Mungkinkah aku bisa lebih lama menikmati gedung ini sebagai tempat bekerja?
Itulah yang ada dalam pikiran Mona ketika ia turun dari ojolnya pagi itu.
Ini pagi keempat pasca kehilangan koleksi. Mutara belum sepenuhnya normal terutama karena--setelah kemunculan wartawan beberapa hari lalu--gosip mengenai kehilangan ini mulai terdengar di media. Untungnya—well...'untungnya' versi orang Indonesia—berita itu tidak viral. Belum. Dan semoga tidak akan pernah.
Kali ini Mona betul-betul meletakkan harapan pada ketidakpedulian sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap budayanya sendiri. Jika memang ada hal-hal terkait kebudayaan yang bisa menjadi viral, maka seringnya berhubungan dengan klaim-mengklaim dengan 'tetangga' sebelah. Kalau sudah demikian, sila ketiga Pancasila akan betul-betul menampakkan wujudnya.
Di luar klaim-mengklaim itu, berita budaya lainnya cenderung anyep. Coba, ada berapa orang yang peduli tentang dua belas budaya takbenda milik kita yang kini sudah diakui UNESCO? Atau berapa banyak situs-situs bersejarah di Indonesia yang masuk kategori world heritage sites?
Mendekati nol?
Betul-betul nol?
Mona hanya dapat menyilangkan jari dan berdoa semoga mereka masih sama tak pedulinya saat ini.
Walaupun kemarin-kemarin ia dengan gagah beraninya menentang usul Bu Tanti yang ingin diam-diam menutupi kejadian ini, namun tetap saja Mona seorang pengelola Mutara. Ia memang ingin Mutara diselidiki sebagaimana mestinya namun ia juga khawatir terhadap dampak yang akan mereka tanggung setelahnya.
"Ngapain lo?" Roy yang baru saja memarkirkan motornya, dengan heran mendatangi rekan sekaligus atasannya yang tampak sedang termenung sendirian di taman depan.
Biasanya setelah absen pagi, Mona akan langsung masuk ke ruangannya, meletakkan tas, lalu mulai berkeliling untuk mengecek ruang pameran. Terkadang, jika Roy datang lebih dulu (yang mana tidak sering terjadi), Mona akan langsung mengerjakan tugas-tugas rutinnya dan membiarkan temannya itu yang 'berkeliaran.' Mereka harus bahu-membahu untuk memastikan Mutara dalam kondisi siap menerima kehadiran pengunjung pada pukul sembilan tepat.
Namun pengunjung pagi tidaklah terlalu banyak. Biasanya orang-orang baru bermunculan saat menjelang pukul sebelas. Kemarin, jumlah pengunjung sedikit naik daripada biasa. Beberapa di antaranya sengaja datang karena penasaran dengan peristiwa kehilangan koleksi itu. Namun tak banyak yang termasuk dalam kelompok itu. Sebagian besar pengunjung Mutara masih datang dengan tujuan untuk mengisi feed instagram masing-masing.
Mona tak bisa bilang ia sepenuhnya senang pada para pemburu konten ini. Di satu sisi, ia sadar Mutara memang harus berupaya menjaring pengunjung. Kalau tidak, darimana lagi uang datang? Mutara butuh uang, terutama setelah tak bisa sepenuhnya menggantungkan harap pada Soedarmadji Group. Maka seperti gadis cantik yang memang sadar kalau ia cantik, Mutara pun mati-matian memanfaatkan keelokannya.
Sepertinya upaya ini berhasil dan para pengunjung pun berdatangan. Namun ada satu hal yang terlewat. Foto-foto estetik seharusnya bukanlah satu-satunya buah tangan yang bisa dibawa pulang. Bagaimanapun ini museum dan ilmu pengetahuan adalah tujuan utamanya. Sayangnya Mona harus mengakui bahwa tujuan utama ini seringkali tak tercapai.
"Hoiii!" Roy tampaknya mulai gerah karena pertanyaannya tak kunjung digubris.
Mona hanya membalasnya dengan senyum. Ia merasa geli sendiri karena sok-sokan memikirkan sinergi antara masyarakat Indonesia dan museum, padahal ia sendiri siapa? Cuma seorang pengelola museum yang gagal yang baru saja kehilangan enam buah koleksinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Tak) Hilang
ChickLitMona, seorang kurator museum di usia awal tiga puluhan, harus berhadapan dengan dua hal saling kontradiktif di waktu bersamaan: 1. Koleksi yang ia harapkan tetap terpajang manis di ruang pamer, hilang secara misterius semalam. 2. Seseorang dari masa...