Sore itu Yasa mendatangi rumah dua wanita kesayangannya dengan harapan dapat menuntaskan rindu terhadap keduanya. Alih-alih, ia hanya bisa menjumpai satu.
Saat Yasa tiba, Ada sedang sibuk bermain sendirian di teras depan. Aroma masakan dari dalam rumah menunjukkan kalau Mba Mirna sedang sibuk memasak di dapur. Namun tak ada sedikit pun aura istimewa yang menandakan keberadaan wanitanya di rumah itu.
Ini mungkin terdengar sedikit aneh, namun entah sejak kapan Yasa seperti bisa merasakan kehadiran atau ketidakhadiraan Mona di satu tempat. Hal itu terjadi begitu saja, seperti ada sesuatu yang membisiki hatinya. Yasa seolah anjing pemburu yang bisa mencium aroma Mona hingga jarak beberapa meter. Namun 'kemampuan' itu hanya berlaku pada Mona. Sepertinya Yasa memang mencintai wanitanya sedalam itu.
"Om Yasa!"
Gadis kecil itu langsung berlari menghampiri begitu menyadari kehadirannya. Pelukan erat di tubuhnya memberi Yasa perasaan hangat. Dulu, mana berani ia sekadar memimpikan momen seperti ini. Tapi sekarang ia bisa memeluk dan mencium Ada sesuka hatinya. Gadis kecil itu juga tak lagi menolak kehadirannya. Memang, Ada masih memanggil dirinya Om. Tapi pendosa sepertinya tak berhak banyak protes.
"Ayo, Om. Ada lagi buka restoran."
Gadis kecil itu menarik dirinya ke teras. Banyaknya mainan masak-masakan yang berserakan di sana menunjukkan kalau Ada memang sedang sibuk dengan restoran imajinasinya.
Yasa kemudian didudukkan di salah satu kursi teras yang kini sedang berfungsi sebagai kursi restoran milik Ada.
"Mau pesan apa, Pak?"
Ada menyerahkan buku menu yang aslinya adalah katalog museum tempat Mona bekerja. Gayanya betul-betul meniru pelayan restoran yang sering mereka datangi, lengkap dengan buku catatan kecil dan pulpen untuk mencatat pesanan.
Memutuskan untuk mengikuti akting puterinya, Yasa berpura-pura sibuk membolak-balik 'buku menu' dengan sikap seserius yang ia bisa. Ini tentu bukan hal yang mudah mengingat dirinya sedang sekuat tenaga menahan tawa karena tingkah puterinya yang menggemaskan.
"Saya mau nasi gorengnya satu, Bu."
Setelah menutup halaman yang berisikan uraian tentang Ruang Dayak, Yasa menyebutkan pesanannya dengan asal lalu menyerahkan buku menu palsu itu kepada si pelayan gadungan.
Bukannya menyambut ramah, Ada malah berdecak kesal.
"Ini restoran es krim, Pak, jadi ga ada nasi goreng. Masak Om ga baca buku menunya sih."
Karena merasa kesal, Ada sempat terpeleset dari peran yang ia mainkan dan kembali memanggil Yasa dengan panggilan Om. Tanpa mampu menahan lagi, ia tertawa geli melihat tingkah sang puteri. Gadis itu terlihat menggemaskan sekali dengan bibir yang selalu mengerucut tiap kali merasa kesal.
Persis kayak bibir Mamanya yang...
Stop, Yasa, stop! Jangan berani-berani mikir ke arah situ!
"Oke kalo gitu saya pesan mint chocolate chip aja ya, Bu."
Meski tahu persis kalau kafe es krim langganan mereka juga punya menu-menu makanan berat, namun Yasa memilih mengalah pada imajinasi puterinya dengan menyebutkan rasa es krim kesukaannya.
Tapi sekali lagi Ada berdecak.
"Om ihhh. Di sini ga ada rasa kayak gitu. Adanya cuma es krim cokelat sama stroberi."
Kedua rasa itu adalah favorit Ada. Mungkin itu sebabnya ia hanya menyediakan kedua varian itu saat menciptakan kafe es krim jadi-jadian. Jika kafe ini memang ada di dunia nyata, Yasa tak akan segan-segan memberinya bintang satu. Namun karena ini milik puterinya, Yasa hanya mengangguk patuh dan dengan asal memilih salah satu dari dua pilihan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Tak) Hilang
ChickLitMona, seorang kurator museum di usia awal tiga puluhan, harus berhadapan dengan dua hal saling kontradiktif di waktu bersamaan: 1. Koleksi yang ia harapkan tetap terpajang manis di ruang pamer, hilang secara misterius semalam. 2. Seseorang dari masa...