Koleksi 11

268 29 1
                                    


Penyelidikan polisi belum menemukan titik temu. Atau mungkin mereka masih menyimpannya sendiri, entahlah. Hal terakhir yang Mona dengar, CCTV Mutara rusak sejak sore sebelum kejadian. Kejutan besar. Memangnya ada maling yang selow dengan kondisi CCTV menyala pada saat mereka sedang beraksi.

Namun bukan itu yang membuat Mona resah. Sejujurnya berita kehilangan itu sudah semakin terpinggirkan, baik dalam pikiran Mona maupun di dalam pemberitaan nasional. Mona punya banyak kesibukan yang bisa membantunya mengesampingkan pemikiran tentang hal itu. Hari pembukaan pameran sudah semakin dekat yang artinya ia akan semakin sibuk.

Namun bukan itu juga yang membuat Mona resah.

Pekerjaan adalah hal terakhir yang meresahkan Mona hari ini. Terutama karena Rachel memenuhi janjinya. Kantor pusat langsung mengambil alih. Humas mereka sangat membantu.

Kekuatan uang juga bukan hal yang dapat diremehkan. Mona tahu salah satu penyebab hilangnya isu tentang Mutara adalah karena Soedarmadji Group ikut turun tangan dalam melenyapkan berita-berita itu. Apalagi beberapa anak perusahaan mereka adalah media cetak dan elektronik. Mengendalikan isu adalah hal yang bisa dibilang mudah.

Jadi apa yang membuat Mona resah?

Hari ini dirinya sudah terlalu sering mengutak-atik ponselnya sampai-sampai membuat Roy bolak-balik melirik karena penasaran. Tapi Mona masih belum yakin apakah ia memang harus melakukan hal ini.

"Sekali lagi lo ngeletakkin ponsel di meja terus diambil lagi terus digeletakin lagi, gue buang itu barang dari jendela."

"Ck..." Mona menunjukkan kekesalannya pada Roy. Temannya itu memang bisa menjadi sangat cerewet. Kadang Mona heran bagaimana Susan bisa bertahan selama ini. Isteri Roy itu adalah wanita paling lembut dan ayu yang pernah Mona kenal.

"Kayak abege baru dapet gebetan lo."

Mona mendelikkan matanya. Kata-kata Roy itu, entah bagaimana, membuat dirinya merasa tidak nyaman.

Pelan, Mona melangkah keluar dari ruangan mereka.

"Mau kemana lo? Wah...beneran udah kayak abege malu-malu yang nelepon pacar aja harus diam-diam supaya didengar orang."

"Diem lo!"

Mona mempercepat langkahnya. Khawatir kalau ia akan merasa makin ragu kalau di dekatnya ada Roy yang mulutnya berbisa.

Mona memilih melabuhkan tubuhnya di taman kecil sebelah gedung kantor. Di dekatnya ada bangku-bangku kayu yang biasa dipakai cowok-cowok untuk merokok di jam istirahat. Kali ini ia hanya sendirian.

Sekali lagi Mona mencoba memberanikan dirinya. Kembali ia pandangi kontak di ponselnya. Sebetulnya ia tak ingin menyimpan kontak itu namun mereka memaksa. Tak ia duga, kontak itu ada gunanya sekarang. Sebelum mengambil keputusan, mereka berdua memang harus membicarakan ini lebih dulu.

Dengen setengah takut-takut, Mona memencet tombol telepon. Ia agak berharap panggilan ini tak diangkat, namun kelihatannya tak terkabul. Setelah beberapa nada dering, terdengar bunyi kersek singkat diikuti suara bariton laki-laki mengatakan "Halo..."

Seketika Mona kembali terlempar pada kenangan lama.

Dulu ia sering mendengar suara yang sama di balik telepon. Bahkan itu adalah salah satu suara favoritnya. Biasanya tiap kali mendengar suara itu, Mona sedang menanyakan kenapa lelaki itu pulang telat (yang sangat sering terjadi), atau sedang ingin dibuatkan makan malam apa, atau ia tak punya alasan sama sekali, hanya sedang kangen mendengar suaranya saja.

Yang manapun motifnya dalam melakukan panggilan telepon, tanggapan yang Mona terima selalu sama: nada datar sedikit gusar yang menunjukkan penerima panggilannya merasa terganggu. Percakapan mereka selalu berlangsung singkat. Biasanya sang pemilik suara beralasan sedang sibuk. Namun lama-kelamaan Mona mengerti. Lelaki itu memang tak mau sering-sering berbicara dengannya. Ada orang lain yang ia anggap sebagai lawan bicara yang menyenangkan.

(Tak) HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang