sudah semakin dekat, Mona bisa melihat kalau enam tahun adalah waktu yang sangat lama. Perubahan yang terjadi pada wanita di depannya ini terlalu banyak hingga membuat hati Mona berjengit. Dulu, meskipun sudah keriput, namun wajah Mama Naina masih terlihat cantik dan terawat. Kini wajah itu tampak kusam. Tubuhnya layu dan lemah. Matanya sudah tak seberbinar dulu.
Tubuh lemah itu kemudian merentangkan kedua tangannya, menyiratkan permintaan tanpa suara agar Mona masuk ke dalam pelukannya. Melihat isyarat itu, Mona tak menunggu lama. Dalam sekejap saja ia sudah berada di dalam pelukan wanita yang sangat dicintainya ini. Sedetik kemudian, keduanya saling mengungkapkan isi hati dengan tangisan.
*
"Maafin Mama, Mon..."
Entah sudah kali ke berapa mantan mertuanya itu mengatakan hal yang sama.
"Ma, kan Mona udah bilang. Bukan Mama yang salah..."
"Kalau aja Mama tahu penyebab sebenarnya kalian bercerai, sudah Mama hajar dia dari dulu-dulu..." Wanita itu melemparkan tatapan sadis pada puteranya. Lelaki itu meringis.
Ketika mereka sepakat bercerai dulu, Mona sudah berniat tak ingin memberitahu sang mertua alasan yang sebenarnya. Mona tahu wanita itu pasti akan merasa bersalah. Ketidakcocokan adalah hal yang Mona jadikan kambing hitam. Tentu saja Mama Naina sangat menentang perceraian itu meski akhirnya ia terpaksa mengalah pada keinginan anak-anak.
Sebelumnya, sudah berkali-kali ia memohon pada anak lelakinya agar berusaha mengubah pikiran Mona namun tak juga berhasil. Ketika itu ia berpikir adalah hal yang sungguh sangat disayangkan jika rumahtangga dua orang yang tampaknya saling mencintai harus hancur begitu saja. Kalau saja ia tahu sang putera adalah biang keladinya...
"Anak Mama memang brengsek, Mon. Kalau aja bisa, pasti udah Mama masukin lagi dia ke dalam perut..."
Sepertinya kedatangan Mona telah membawa semangat baru untuk Mama Naina. Wanita lemah yang ia saksikan tadi perlahan memudar, membawa kembali Mama Naina yang ia kenal dulu.
"Ma...," Lelaki itu protes.
"Diam kamu, Yasa. Kamu adalah orang yang paling ga berhak protes di sini."
Meski Mona bertekad untuk tak lagi peduli, namun tak dapat dipungkiri kalau hatinya tertawa puas melihat lelaki itu mengkeret di hadapan ibu kandungnya.
"Mama orang pertama yang nyukurin waktu perempuan itu selingkuh!"
Kali ini Mona tak dapat menahan tawanya. Mama Naina memang bisa barbar kalau mau. Ia jadi paham apa yang menyebabkan almarhum papa mertuanya mati-matian memperjuangkan wanita ini sampai menentang seluruh keluarga. Mama Naina adalah gabungan dari kecantikan dan kepribadian. Sebuah kombinasi mematikan.
"Kamu sering-sering datang jenguk Mama ya, Sayang. Walaupun nanti Mama udah pulang ke rumah, kamu tetap harus datang sesekali. Jangan hiraukan Yasa, bagaimanapun itu rumah Mama bukan punya dia."
Mereka menutup pertemuan itu dengan pelukan. Pelukan yang menyebabkan hati Mona patah seketika mengingat ada orang lain yang juga berhak mendapatkan pelukan ini. Sang puteri belum pernah merasakan sentuhan hangat nenek kandungnya.
Haruskah ia memperkenalkan Ada pada keluarga ayahnya?
*
"Kamu pulang naik apa?" Lelaki itu bertanya sambil mensejajari langkah Mona. Padahal Mona sudah menolak diantar sampai lobi namun pria itu dan ibunya tak terima.
"Ojol." Jawab Mona seadanya.
"Biar aku antar..."
Mona langsung menggeleng seketika itu juga.
"Aku sudah pesan..." Ia menunjukkan layar ponselnya pada pria itu.
"Maaf. Kamu pasti ga enak sama suami kamu..."
Mona sedikit mengerutkan kening sebelum teringat kalau lelaki itu hanya tahu dirinya sudah menikah lagi namun tak tahu apakah suaminya masih hidup atau tidak. Terserahlah. Mona sama sekali tak berniat memperbaiki kesalahpahaman itu jadi ia hanya diam. Kediaman yang sangat tidak nyaman apalagi karena lelaki itu berkeras menemani hingga ojolnya tiba. Mona memperhatikan aplikasinya. Pengemudinya baru akan tiba sepuluh menit lagi. Ah sial.
"Mon, aku tahu kamu sudah punya keluarga sendiri. Tapi...bolehkah aku bertemu dengan anak...anak kita? Walau hanya sebagai seorang Om?"
Mona menghela nafas panjang. Ia tadi juga sudah memikirkan hal yang sama. Hanya saja tujuannya cuma demi kepentingan Ada dan Mama Naina, bukan untuk lelaki di sebelahnya ini. Namun tak mungkin memperkenalkan Ada dengan Neneknya tanpa memperkenalkan gadis itu dengan Ayahnya.
"Tolong kasih aku waktu..." Jawab Mona lirih.
Ia butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Terutama berkaitan dengan perasaan dan sisi psikologis Ada. Lelaki di sebelahnya ini menampakkan ekspresi lega setelah mendengar jawaban itu. Mona juga lega saat sang ojol yang ditunggu-tunggu akhirnya menampakkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Tak) Hilang
ChickLitMona, seorang kurator museum di usia awal tiga puluhan, harus berhadapan dengan dua hal saling kontradiktif di waktu bersamaan: 1. Koleksi yang ia harapkan tetap terpajang manis di ruang pamer, hilang secara misterius semalam. 2. Seseorang dari masa...